Thursday, September 30, 2010

Silaturahim di RumahTerbuka


Bersama kawan di acara Silaturahim Rumah Terbuka Alumni Universitas Sains Malaysia, saya menemukan banyak jejak, masa lalu. Tak hanya terkait dengan perkuliahan, tetapi juga kehidupan. 

Tentang hidup, Andi Siti, penyanyi dari Sabah, melantunkan lagu yang sama-samar hinggap, tak tahu judul dan penyanyinya. Namun, ia masih terngiang-ngiang hingga sekarang. Kabur, terang, jelas selalu berjalin kelindan. Hanya orang yang percaya meyakini bahwa hidup itu terang.

Terbuka bermakna tidak tertutup. 

Wednesday, September 29, 2010

Menyoal Kedaulatan Serumpun

Mengungkap kembali untuk menemukan kejernihan. Artikel ini (Koran Tempo, 17 September 2010) adalah sebagian dari keseluruhan pandangan khalayak yang sempat terungkap dan perlu disuarakan di sela-sela pertikaian. Dengan jeda, kita bisa mengungkai benang kusut hubungan serumpun. Tanpa proses kesadaran, konfrontasi, negosiasi dan damai yang memadai, kita akan senantiasa mengulangi pertengkaran.

Rumah Terbuka


Mengapa saya datang tepat waktu, jam 12 siang, sebagaimana diumumkan melalui pengeras suara Masjid Kampus sehari sebelum rumah terbuka? Biarlah Anda menjawab pertanyaan ini. Saya pun hanya akan mengangguk.

Tuesday, September 28, 2010

Menyegarkan Kampus


Menebus kesalahan kita dengan mengosongkan kawasan kampus dari asap kendaraan perlu dilakukan. Bagaimanapun, monoksida itu adalah berbahaya untuk lingkungan dan manusia. Dengan peluncuran laluan bersepeda, orang ramai tentu tidak akan selalu menghisap asap dan berusaha untuk memanfaatkan kaki mereka untuk melangkah menuju tempat tertentu. Tadi, saya pun berjalan dari kantor ke masjid, tempat rumah terbuka menyambut Syawal dihelat. Dengan menyusuri kampus dengan kaki, saya bisa menikmati rumput, pohon dan udara yang segar. Tak hanya itu, saya pun bertemu banyak benda di sepanjang perjalanan lebih cermat dan khidmat.

Mengingat jalan-jalan setapak baru di kampus telah dibangun, mungkin lahan parkir khusus bisa digunakan, seperti Padang Kawad dekat Stadium, untuk memungkinkan warga berjalan ke tempat kerja masing-masing. Tentu, ada banyak titik-titik parkir lain yang bisa dimanfaatkan dengan patokan sesuai dengan jarak tempuh yang paling dekat. Dr Talhah Idrus, dosen arsitektur, pernah bercerita bahwa dengan lalu-lalang warga di sepanjang jalan akan memungkinkan komunikasi terjadi. Dulu di awal tahun 1970-an, para mahasiswa dan dosen acapkali bertegur sapa karena mereka tidak terburu-buru dengan kendaraan yang melaju cepat. Kalau kebijakan (policy) ini dikeluarkan, kampus USM akan menjadi kawasan silaturahim yang dahsyat.

Sepatutnya jalan kaki adalah pengalaman mengasyikkan di dalam Kampus Dalam Taman. Sembari menikmati beberapa pojok yang enak dilihat mata, seperti di depan Masjid, kita pun bisa menikmati kicauan burung, yang acapkali berseliweran di sela-sela pepohonan. Saya yang sering menyusuri kampus di hari libur bisa merasakan betapa keadaan lengang itu membuat napas tak tersedak dan telinga lebih tajam menangkap isyarat alam. Dalam keadaan seperti ini, ingin rasanya kampus cuti setahun, agar monoksida itu tak mengeruhkan suasana alamiahnya.

Monday, September 27, 2010

Otoritas dan Pengetahuan


Dalam hermeneutik, otoritas itu adalah mereka yang mempunyai akses pada pengetahuan tertentu. Namun, dalam praktik, pengetahuan itu juga terkait dengan otoritas dalam pengertian kekuasaan untuk melakukan tindakan atas dasar pengetahuan. Sebagaimana telah diumumkan jauh-jauh hari sebelumnya, ada area tertentu di kampus yang tidak boleh dijadikan kawasan parkir kendaraan. Jika peringatan ini tidak dipatuhi, maka ban mobil bersangkutan akan dikunci, seperti terlihat dalam gambar di atas. Kita tak hanya memerlukan pengetahuan tentang ketertiban, tetapi juga pihak berwenang yang mewujudkan pesan pengetahuan. Kalau dibiarkan, kita hanya akan menikmati kekacauan setiap hari.

Kata Maaf Pasca Lebaran


Radio masih memutar lagi lebaran, seperti Selamat Hari Raya Rahimah Rahim dan Nazam Lebaran Siti Nurhaliza. Di bulan ini pun, saya masih mendapat kabar tentang rumah terbuka. Ketika coretan ini ditulis, saya berjanji pada kawan baik untuk pergi ke acara silaturahim Alumni di Rumah Anjung Budi. Nah, dengan menebar maaf, kita bisa berdamai dengan diri sendiri. Oh ya, gambar amplop 'ang pao' ini adalah surat indah untuk si kecil dari anak Pak Cik yang bekerja di Astro Kuala Lumpur. Meski dia belum paham tetapi orang tua jelas mengerti isinya uang hari raya. Saya menempel di tembok agar ingatan kebersamaan itu terpatri kuat dan tak hilang-hilang.

Monday, September 20, 2010

Teman Karib dan Si Kecil

Di Taman Belia, Pulau Pinang, kami menyusuri setapak, menikmati aroma pohon, mendengar gemiricik air, dan membaui bau rerumputan. Ruang publik ini sangat menyenangkan. Bersama kawan karib, Mas Zulheri Rani, ekspatriat, taman itu menjadi jejak yang abadi. Sebagaimana taman ini menjadi tempat pertama saya mengenal Pulau Mutiara secara lebih dekat. Dibandingkan lima tahun yang lalu, ia makin rimbun dan hijau. Mungkin dulu saya mengecapi bau tanah ketika kemarau menerjang, sementara kemarin kami menjejaki tanah yang masih menyisakan basah karena hujan sehari sebelumnya.

Marcus Cicero, filsuf Romawi, menukas tentang kesempurnaan hidup dengan memiliki perpustakaan dan taman. Erich Fromm, filsuf dan psikolog, membedakan antara memiliki (have) dan mengada (being) berhubung manusia dan benda. Kalau eksistensi kita berada pada being, kita tak perlu memiliki taman untuk menikmati keindahan, cukup luangkan waktu pergi ke taman yang berjarak dari rumah kita, lalu meraup udara segar yang bertempiaran dari pucuk bunga dan pepohonan. Demikian pula dengan perpustakaan, kita akan merasa 'memiliki' dengan hanya menjadi anggota. Pendek kata, sudut pandang kadang mengubah peristiwa dan suasana seakan-akan bagian dari hidup kita yang penuh.

Si kecil pun tak bisa menyembunyikan kegembirannya, tecermin dari wajahnya yang sumringah. Ditemani ibunya, ia berdiri di tepi kolam renang, melihat beberapa anak bermain di dalam air. Sementara, saya merenung di kursi tak jauh dari mereka, betapa orang tua juga menikmati hari libur dengan membaca koran di luar, tetapi tak merampas hak anaknya untuk mereguk udara segar. Lalu, saya telah merancang bahwa pada kunjungan berikutnya saya akan membaca buku baru yang tergeletak di meja, hampir-hampir tak tersentuh. Wow, di bawah pohon dan kicau burung, saya akan menekuri huruf tentang Harapan dan Masa Depan oleh Noam Chomsky. Lalu, saya akan mengitari taman untuk membuat badan ini tak malas bergerak. Ternyata hidup ini sesederhana kita mau meluangkan waktu untuk bergerak dan membaca.

Saturday, September 18, 2010

Si Kecil dan Keluarga


Di kanan kiri lantai bawah sebuah mal terbesar di Pulau Pinang terdapat gerai makanan cepat saji, seperti Pizza Hut, MacDonald, Secret Recipe, KFC, tapi kami memilih arena, tempat makanan yang cocok dengan lidah, yaitu nasi campur, tomyam dan sizzlyng. Makanan segera (instant) tak baik bagi kesehatan, anehnya saya dulu merasa nyaman dengan menu yang dibuat tergesa-gesa. Untuk apa hidup terburu-buru? Sebuah raihan yang menggunung untuk memuaskan hasrat? Padahal, hasrat adalah sumber bencana. Di sini, pemuasan tak mengenal kata henti. Memilih adalah sesederhana kita melangkah kaki ke tempat yang lebih baik, yang mungkin memerlukan pelaziman (conditioning) agar kita bisa berpikir dalam sekian detik untuk membuat keputusan.

Memang, warung makan ini tak secantik gerai multinasional. Pengaturan kursi dan meja tidak membuat mata menyala, layaknya sebuah restoran Pizza Hut, misalnya. Bentuk kursi dan meja pun menunjukkan keperluan praktis, tak dibuat khusus untuk memenuhi selera keindahan. Demikian pula pencahayaannya terang-benderang, mengingat warung makan seperti ini diperuntukkan orang ramai, massal. Hiasan di dinding hampir membosankan karena tak mencerminkan selera artistik, meskipun itu bisa dilakukan hanya dengan menempelkan lukisan yang bisa dibeli di pinggir jalan. Pendek kata, keindahan itu bisa diciptakan dengan harga murah. Apa lacur, mereka yang mendatangi warung ini rata-rata adalah orang kebanyakan yang ingin mengasup makanan, sementara tempat-tempat yang lebih bergengsi adalah tempat rehat segelintir orang yang beruang.

Bagi sebagian kecil orang, urusan makan menjadi urusan yang tidak sesederhana saya menghilangkan rasa lapar. Tempat makan kadang menjadi tempat untuk membuat hati nyaman, sehingga mereka mencari tempat yang juga mempunyai suasana yang menyenangkan. Bagi mereka, kebersihan adalah syarat mutlak sebagaimana juga hal remeh-temeh lain. Alamak, ternyata mereka menganggap hal sepele itu adalah sangat penting. Lalu, persoalannya, adalah keindahan itu bersifat objektif? Ini pun memerluan buku tebal untuk menguraikannya. Menariknya, siapa pun tahu, mereka yang hadir di rumah makan mahal yang membaca buku, sementara di warung makan kebanyakan itu kita menemukan obrolan, paling banter pengunjung yang membaca koran.

Thursday, September 16, 2010

Perantau

Siapa yang terpenjara? Saya yang berada di balik pagar atau mereka para pekerja migran itu? Tergantung sudut pandang. Boleh jadi saya terperangkap oleh sudut pandang saya dalam melihat kenyataan. Mereka, para perantau itu, tampak riang menunggu bus jemputan dari pabrik. Bus biru bertulis Bas Pekerja akhirnya datang mengangkut mereka ke tempat tujuan. Tak jarang sebagian kelompok menyewa Bas Sekolah berwarna kuning untuk mengantarkan mereka ke wisma konsul untuk menunaikan shalat id di tahun 1431 Hijriyah.

Mereka hampir-hampir menjalani hidup dengan tertib. Bahkan untuk berhari raya, para pahlawan devisa itu menggunakan angkutan dari tempat bekerja, seakan-akan keterikatan mereka pada pabrik begitu kuat. Namun, tak ada wajah muram ketika mereka merayakan hari lebaran, terserlah dari senyum menyungging dan berpose untuk sebuah gambar di depan lambang garuda yang ditempel di tembok rumah wakil RI di Pulau Pinang. Satu sama lain saling memejet tombol kamera untuk mengabadikan peristiwa setahun sekali.

Ternyata, keperluan kita sama saja, keinginan untuk dipandang oleh liyan. Perbedaan status luruh menjadi identitas tunggal, warga negara yang sedang merayakan hari kemenangan. Kita setara di hadapan yang lain, meski tak dapat dielakkan status itu masih bertahan, konsul berdiri di belakang imam dan yang lain mengikuti di barisan samping dan belakangnya, demikian pula, khalayak tetap bersabar untuk menanti giliran bersalaman dengan orang nomor satu di konsulat. Hierarki masih berjalan, meski mereka berada di suasana fitri, sebuah keadaan paling asali dari manusia yang hanya membawa ruh dan raga yang sama, tak berbeda.

Wednesday, September 15, 2010

Seni Lukis


Sang pelukis, Qaisar Khan, membiarkan contoh lukisan itu terpajang di mal Queensbay dan meja kursi tempat bekerja tak dipindah, tergeletak. Malah, ada tumpukan selebaran berbunyi portrait done in ten minutes. Portrait in oil color, water color, pastels, crayon and pencils can also be done from life and photos. Lalu, di bawah contoh gambar diterakan alamat, kontak, nomor telepon genggam dan email. Dulu, ia menggelar lapak di depan kompleks pertokoan Ivory, tak jauh dari asrama Kampus. Sekarang, ia memilih khalayak lebih luas untuk menjual karyanya.

Di tengah serbuan kamera, seni lukis hadir untuk memindah wajah kita pada kertas dengan pelbagai alat lukis. Saya pun menikmati cara kerja seniman dalam merekam 'tubuh' manusia pada sehelai kertas dengan tarian tangan yang memegang pensil. Gerakan itu berjalan cepat, kadang lambat, seakan-akan memastikan keaslian itu harus dipindah ke media lain, meski semua pun tahu tak utuh. Justeru dalam ketidakutuhan, ia menampilkan sosok manusia dalam wajah lain pula. Namun, saya bisa menebak siapakah gerangan, meski wajah itu tak berwarna, hitam putih. Itu pun terbatas pada tokoh-tokoh yang juga dikenal khalayak luas, seperti artis, politisi, dan pemimpin dunia.

Monday, September 13, 2010

Sebelum Usai

Agar kebersamaan meninggalkan kesan, kami pun bergambar bersama. Panas tak menghalang kami untuk menatap kamera, malah hingga dua kali cahaya kamera itu berpendar.

Lebaran ke-2

Setiap gambar menyimpan banyak cerita. Namun, setiap orang akan berupaya untuk selalu mempunyai gambaran tersendiri tentang gambar orang lain. Jadi, silahkan membayangkan apa kandungan dari kebersamaan di atas. Pendek kata, Anda bisa memasukkan horizon tertentu agar kisah yang ada di balik senyum 7 orang di atas terbaca terang benderang. Sejatinya, hidup itu melulu tentang kegembiraan, karena usia penghuninya hanya puluhan tahun. Alangkah sayangnya jika sebagian besar waktu itu ditingkahi manyun. Sekali-kali boleh, tapi muram itu jangan sampai berkepanjangan.

Dari anak kecil, orang dewasa belajar bagaimana hubungan emosional itu wujud. Perbedaan tak menghalangi sapa berkembang wajar. Rupa-rupa cara tidak terelakkan karena masing-masing sedang berjuang untuk mengaktualisasikan dirinya, yang tak jarang berbenturan. Namun jika tujuannya damai, mengapa kita dengan mudah ingin bercerai-berai? Manusia itu berada di bawah matahari yang satu, bumi yang satu dan tentu saja Tuhan yang 'satu'. Melangkah bersama untuk damai, mengurai hubungan-hubungan manis di antara sesama merupakan keniscayaan. Nah, kembali suci dengan Idul Fitri berarti kita akan menjalani hari-hari setelah hari kemenangan ini dengan berseri-seri.

Saturday, September 11, 2010

Lebaran


Setelah shalat, mereka pun menikmati opor dan ketupat. Nikmat memendar ke mana-mana, terlihat dari wajah sumringah. Sebelumnya, mereka harus bersalaman satu sama lain, menandai keikhlasan untuk saling memaafkan, seperti disimbolkan dengan lambang idul fitri di sini, ketupat (berasal dari bahasa Jawa kupat, ngaku lepat). Belum lagi, krupuk udang turut menyempurnakan sarapan di awal bulan Syawal. Makan di keramaian ternyata mengasyikkan.

Mengimbas kembali, pagi-pagi saya, isteri dan anak sudah bangun, satu jam sebelum subuh. Surau di bawah flat pun mengumandangkan azan, namun tak diikuti dengan takbiran. Maklum, kami tinggal di rumah susun yang kebanyakan penghuninya bukan Muslim. Untungnya, radio Kedah FM menyiarkan takbiran sehingga suasana hari raya menyebar di seantero ruangan rumah mungil kami. Kira-kira jam 7, kami pun turun menyambut Pak Allwar dan Ibu Yuni bersama puteri dan puteranya, Salsa dan Azka untuk berangkat bersama ke wisma, Jalan Tunku Abdurrahman.

Sesampainya di rumah konsul, kami pun duduk di tikar yang digelar di halaman. Sambil menunggu jamaah yang lain, kami pun memulai melantunkan takbir, tahmid dan tasbih. Perlahan, banyak warga berdatangan, baik dengan bus, mobil pribadi dan sepeda motor. Setelah satu jam mengagungkan nama Allah, panitia pun mengumumkan shalat id akan segera dimulai. Sayangnya, tanpa saya tahu sebelumnya, sebuah organisasi dan partai politik nyelonong dalam rangkaian acara, berupa penyerahan zakat secara simbolik pada tenaga kerja. Jelas-jelas ini menyalahi kepatutan. Seharusnya mereka tidak melakukan ini di depan jamaah shalat id. Apa lacur, semua telah terjadi. Terus terang, simpati saya pada partai ini tergerus.

Thursday, September 09, 2010

Menjelang Lebaran


Gambar di atas diambil beberapa hari yang lalu, ketika pengunjung bazaar Ramadhan masih dengan setia berkunjung ke lapak-lapak makanan dan minuman di depan asrama kampus. Kemarin, sekilas saya melihat hanya satu lapak yang masih berjualan. Suasana pun lengang. Para penjual mungkin sudah balik kampung untuk merayakan idul fitri bersama keluarga. Saya pun bersama isteri dan anak melakukan hal serupa, tidak mudik, melainkan membeli keperluan hari raya berupa sarung, jenama Mangga dan Gajah Duduk, dan baju koko bermerek Syawwal. Sementara untuk kopiah dan sandal saya tak perlu menggunakan barang baru, karena yang lama masih bisa dipakai.

Andaikan perubahan prilaku semudah kita memperbaharui barang kita, mungkin hidup ini terasa lebih mudah dijalani. Namun, kehendak seperti ini tak segampang kita membalikkan telapak tangan. Tapi, pengalaman berpuasa selama ini telah mengajarkan banyak hal bagi saya, menunda. Ternyata kenikmatan sesuatu itu semakin terasa, setelah kita mencoba untuk tak terburu-buru mencecapnya. Selain itu, ketergesaan hanya akan membuat kita memaksakan diri, seperti berhutang atau melahapnya sebelum matang. Untuk menunda, kesabaran saya pun acapkali ditantang, malah hanya hal ihwal sepele dan remeh temeh. Saya seakan-akan digelayuti beban menggunung untuk membuat hidup itu tertanggungkan. Padahal, siapa pun tahu keperluan kita terhadap benda hanya secuil, namun hasrat itu memaksa membuatnya bejibun.

Kadang, untuk membenarkan tindakan itu, saya pun memberikan pengesahan dengan pelbagai alasan. Misalnya, saya memerlukan telepon genggam terkini dan tercanggih untuk memudahkan pekerjaan. Padahal, diam-diam saya sedang mereka-reka bahwa dengan alat itu, kedudukan saya main mencorong, karena seleranya tampak mewah. Ya, alter ego itu kadang menyeruak begitu saja, tak dapat dicegah. Anehnya, pengalaman kecil di kampung diam-diam turut membentuk kepribadian, di mana kepemilikan benda merupakan penanda untuk membedakan diri dengan kebanyakan. Ups, apakah ini cara saya mengelak dari sifat-sifat tidak murni? Mengapa saya harus menafikan itu semua?

Setelah beranjak tua, saya pun tepekur bahwa kepemilikan benda itu tidak perlu disangkal sebagai pengotoran jiwa. Eskapisme adalah tanda kelemahan jika dijadikan pijakan untuk berdamai dengan kekalahan. Saya pun ingin memenangkan pertarungan dengan diri sendiri. Untuk itu saya membeli barang yang diproduksi sendiri. Siapa pun, termasuk saya, hanya memerlukan kenyamaan, namun pada waktu yang sama saya harus memikirkan bahwa pengorbanan itu adalah sejenis kenikmatan. Hanya saja, kata Rhoma Irama, pengorbanan harus disertai doa. Jadilah lagu Pengorbanan dan Doa itu menjadi suara latar untuk cetusan hari ini.

Friday, September 03, 2010

Ramadhan dan Ingatan


Kemarin, saya melawat bazaar Ramadhan, untuk ke sekian kalinya. Seperti sebelumnya, pemandangan yang sama, orang lalu lalang, penjual aneka ragam makanan dan minuman, dan teriakan sebagian penjual untuk menarik pengunjung: ayam bakar, otak-otak, dan nasi tomato menghiasi sore yang terang itu. Secara tak sengaja saya melewati lapak penjualan buku-buku dan CD musik lama. Langkah terhenti, saya lalu memelototi buku dan CD musik. Karena waktu hampir Maghrib, saya pun tak lama berdiri di situ, dengan segera saya membeli album Wet Wet Wet Picture This (1995). Lagu Julia says dan Love is All Round sangat populer pada tahun itu, masa ketika saya menyelesaikan pendidikan di Institut Agama Islam Negeri Yogyakarta.

Sebenarnya saya sempat ingin membeli drama coretan Oscar Wilde, namun niat urun karena saya harus bergegas dan berharap hari ini akan kembali untuk mengoleksi karya penyair ternama itu. Maklum, suara penyair itu cocok untuk ditempelkan di Facebook dan Twitter. Buku lain yang menjadi incaran adalah Bagaimana Menjadi Orang Tua yang baik. Dengan harga sekitar RM 4 atau RM 5, pengunjung bisa memiliki karya-karya lama yang bermutu. Tak hanya buku, album penyanyi terkenal juga tersedia, seperti Lionel Richie, Ruth Sahanaya dan Kahitna.

Semalam saya tak sempat memutar lagu Wet Wet Wet, baru pagi tadi Julia Says berkumandang lembut melalui piranti Windows Media Player dan speaker mungil. Meski tak semua lagu yang ada di album itu seenak dua lagi yang disebutkan di atas, namun saya tetap menikmati lagu-lagu lain, After Love Goes, Gypsy Girl, dll karena hakikatnya ia pembelajaran bahwa kita tidak akan pernah sepenuhnya menemukan kenikmatan dari seluruh lagu dalam sebuah album, namun menunggu lagu yang disenangi adalah proses meraup kenikmatan yang lebih penuh. Bagaimanapun, menunda itu adalah juga kegembiraan. Bukankah ini juga terjadi pada kita yang menahan diri untuk makan hingga azan Maghrib di bulan ini?

Sup tulang sapi itu memang terasa lebih nikmat di lidah. Demikian pula saya mencicipi agar-agar sedikit demi sedikit agar kelembutan makanan dari sarang walet ini tak cepat hilang. Siapa pun tahu makanan itu hanya memerlukan waktu tak lama, lalu kita akan mengurus keperluan batin, yang diasup melalui cita rasa estetik, termasuk mendengarkan musik Wet Wet Wet.

Thursday, September 02, 2010

Dikutuk sebagai Sysyphus

Kontan, 31 Agustus 2010

Ahmad Sahidah
Peneliti Pusat Pengajian Ilmu Kemanusiaan
Universitas Sains Malaysia

Setelah kasus penangkapan 3 pegawai Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) usai, hasil dengar pendapat Marty Natalegawa dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkait hubungan bilateral Indonesia-Malaysia justeru memantik kontroversi baru, Indonesia lemah menghadapi negeri tetangganya. Analisis pelbagai disiplin dimanfaatkan untuk menyorot persoalan ini. Di media cetak dan elektronik, isu tersebut dibahas dengan jernih, sementara media sosial (facebook dan twitter) kedua warga tak sabar dengan meluahkan sumpah serapah. Perang sepertinya sudah di depan mata.

Anggota DPR sebagai wakil rakyat wajar menyoal kelambanan pemerintah dan malah ketidakberdayaan menghadapi negeri tetangganya. Dengan hanya pertanyaan pendek, orang nomor 1 di Kementerian Luar Negeri tersebut harus berpanjang-panjang menjelaskan. Itu pun belum memuaskan. Anggota dewan tetap menuntut pemerintah Indonesia harus mengambil tindakan drastik agar Malaysia tak lagi mengusik kedaulatan untuk ke sekian kalinya. Meski usulan persona non grata duta besar Malaysia di Jakarta dan penarikan Da’i Bachtiar dari Kuala Lumpur ditolak, namun suara di luar masih nyaring terdengar.

Setelah pelemparan kotoran manusia, media Malaysia baru bereaksi keras. Meskipun hanya Utusan yang menjadikan kasus ini di berita utama, namun sebagai media arus utama, ia telah memantik kegeraman warga serumpun. Tak hanya itu, Khairi Jamaluddin, ketua Pemuda UMNO (United Malay National Organization) mengirimkan pernyataan protes pada Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI). Lebih jauh, Anifah Aman, Menteri Luar Negeri, meradang dengan mempertimbangkan travel advisory, ancaman yang sama dengan yang dilakukan oleh Amerika dan Australia ketika Indonesia dianggap tidak aman bagi warganya karena aksi terorisme.

Pegiat Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) betul-betul layak diperhitungkan. Segelintir orang ini mampu menggoyang elit Malaysia untuk bersuara keras. Tak jauh bedanya jika elit Indonesia menyoal penyiksaan Tenaga Kerja Wanita (TKW), jawaban standar koleganya di Malaysia bahwa kasus penyiksaan pembantu rumah tangga itu sebagai ‘terpencil’, istilah negeri jiran bahwa ia tidak mencerminkan kebanyakan kondisi TKW yang bekerja dengan baik dan membantu keluarganya di kampung halamannya berupa pulangan (remittance). Seharusnya, elit Malaysia juga melihat hal serupa dengan kasus LIRA. Apa lacur, kotoran itu telah dilempar ke halaman rumahnya di Jalan Rasuna Said. Pemimpin harus tampil ke depan untuk menyuarakan suara rakyatnya.

Namun, di balik sikap keras elit, Khairi Jamaluddin, menantu bekas orang nomor satu Malaysia, Abdullah Badawi, masih sempat mengirim kicauan balas di twitterlandnya Dino Patti Jalal, Duta Besar RI untuk Amerika Serikat, berkait dengan ide bekas staf ahli presiden tersebut tentang kantor pemerintahan yang ideal. Betapa hubungan personal antara elit ‘baik-baik saja’, layaknya lagu Wali Band yang acapkali diputar di radio Malaysia. Namun tidak di kalangan orang ramai, kemarahan meruyak. Harus ada tindakan keras yang harus diambil pemerintah agar Malaysia tak lagi dengan mudah mengoyak kedaulatan. Demikian pula, salah seorang warga Malaysia yang bergelar PhD menghapus teman-teman facebook asal Indonesia sebagai protes pribadi dan kecintaan kepada Malaysia. Elit dan rakyat mengambil jalan yang berbeda.

Batu Sandungan

Boleh dikatakan hubungan Indonesia-Malasia adalah batu sandungan paling besar yang harus diselesaikan unuk menuju masyarakat ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) yang tinggal 5 tahun lagi. Tampaknya, mengingat pusaran masalah yang sama, isu kedaulatan terkait batas perairan, Tenaga Kerja Indonesia (TKI), klaim warisan budaya yang tak kunjung usai, maka peselisihan semacam ini akan terus naik turun. Padahal instrumen untuk menyelesiakan pertikaian begitu banyak, dari tingkat resmi melalui pemerintah masing-masing, demikian juga partikelir,seperti Eminent Persons Group (EGP) yang diterajui oleh Musa Hitam dan Try Sutrisno dan Iswami (Ikatan Setiakawan Wartawan Malaysia-Indonesia. Sayangnya, suara keduanya nyaris tak terdengar.

Bagaimanapun, penjelasan Marty Natalegwa melegakan, bahwa sikap tegas pemerintah adalah berunding dengan Malaysia, karena berkait dengan kepentingan nasional, seperti penyelesaian pembalakan liar (illegal logging), penyiksaan TKI, dan penyelundupan manusia (human trafficking). Malaysia juga mempunyai alasan yang serupa, membela kepentingan rakyatnya. Sayangnya, sikap tegas ini justeru dianggap lembek oleh banyak pengkritiknya di tanah air. Padahal, mekanisme pengajuan protes telah dilakukan oleh Kementerian Luar negeri Indonesia dan telah dijawab oleh koleganya melalui bukti salinan dalam dengar pendapat di gedung DPR yang disiarkan secara langsung oleh televisi swasta.

Masalahnya, jika protes RI akhirnya juga menuai protes Malaysia, apa sebenarnya yang sedang terjadi? Dua kepentingan bertabrakan. Dalam hukum internasional, ia bisa diselesaikan oleh kedua negara melalui perjanjian bilateral. Namun jika keduanya menghadapi jalan buntu, perselisihan tersebut bisa diselesaikan oleh pihak ketiga yang dianggap mempunyai otoritas, yang memungkinkan pengalaman buruk terulang, keputusan Mahkamah Intenasional (Internation Court of Justice) di Den Hague Belanda terkait Sipadan-Ligitan. Di sini, keduanya seperti berjudi, apakah peta batas perairan 1979 yang akan digunakan atau 1982 seperti ditunjukkan oleh Marty Natalegawa.

Namun perlu diingat, batas itu adalah warisan wilayah sengketa Inggeris dan Belanda. Anehnya, negeri jajahannya sekarang berkeras kembali untuk melanjutkan. Anda tentu bisa membayangkan apa yang bisa dilakukan kedua penjajah pada masa itu itu, kompromi dengan membagi-bagi wilayah kekuasaan. Tentu, Indonesia dan Malaysia tak akan melakukan hal yang sama. Kalau ‘perang’ di mahkamah internasional berkobar, ia harus berakhir zero sum game. Apalagi, jauh-jauh hari sebelumnya pemerintah Malaysia pernah memberikan isyarat bahwa sengketa wilayah antara kedua negara harus diselesaikan di Den Hague jika menghadapi jalan buntu. Maukah pemerintah Indonesia meladeni tantangan ini?

Jauh dari sekadar kehilangan Sipadan dan Ligitan yang mempunyai pengaruh luas dalam psikologi masyarakat Indonesia, hal yang sama hakikatnya terjadi juga dengan Malaysia yang harus kehilangan Batu Putih. Singapura memenangkan perebutan wilayah ini. Bedanya, Indonesia-Malaysia tak hanya bertaut dengan kasus kedaulatan wilayah, tetapi juga tenaga kerja, pembalakan liar, dan warisan budaya sebagaimana telah ditunjukkan di atas. Tampaknya, eksistensi dua negara serumpun ini telah dikutuk oleh dewa sebagai Sysyphus yang harus menaikkan batu ke atas gunung, yang terpaksa harus bekerja lagi untuk mendorong batu itu ke atas setiap kali ia berhasil meletakkan beban itu di puncak.

Haruskah kedua negara mengalami nasib seperti Sysyphus? Jika ya, mari nikmati drama ini dengan seluruh. Pemimpin bisa berganti, namun masalah yang mendera itu-itu saja. Mungkin betul, perang adalah jalan keluar dari mitos Sysyphus ini. Tapi, siapa yang mau? Lagi pula, seperti ditegaskan Albert Camus dalam Le Mythe de Sisyphe bahwa bunuh diri itu (dalam kasus ini adalah perang) bukan jalan keluar dari masalah eksistensial manusia. Perjuangan untuk menaikkan batu itu sendiri adalah pemberontakan yang harus dilakoni. Kedua negara serumpun ini adalah Sysyphus yang menemukan kebahagiaan dengan cara menaikkan beban itu ke atas puncak. Jadi, mari nikmati drama Sysyphus di abad baru ini.

Puasa [7]

Saya berfoto dengan Hikam, mahasiswa Elektro, yang menjaga portal pondok. Di sebelahnya, ada temannya, Febi, yang juga bertugas. Nama terakh...