Wednesday, April 27, 2011

Memikirkan Tembakau

Mendung menghalangi kita untuk membaca iklan tersebut dengan jelas. Tentu, kamera telepon genggam dengan kekuatan 1.3 megapixel tak bisa menembus kegelapan. Seruan yang ada di papan itu adalah permohonan terhadap warga untuk tidak menghasilkan olahan berbahan tembakau tanpa izin. Ya, belakangan ini, kita banyak menemukan rokok tanpa cukai, yang di daerah ini dikenal dengan durnoan. Dengan tegas, pihak berkuasa memasang papan iklan besar untuk menakut-nakuti warga dengan sangsi hukum. Ujung-ujungnya, hanya perusahaan besar bisa menangguk keuntungan dari niaga ini, sementara pemodal kecil menggigit jari.

Papan iklan itu berdiri kokoh di pasar kecamatan, tak jauh dari rumah saya. Kita tentu mendukung usaha pejabat setempat untuk menenggakkan aturan. Namun pada waktu yang sama, pemangku kepentingan juga memikirkan nasib petani, yang hingga kini seringkali tak membawa hasil karena tata niaga tanaman ini yang tidak menguntungkan mereka. Belum lagi, perubahan iklim telah memorak-porandakan jadual tanam. Sejatinya, petani tembakau hanya menjadi sapi perahan dari pabrikan besar, sebab gudang-gudang perusahaan hanya membeli tembakau dalam rentang waktu singkat, lalu setelah itu harga bahan rokok ini jatuh menjunam. Alasan lama, stok sudah cukup dan gudang penuh.

Nah, menjelang musim tanam di bulan Mei, kita berharap anggota wakil rakyat daerah dan pemerintah menyelesaikan ihwal di atas agar petani kita tidak selalu menjual tembakau murah dan membeli rokok berizin dengan harga mahal. Lebih celaka lagi, ketika mereka harus membayar mahal cukai rokok, hasil pajak itu ditilap pegawai yang mengurusnya. Lebih jauh, kita harus mendorong usaha bersama mengurangi ketergantungan warga terhadap asap rokok agar mereka sehat dan petani tak selalu menanggung rugi.

Puasa [7]

Saya berfoto dengan Hikam, mahasiswa Elektro, yang menjaga portal pondok. Di sebelahnya, ada temannya, Febi, yang juga bertugas. Nama terakh...