Wednesday, December 29, 2010

Persatuan Karyawan

Mereka sedang berpose untuk mengekalkan sebuah ingatan dalam kunjungan ke Universitas Riau. Masing-masing telah membawakan makalah untuk seminar internasional, membahas hubungan dua saudara yang acapkali membara. Namun, dengan duduk bersama dan menampakan muka, kita hakikatnya sedang berjuang melawan diri sendiri. Musuh itu ada dalam cermin, Kawan!

Inilah secuil ikhtiar untuk menautkan dua negeri yang seringkali dibelit mimpi ngeri. Namun, kebesaran hati untuk mengurai kusut masai, ada banyak hal yang terurai. Tiba-tiba dalam sebuah acara pembukaan, sang pembaca doa menyelitkan pantun indah, sebuah ekspresi yang sama dengan Semenanjung dalam melakoni sebuah acara. Keasingan sejatinya tidak ada, namun sudut pandang kadang menjerembabkan siapa pun terseret pada kemalangan. Wow, ternyata kita sendiri mencelakakan diri.

Perjalanan indah setelah seminar adalah kenangan yang tak akan dilupakan peserta. Ya, Candi Muara Takus dan Istana Siak adalah jejak masa lalu yang mengaitkan dua negara ini dalam sebuah bingkai cerita yang sama. Jika sekarang keduanya memilih untuk mengurus nasibnya sendiri, maka kita hanya perlu tunduk pada aturan yang telah ditorehkan oleh orang bijak zaman dulu: jujur dan bekerja keras. Ya, Candi itu adalah kejujuran dan Istana itu adalah buah kerja keras.

Tuesday, December 28, 2010

Candi Muara Takus

Dari bayangan candi itu, Anda bisa menebak matahari terik, menerkam bumi. Namun, karena saya beradu dengan waktu, tak hirau dengan sengit sinar mentari. Sambil naik turun candi, saya mencoba mengerti mengapa ada simbol itu. Candi Muara Takus, kata Zulkifili, pemandu candi, dibangun pada abad ke-11. Lalu saya bercanda pada rombongan, saya tak pasti siapakah gerangan nama nenek moyang saya pada waktu itu?

Tak banyak yang berkunjung pada waktu itu. Hanya rombongan dari Malaysia dan sebuah keluarga Tionghoa lokal, Kotan Pekanbaru, yang salah satunya adalah anak kecil bernama Gilbert. Alamak, Inggeris banget! Mereka ramah dan sebagian bisa berbahasa Hokkien. Ibu si kecil bercerita bahwa banyak turis yang datang dari banyak negara pada waktu perayaan, seperti Singapura, Taiwan, dan Thailand. Namun, mengapa fasilitas kamar mandi hanya dua dan airnya mengalir malas?

Demikia pula, warung kaos bergambar Muara Takus dan minuman dibuat seadanya. Sepatutnya pihak terkait membangun warung yang terintegrasi dengan aura candi. Sambil minum, pengunjung bisa menikmati visualisasi dan cerita candi tanpa harus menahan terik. Celakanya lagi bendera rokok yang dipacak di sepanjang jalan depan Candi hanya mencacatkan pemandangan. Seharusnya warisan itu bisa berdiri lebih gagah dibandingkan keadaannya sekarang. Apa mau dikata, tampaknya pemerintah lokal abai dan penggiat wisata tak menangkap peluang.

Membaui Rumput

Empat orang bertopeng itu bukan ninja, tetapi pekeja pemotong rumput. Ketika mesin mereka bergerak, bau rumput segar menyeruak. Saya merasa kesegaran menyerbu hidung. Bau rumput mengeluarkan aroma alam. Selain itu, kawasan kampus makin berseri karena pemandangan indah dan semak tak marak. Mungkin mudah melakukan ini semua, tetapi hakikatnya ia mengandaikan hierarki dan pengurusan (manajemen).

Namun sebagaimana di tempat lain, pembangunan tak pernah usai. Pagar seng biru membuat keadaan tampak centang-perenang. Di tempat lain, banyak jalan beraspal di kampus tak rata karena baru digali dan menimbulkan warna hitam pekat, tak serasi dengan warna jalan semula. Oleh karena itu, dosen arsitektur kampus, Syed Talhah mengkritik penggalian jalan untuk keperluan penanaman kabel baru karena membuat jalan tak elok dipandang mata. Apa boleh buat, perkembangan teknologi menuntut penghuni untuk menyesuaikan diri.

Demikian pula, penambahan gedung baru makin membuat kampus sesak. Ruang publik makin terdesak. Mungin penambahan pohon bisa dilakukan untuk memanfaatkan ruang agar hijau. Sebagaimana dalam hitungan ahli ruang bahwa manusia memerlukan pohon untuk bernapas lega. Untuk menyiasati ini, beberapa sudut kampus pun dihijaukan dengan rumput dan pohon, sehingga penghuninya tak merasa berada di hutan batu.

Friday, December 17, 2010

Melewati Ruang

Melewati gedung ini, saya merasakan lebih tentram. Dulu, di pinggir Dewan Tunku Syed Putera, tak ditanami rumput dan pohon. Sekarang, seperti Anda lihat, pemandangan lebih segar. Meskipun jalan menaik, saya menikmati setiap langkah. Anda juga mengalami hal serupa jika melakukannya. Tentu, jalan kaki 10 ribu langkah yang dianjurkan agar kita sehat memerlukan lingkungan yang juga nyaman. Sekarang, kampus telah menyediakan fasilitas, tinggal orang ramai memanfaatkan agar kaki kita tak malas mengayun langkah.

Tampaknya, pembuatan dan perbaikan jalan setapak telah banyak dilakukan, seperti di depan Pendidikan Jarak Jauh. Tentu, pemanfaatan jalan tersebut bisa maksimal kalau pengaturan parkir dilakukan. Pihak kampus harus mengatur pusat parkir di beberapa titik kampus, seperti di depan stadium, lapangan sepak bola minden, dan depan Masjid.

Merenung

Sambil menunggu pertemuan Universitas Muhammadiyyah Makasar dan Universitas Sains Malaysia di ruangan rapat Kantor Internasional, saya merenung pohon. Tanpa kehadirannya, tentu saya tak akan duduk di situ. Adakah akar itu juga tumbuh dari batang? Wow, betapa kokohnya pohon itu. Udara yang bertebaran di sekitar tumbuhan ini serasa segar. Matahari terhalang menghantam bumi, sehingga saya tak perlu mengeram di gedung batu. Penyaman udara (air conditioner) membuat kulit kering, sementara udara alam membuat kulit tentram. Jika Tuhan memberikan cukup untuk bumi, mengapa kita menciptakan mesin yang merusak diri dan bumi ini?

Wednesday, December 15, 2010

Merayakan Kebebasan, Mungkinkah?

Jika ditanyakan soal di atas, jawabannya mungkin tidak sesederhana ya dan tidak. Ia jauh lebih rumit karena mengandaikan perdebatan banyak hal. Apa pun, rambu-rambu harus dibuat. Di sini, kita akan menemukan makna kebebasan hakiki. Masalanya, siapa yang dipercaya untuk membuatnya? Ini memerlukan satu artikel lagi.

Membiarkan

Membiarkan adalah kata yang membuat cemas. Di satu sisi, si kecil harus menjelajah, membuka apa saja, untuk mengerti. Namun, haruskan semua ia harus lihat? Belum lagi, setelah menekuri gambar, ia pun dengan santai membuang begitu saja, tak mengembalikan bacaan itu di rak. Orang tua pun mencoba bersabar, mengajar agar barang itu dikembalikan ke tempat semula. Namun, hingga hari ini, ia masih belum mengerti. Tiba-tiba, ia beranjak pergi, mencari ruang lain untuk bermain.

Monday, December 13, 2010

Berlari

Anak kecil itu berlari, tepatnya berjalan lebih cepat, seperti yang lain di stadion kampus. Tentu, Anda bisa menebak siapa yang sedang berlari di depannya, berkaos putih dan bercelana hitam. Tentu ia terlalu kecil untuk berlari sejajar dengan orang tuanya, namun ia telah memulai untuk melangkah. Kita pun juga begitu, selalu mengejar apa yang ada di depan.

Mungkin sekali waktu, kita hanya perlu menikmati perjalanan kita sendiri. Biarlah yang ada di depan bertarung dengan kehendak sendiri. Dengan daya yang ada pada kita, setiap langkah adalah ikhtiar untuk membuat nyaman tubuh dan pikiran kita sendiri. Kadang tebersit, kita hanya ingin mengejar dan mengejar harapan, sehingga melupakan apa yang sedang digenggam.

Setiap orang hakikatnya mengurus hidupnya sendiri. Bahkan dalam kebersamaan, masing-masing sedang memperbesar kenikmatan yang bisa diraup sebanyak mungkin. Namun, pertemuan itu bisa dijadikan cara agar satu sama lain saling berbagi untuk mewujudkan kegembiraan tanpa harus mengorbankan orang lain. Namun drama hidup kadang berjalan di luar keinginan, ada yang merasa nyaman ketika korban berjatuhan.

Tuesday, December 07, 2010

Merayakan Peristiwa


Semalam, saya menulis di twitter, menyahuti kicauan teman, Irfan Syauqi Beik, bahwa pagi ini saya akan berolahraga seraya menambah kata, umat harus kuat, agar cermat. Tahun baru Islam, yang dikenal dengan peristiwa hijrah Nabi, tentu menjadi titik penting untuk menentukan resolusi. Sayangnya, pagi ditingkahi hujan, sehingga saya tak bisa menunaikan janji, namun kami menebusnya di sore hari, menikmati trek stadion kampus. Si kecil pun dengan riang berjalan ringan, perlahan.

Saya pun berlari mengelingi trek untuk memeras keringat. Baru tiga putaran, saya berhenti karena melayani perbincangan kawan baru. Isterinya adalah teman ibunya Nabiyya. Jadilah, kami pun ngobrol ringan. Sebelum berpisah, saya berpesan kalau ada waktu keluarga itu menghadiri pengajian Sabtu pagi di masjid kampus, lumayan untuk menjalin silaturahim. Lalu, saya pun melaju lagi untuk meringankan tubuh. Ya, saya merasa tubuh ini makin berat dan malas jika tidak bergerak, terlalu asyik duduk di kursi memelototi komputer. Tak perlu waktu lama, kami pun beranjak dari stadion menuju warung Mamak (India Muslim), Istimewa, untuk mengasup roti canai.

Terus terang, di warung ini kami bisa menikmati keriangan karena lokasinya yang menyenangkan, luas dan bersih. Dari sini, kami pun masih sempat melihat bukit yang hijau, tak jauh. Di sela-sela menikmati roti, selain melihat tingkah si kecil, saya pun membaca berita koran yang mengupas tentang perayaan tahun baru Hijriyyah. Ia menegaskan kembali apa yang disampaikan ustaz dua minggu yang lalu, bahwa hijrah itu secara etimologi meninggalkan yang pertama, menuju yang kedua atau lawan dari tetap. Ya, melangkah dari rumah ke stadion adalah hijrah kecil.


Sunday, December 05, 2010

Ilir-Ilir di Pulau Mutiara



Merasakan lagu Sunan Bonang di Pulau Pinang, saya membayangkan Sang Wali hidup kembali, membelai ubun-ubun. Lagu ini dibawakan oleh adik-adik dari grup nasyid Jakarta. Dalam rangkaian acara di atas, ada persembahan lain, seperti tarian zapin, barzanji dan dangdut. Wow, semua berada dalam satu panggung. Mereka menanti giliran untuk tampil. Seperti hidup ini, kita hanya menunggu giliran, apa pun. Kalau tidak dapat di sini, paling tidak kita masih bisa berharap di tempat lain.

Friday, December 03, 2010

Agama Publik

Agama publik (public religion) adalah istilah teknis yang bisa jadi rumit uraiannya. Ia kadang dibedakan dengan agama pribadi, yang juga menjadi panjang jika ingin dimaklumkan pada orang ramai. Tetapi jika agama publik dipahami secara harfiah dari kata ini, agama masyarakat, ia bisa dilihat dari rak buku di atas. Khalayak hanya perlu memikirkan kembali ibadah dan doa mereka. Adakah ia sekadar memenuhi perintah, atau lebih jauh ingin meraup berkah, maka ini pun melahirkan silang pendapat.

Pendek kata, secara tersirat, apa yang dilakukan oleh orang ramai bisa ditafsirkan sebagai sebuah konfigurasi yang rumit tentang makna agama. Ketika kritik dilayangkan pada mereka yang mengamalkan agama secara formal, hakikatnya, mereka sedang menyelami makna batin dari agamanya. Tubuh mereka akan merespons secara berbeda pada keadaan yang dimanjakan di mal atau di masjid. Meramaikan yang terakhir tentu beda pengaruhnya dengan yang pertama.

Hanya orang yang baru belajar filsafat enggan memakmurkan surau tempat ia tinggal. Hakikatnya ruang publik itu berupa tempat yang tak mencecoki tubuh dengan materi semata-mata, tetapi harus berupa ruang yang membuat tubuh kita nyaman secara spiritual. Di sini, orang bertemu karena mengandaikan kerinduan ilahi, bukan transaksi. Mal adalah ruang di mana orang terperangkap pada rayuan gombal tentang kebahagiaan dan surau adalah antitesis dari kegombalan itu. Orang ramai perlu diyakinkan bahwa mereka harus tahu jalan pulang, tempat ibadah. Sementara segelintir pemikir akan merana mati sendirian, jika gagasannya yang terbenam dalam benaknya tak berbuah tindakan.

Coba lihat buku Indahnya Amalan Doa Ismail Kamus di atas. Ia akan lebih menarik orang untuk membeli karena kandungannya sejalan dengan kehendak orang kebanyakan, berdoa untuk mendapatkan kebaikan. Tambahan lagi, pengarang tersebut adalah penceramah yang sangat populer. Dalam sebuah kesempatan, saya sendiri pernah mengikuti ceramah bekas politisi ini di kampus. Wow, seluruh kursi ruang auditorium kampus terisi. Bahkan, sebagian peserta duduk di lantai dan di luar gedung. Peserta ger-geran menanggapi kelucuan penceramah, sehingga membuat mereka betah berlama-lama mendengar pengajian. Hal serupa juga terjadi ketika Fadilah Kamzah, motivator dan penceramah agama hadir di tempat yang sama. Pendek kata, agama publik itu bisa ditakrifkan sebagai agama yang dipahami dan dinikmati orang ramai.

Wednesday, December 01, 2010

Penunjuk Arah

Lihat papan tanda itu (signboard), meski tak jelas hurufnya dari kejauhan tapi ia mengandaikan arah yang harus dituju jika seseorang ingin menuju ke satu tempat. Hidup juga begitu. Jika tanda arahnya tidak didekati dan dipahami, kita mungkin tersesat.

Belajar Makan

Kadang anak kecil tak lagi mau disuap oleh orang tua. Mereka ingin melakukannya sendiri seperti orang dewasa. Meski berat, orang tua tentu memberikan kesempatan pada mereka untuk belajar, dan selalu saja untuk awal-awal, nasi itu bertaburan. Lho, lauknya mana?

Puasa [7]

Saya berfoto dengan Hikam, mahasiswa Elektro, yang menjaga portal pondok. Di sebelahnya, ada temannya, Febi, yang juga bertugas. Nama terakh...