Wednesday, July 16, 2025

Bermain Bola

Kemarin, Zumi bilang bahwa ia mau membawa bola ke sekolah. Hari ini, penyuka Neymar tersebut menggocek si plastik bundar bersama-bersama kawan-kawannya. 

Meskipun panas karena matahari hampir berada di atas kepala, mereka tampak bersemangat. Ini mengingatkan kami dulu waktu kecil di kampung halaman. Saya dan teman-teman sering melakukan hal serupa, bahkan sekali waktu bermain di waktu malam kala bulan purnama di halaman madrasah. 

Inilah salah satu kegiatan yang mendatangkan keriangan pada murid. 
 

Membaca Buku

 Saya dan istri duduk di depan pasar mini sambil menikmati kue setelah jalan  kaki di alun-alun Kraksaan. Udara pagi yang segar menjadikan kami tampak bugar. Ada banyak orang yang juga mengayunkan tungkai kaki mengelilingi ruang yang membatasi rumah dinas bupati dan kantor pemkab.

Di sini, saya memeriksa kembali karya Henry Giroux. Katanya, kewarganegaraan kini dikaitkan dgn tindakan membeli dan menjual komoditas (termasuk calon wakil rakyat), bukan memperluas kebebasan dan hak-hak rakyat. Apa fenomena yang sama juga terjadi negeri kita?


Kita perlu daya ungkap baru agar nilai demokrasi bisa dihayati dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Jika tidak, politik adalah ajang 5 tahunan di mana uang dijadikan alat tukar untuk dapat dukungan. 

Thursday, July 10, 2025

Buku Teks

Barusan kami mengambil buku pelajaran Zumi. Ia dan kawan-kawan membelinya dari sekolah. Tadi, kami bertemu dengan banyak orang tua yang juga membantu anak-anaknya mendapatkan bahan pelajaran. Di kelas lima, si bungsu akan belajar dan bermain dengan menimbang kesadaran agama, sehat, budaya lokal, dan teknologi. Kita tentu senang dengan ketetapan sekolah untuk menyelaraskan pembelajaran dengan kebiasasan sehat, ramah pada budaya, taat beragama dan tidak gagap teknologi.

Lalu, apakah pedagogi sekolah kita berada di garis konservatif, liberal, atau kritis?

 


Wednesday, July 09, 2025

Renungan

Dulu, kita tak mudah dapat mainan dan memilih berenang di sungai atau menggocek bola plastik. Untuk mendapatkan mobil-mobilan, kita bisa mengubaisuai bekas bungkus rokok dan membuat ban dari sandal yang dibuang.

Kini, mainan pabrikan mudah ditemui di warung, dan lapak belanja daring. Namun, kala lihat anak-anak kampung memancing di sawah, masa kecil berpendaran. Apa yang alamiah adalah berkah.

Duh, Raja Pop? Dulu, secara latah saya mengenalkan diri sebagai Ahmad Jackson ketika ditanya Pak Akib di acara Pramuka. Lagu-lagunya dikenal oleh remaja yang sekolah ke kota. Black or White menguncang selera musik warga, tanpa saya tahu makna terdalam dari nyanyian ini. 

Kini, dua kata ini bisa ditukar dengan lema apa saja untuk menegaskan identitas usah menutup hakikat bahwa kita adalah manusia yang sama dan setara. Budayalah yang menciptakan tanda, apakah kelas, keyakinan, dan kedudukan. Dalam sunyi, jati diri hadir.

Dalam kerumunan, setiap orang bersolek. Aneh, ia perlu pengesahan dari liyan. Padahal, apa pun yang kita lakukan acuannya adalah rasa nyaman. Menyiksa diri agar tampil sesuai keinginan khalayak adalah celaru. Pelik, kita sering menggelorakan kesejajaran seraya menyebut pesan simbolik ihram haji, tetapi pulang kita merayakan kebedaan.

 

Identitas

Zumi: Why do we stay here, not in Malaysia? Tiba-tiba, si bungsu bertanya setelah kami bermain badminton dan menyusuri selokan untuk melihat ikan. 

Jati diri Arab mitos, itu kata Musa Kazhim. Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Hakikatnya, kini batas-batas runtuh. Dunia dilipat. Tetapi, secara administratif, kita harus memiliki kartu pengenal. 

Bahkan, sejatinya identitas itu juga politik. Cukup dengan naturalisasi, meskipun tak fasih berbahasa Indonesia, seseorang bisa memakai kaus Garuda. Lagi-lagi, lambang yang terakhir itu juga mitologi. Aha!

Mari berhitung seberapa Indonesiakah kita? Saya memulai dengan menikmati lagu Indonesia Rhoma Irama. Kata Bang Haji hijau merimbuni daratannya. Kini, tanah kita di sana sini gundul. Negeri kita hilang. Ia hanya ada di slogan.

 

Tuesday, July 08, 2025

Diskusi buku "The Gene"Siddharta Mukherjee.

Bedah buku ini tidak menampilkan satu atau dua pembicara, tetapi memberikan kesempatan pada peserta untuk berbagi pandangan. Misalnya, Faisal dengan latar Kimia, Agus dengan Psikologi, dan Carissa lulusan dokter gigi menyuguhkan gagasan sesuai dengan latar belakangnya. Pesertanya adalah warga Indonesia yang tinggal di banyak tempat, seperti Jakarta, Yogyakarta, Maroko, Doha, dan Singapura.
Aslam melihat bahwa ada kecenderungan orang berpikir kategoris, hanya berdasarkan satu disiplin tertentu. Dengan memahami genetik secara biologis, pembaca bisa mengandaikan implikasi etis dan politis, misalnya obat tertentu bisa cespleng untuk ras ini dan itu. Dengan demikian, soal tubuh tidak hanya dilihat dari satu ilmu, tetapi juga disinggung oleh pengetahuan yang lain.
Pendek kata, gagasan besar Amin Abdullah tentang kajian agama secara multidisiplin mendapat tempat dan pada gilirannya dalam menyelesaikan masalah bersifat multidimensi, sehingga dalam pengambilan keputusan tidak bias. Lalu, bagaimana dengan vaksin? Sama saja, suntikan itu juga mengandaikan orang yang diuji klinis sebelumnya.
Saya sendiri menyodorkan soal bagaimana tentang meramalkan masa depan dari gen - dan kemudian mengubah takdir melalui manipulasi genetik? (hlm. 417) Jelas, kehadiran sains menantang pandangan Akidah atau Teologi tentang nasib manusia. Jadi, perdebatan tidak hanya soal aliran-aliran kehendak bebas ("free will") dan determinisme dalam narasi yang beku.

 

Diskusi Pagi

Biyya, kerelaan suami menjadi jalan bagi isteri untuk masuk surga. Ia menjawab, "It must be equal between husband and wife".

"Equality" dan "equity" adalah dua istilah yang berbeda dalam kebahasaan. Kesetaraan itu harus, tetapi kesaksamaan itu ditimbang. Di rumah, istri bisa menguasai keuangan karena yang bersangkutan mengatur pengeluaran dan lebih mengetahui harga kebutuhan. Kekuasaan berkait erat dengan pengetahuan.

Atau, suaminya tidak perlu uang sebab dalam Filsafat Keuangan, duit itu alat tukar. Kalau barang bisa didapat tanpa dibeli, mengapa harus menyimpan doku di dompet?

Surga itu rasa nyaman. Neraka itu kegelisahan. Secara kiasan, mengapa ada Trouble in Paradise, sebab di mana pun hidup, setan pasti hadir. Namun percayalah, kata Rhoma Irama, ia pasti kalah

 

Bermain Bola

Kemarin, Zumi bilang bahwa ia mau membawa bola ke sekolah. Hari ini, penyuka Neymar tersebut menggocek si plastik bundar bersama-bersama kaw...