Thursday, July 10, 2025

Buku Teks

Barusan kami mengambil buku pelajaran Zumi. Ia dan kawan-kawan membelinya dari sekolah. Tadi, kami bertemu dengan banyak orang tua yang juga membantu anak-anaknya mendapatkan bahan pelajaran. Di kelas lima, si bungsu akan belajar dan bermain dengan menimbang kesadaran agama, sehat, budaya lokal, dan teknologi. Kita tentu senang dengan ketetapan sekolah untuk menyelaraskan pembelajaran dengan kebiasasan sehat, ramah pada budaya, taat beragama dan tidak gagap teknologi.

Lalu, apakah pedagogi sekolah kita berada di garis konservatif, liberal, atau kritis?

 


Wednesday, July 09, 2025

Renungan

Dulu, kita tak mudah dapat mainan dan memilih berenang di sungai atau menggocek bola plastik. Untuk mendapatkan mobil-mobilan, kita bisa mengubaisuai bekas bungkus rokok dan membuat ban dari sandal yang dibuang.

Kini, mainan pabrikan mudah ditemui di warung, dan lapak belanja daring. Namun, kala lihat anak-anak kampung memancing di sawah, masa kecil berpendaran. Apa yang alamiah adalah berkah.

Duh, Raja Pop? Dulu, secara latah saya mengenalkan diri sebagai Ahmad Jackson ketika ditanya Pak Akib di acara Pramuka. Lagu-lagunya dikenal oleh remaja yang sekolah ke kota. Black or White menguncang selera musik warga, tanpa saya tahu makna terdalam dari nyanyian ini. 

Kini, dua kata ini bisa ditukar dengan lema apa saja untuk menegaskan identitas usah menutup hakikat bahwa kita adalah manusia yang sama dan setara. Budayalah yang menciptakan tanda, apakah kelas, keyakinan, dan kedudukan. Dalam sunyi, jati diri hadir.

Dalam kerumunan, setiap orang bersolek. Aneh, ia perlu pengesahan dari liyan. Padahal, apa pun yang kita lakukan acuannya adalah rasa nyaman. Menyiksa diri agar tampil sesuai keinginan khalayak adalah celaru. Pelik, kita sering menggelorakan kesejajaran seraya menyebut pesan simbolik ihram haji, tetapi pulang kita merayakan kebedaan.

 

Identitas

Zumi: Why do we stay here, not in Malaysia? Tiba-tiba, si bungsu bertanya setelah kami bermain badminton dan menyusuri selokan untuk melihat ikan. 

Jati diri Arab mitos, itu kata Musa Kazhim. Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Hakikatnya, kini batas-batas runtuh. Dunia dilipat. Tetapi, secara administratif, kita harus memiliki kartu pengenal. 

Bahkan, sejatinya identitas itu juga politik. Cukup dengan naturalisasi, meskipun tak fasih berbahasa Indonesia, seseorang bisa memakai kaus Garuda. Lagi-lagi, lambang yang terakhir itu juga mitologi. Aha!

Mari berhitung seberapa Indonesiakah kita? Saya memulai dengan menikmati lagu Indonesia Rhoma Irama. Kata Bang Haji hijau merimbuni daratannya. Kini, tanah kita di sana sini gundul. Negeri kita hilang. Ia hanya ada di slogan.

 

Tuesday, July 08, 2025

Diskusi buku "The Gene"Siddharta Mukherjee.

Bedah buku ini tidak menampilkan satu atau dua pembicara, tetapi memberikan kesempatan pada peserta untuk berbagi pandangan. Misalnya, Faisal dengan latar Kimia, Agus dengan Psikologi, dan Carissa lulusan dokter gigi menyuguhkan gagasan sesuai dengan latar belakangnya. Pesertanya adalah warga Indonesia yang tinggal di banyak tempat, seperti Jakarta, Yogyakarta, Maroko, Doha, dan Singapura.
Aslam melihat bahwa ada kecenderungan orang berpikir kategoris, hanya berdasarkan satu disiplin tertentu. Dengan memahami genetik secara biologis, pembaca bisa mengandaikan implikasi etis dan politis, misalnya obat tertentu bisa cespleng untuk ras ini dan itu. Dengan demikian, soal tubuh tidak hanya dilihat dari satu ilmu, tetapi juga disinggung oleh pengetahuan yang lain.
Pendek kata, gagasan besar Amin Abdullah tentang kajian agama secara multidisiplin mendapat tempat dan pada gilirannya dalam menyelesaikan masalah bersifat multidimensi, sehingga dalam pengambilan keputusan tidak bias. Lalu, bagaimana dengan vaksin? Sama saja, suntikan itu juga mengandaikan orang yang diuji klinis sebelumnya.
Saya sendiri menyodorkan soal bagaimana tentang meramalkan masa depan dari gen - dan kemudian mengubah takdir melalui manipulasi genetik? (hlm. 417) Jelas, kehadiran sains menantang pandangan Akidah atau Teologi tentang nasib manusia. Jadi, perdebatan tidak hanya soal aliran-aliran kehendak bebas ("free will") dan determinisme dalam narasi yang beku.

 

Diskusi Pagi

Biyya, kerelaan suami menjadi jalan bagi isteri untuk masuk surga. Ia menjawab, "It must be equal between husband and wife".

"Equality" dan "equity" adalah dua istilah yang berbeda dalam kebahasaan. Kesetaraan itu harus, tetapi kesaksamaan itu ditimbang. Di rumah, istri bisa menguasai keuangan karena yang bersangkutan mengatur pengeluaran dan lebih mengetahui harga kebutuhan. Kekuasaan berkait erat dengan pengetahuan.

Atau, suaminya tidak perlu uang sebab dalam Filsafat Keuangan, duit itu alat tukar. Kalau barang bisa didapat tanpa dibeli, mengapa harus menyimpan doku di dompet?

Surga itu rasa nyaman. Neraka itu kegelisahan. Secara kiasan, mengapa ada Trouble in Paradise, sebab di mana pun hidup, setan pasti hadir. Namun percayalah, kata Rhoma Irama, ia pasti kalah

 

Sunday, July 06, 2025

Membaca Giroux

Masuknya budaya korporasi dan militer ke dalam kehidupan universitas merongrong tanggung jawab universitas untuk memberikan pendidikan kepada mahasiswa yang memungkinkan mereka mengenali impian dan janji dari sebuah demokrasi yang substantif (hlm. 178).

Kita bisa memahami kedudukan Giroux sbg pengusung pedagogi kritis. Ia menyoal neoliberalisme yang mengutamakan kuasa segelintir orang untuk mengelola banyak hal. Padahal, kehidupan adalah ruang bersama, bukan kelas dominan saja, tetapi yang terpinggirkan. 

Membaca ide Giroux adalah keperluan di tengah semakin mahalnya pendidikan tinggi dan budaya korporatisme. Namun demikian, kewirausahaan tetap digalakkan mengingat bahwa tugas insan cendekia adalah menumbuhkan usaha yang berdasarkan kepekaan sosial dan lingkungan.

 

Tuesday, July 01, 2025

Big Bad Wolf

Setelah memeriksa apa yang saya unggah, baik kata maupun foto, saya melakukan sesuatu yang juga dilakukan oleh orang lain, kalau tidak A, ya B, atau C. Pendek kata, tidak ada yang perlu dilihat sebagai keistimewaan. Namun demikian, ada lapisan makna yang mungkin perlu digali agar semakin banyak pesan yang bisa diteroka.
Semisal, tatkala saya mengunggah hendak ke Big Bad Wolf Books pameran buku bekas di Jatim Int Expo, ternyata banyak orang lain yang juga pernah dan akan menunaikan hasrat serupa. Tetapi, bagi kami, ini mengingatkan perjalanan panjang dari Kedah ke Pulau Pinang. Di pasaraya Timessquare, kami menemukan banyak buku asing dengan harga miring. Kami ngedeprok di lantai sambil mengulik bacaan dan yang paling seronok adalah Zumi berfoto di depan Transformer. Anak tidak bisa dipaksa untuk membaca, sebab mendaras bisa dilakukan secara berbeda.
Setelah itu, kami mampir ke warung makan waralaba McDonald. Lagi-lagi Zumi senang alang-kepalang karena akan mendapatkan mainan. Kadang saya berseloroh pada maminya, bahwa bagi seorang anak tempat bisa dipahami secara berbeda. Untuk itu, cukup sekali saja ke sini. Hihi
Semalam pun heboh. Dua krucil itu bertanya, di sana mau ngapain saja? Alamak! Efek liburan panjang membuat mereka tak betah melakukan itu-itu saja. Padahal, ayahnya merasa nyaman berduduk di kursi sambil mendengarkan radio dan imajinasinya melayang menembus batas-batas tanpa beranjak dari tempat duduk.
Akhirnya, betul kata sang filsuf, kekuasaan itu menyebar, tak menumpuk pada satu titik. Dua anak itu memaksa kami untuk menurut kehendaknya, toh kami pun tidak merasa terpaksa, malah turut tumpang bergembira. Seronok, bukan?
Karya Evgeny Morozov adalah salah satu koleksi yang saya punya. Harganya 8.90 ringgit. Dari sini, saya mengikuti akun Twitternya. Tesisnya adalah bahwa internet tidak akan membebaskan dunia dari kesewenangan otoritarian, ini sebelum Elon Musk memborong saham Twitter. Kini, media telah dikuasai oleh pemodal. Sial.

 

Buku Teks

Barusan kami mengambil buku pelajaran Zumi. Ia dan kawan-kawan membelinya dari sekolah. Tadi, kami bertemu dengan banyak orang tua yang jug...