Saya masih mengingat dengan baik kapan dan di mana saya pertama mendengar syair “Kematian” Kiai Aminullah Murad. Syiir, sebutan Madura, ini sangat menggetarkan. Ia terdengar sayup-sayup secara tidak sengaja ketika saya bermain di sawah pada waktu kanak-kanak. Saya menyangka Sayyid Amin memutarnya karena arah suara berasal dari kediamannya. Beruntung, kenangan ini bisa diselamatkan dengan penggunggahan syair tersebut di kanal Youtube. Dari sini, saya mengetahui sosok sang penulis yang berasal dari Larangan, Pamekasan, tersebut.
Tidak hanya suara, latar video yang
memperlihatkan pemandian jenazah dan pengusungan keranda membuat suasana
semakin mencekam. Tentu, perasaan ini tidak terlepas dari pengalaman pribadi
yang membesar dalam pandangan dunia kematian yang diselimuti dengan misteri dan
ketakutan. Betapa kami berlarian tatkala melewati kuburan di malam hari,
meskipun pada waktu itu banyak remaja yang justru mencari jangkrik di areal
pemakanan, karena binatang yang berasal dari kawasan ini ‘jago berkelahi’.
Lagu Rhoma Irama berjudul “Kematian”
mengungkapkan tentang sang malaikat yang mencabut nyawa tanpa bisa dihalangi
oleh apa pun. Tentu, nyanyian lain, “Sebujur Bangkai”, menampilkan kisah tatkala
manusia menghembuskan napas terakhir yang tak kalah menyeramkan, bahwa setelah tubuh
mayat ditanam di tanah, orang-orang tersayang akan meninggalkan kuburan dan selanjutnya
badan itu akan dimakan cacing, menjadi bangkai tak berguna. Lalu, apa kata Bang
Haji setelah kematian? Setiap manusia bergantung pada iman dan amal.
No comments:
Post a Comment