Gonjang-ganjing di PBNU masih berlangsung sengit. Masing-masing
kubu bersikeras untuk teguh dengan pendirian masing-masing. Rais aam yang
dipandang mewakili kiai dan ketua yang dilihat sebagai santri yang harus tunduk
pada patron tidak lagi berlaku. Alasan pemberhentian orang nomor satu di
Tanfidziyah dianggap sumir, karena tiga alasan yang disodorkan tidak cukup
kokoh untuk mendongkel Yahya Staquf.
Ulil Abshar Abdalla menulis di akun sosialnya bahwa tanpa kerelaan
ketua umum, keputusan syuriah tidak sah. Muktamar adalah arena tertinggi yang
bisa menentukan kedudukan pengurus. Sementara dari kubu Miftahul Akhyar
bersikeras untuk menghentikan pemimpin eksekutif seraya menegaskan kedudukannya
tidak sah untuk berkantor di Kramat Raya.
Berbeda dengan santri yang kritis, pertikaian ini dianggap
sebagai perebutan akses ekonomi. Kubu ketua umum ingin mengalihkan pengurusan
tambang ke lingkaran presiden yang berkuasa hari ini, Prabowo, sementara kubu
Saiful yang ditengarai berada di balik konflik hendak mengekalkan hubungan dengan
mantan presiden, Jokowi. Alih-alih menangguk hasil, organisasi keagamaan
terbesar tanah air malah bertengkar sesama sendiri.
Organ
Pertikaian antarpetinggi di tubuh organisasi berlambang bumi
bukan hal baru. Muktamar Cipasung mempertontonkan hasrat penguasa yang hendak menjegal
Abdurrahaman Wahid menuju kursi nomor satu. Namun, dukungan para kiai dan
pengurus wilayah mampu menghalangi Abu Hasan, boneka yang hendak dipasang oleh
pemerintah. Tentu, konflik antara Kiai As’ad Syamsul Arifin dan Kiai Idham
Chalid adalah contoh lain, yang menyebabkan NU terbelah ke kubu Cipete dan
Situbondo.
Sebagai organisasi terbesar, peran kiai sepuh dianggap bisa
menjaga jam’iyyah dari rongrongan internal dan eksternal. Kedudukan rais
aam sebagai pemimpin tertinggi tentu memiliki wewenang untuk menimbang ketua
umum, yang bila dianggap melanggar bisa diambil tindakan. Dari ketiga alasan
yang dijadikan dasar tentu perlu diajukan kepada ketua umum untuk membela diri.
Apa yang dialami oleh Gus Yahya hampir serupa dengan apa yang dialami Gus Dur,
yakni dimatikan karakternya, lalu dipaksa untuk turun.
Hal terburuk dari pertikaian ini adalah normalisasi adu kuat
di tubuh organisasi pada masa yang akan datang. Tak hanya itu, kini santri pun
menjaga jarak dengan patron, kiai. Mereka menyebut dirinya sebagai tradisional
kultural seraya menyodorkan pikiran baru bahwa perubahan itu melalui pelbagai
jalan. Seorang santri putri yang berada di Amerika telah melontarkan kritik
tajam kepada kepimpinan pesantren. Santri putra lain yang berada di Australia
untuk menyelesaikan program doktornya dalam bidang filsafat menyoal persoalan
sistemik terkait kondisi pondok.
Taruhan
Sinar terang datang bersamaan dengan seruan pelbagai banom
NU, seperti RMI, Serikat Nelayan, dll. Mereka menyerukan agar kedua kubu yang
berseteru berdamai. Namun, sepertinya panggilan ini dianggap angin lalu. Malah,
kedua kubu tidak bisa bertemu secara bersamaan di Tebuireng, tempat pendiri NU
bermastautin. Keduanya bersikukuh dengan pendiriannya masing-masing.
Pepatah Melayu yang menang menjadi arang dan kalah menjadi
abu, bukan sekadar kata-kata klise. Ia menggambarkan apa yang terjadi dengan
pihak yang dikalahkan. Kita tidak lagi melihatnya sebagai hal biasa karena dulu
hal yang sama berlaku, tetapi jelas berbeda dengan apa yang terjadi pada kali
ini. Ketua umum tidak hanya dikaitkan dengan anak ideologis Gus Dur, tetapi
juga berasal dari keluarga kiai ternama.
Kebuntuan ini hanya semakin meneguhkan bahwa santri sedang
berhitung. Institusi baru harus lahir untuk memberikan ruang bagi kebebasan
yang didasarkan pada keterbukaan dan kesetaraan. Alumnus pondok pesantren kini
secara terbuka menyatakan diri sebagai pengikut Mu’tazilah yang secara teologis
berseberangan dengan landasan Asy’ariyyah yang menjadi dasar dari pandangan
dunia kaum Nahdliyyin.
Malah, Roy Murtadho, yang mengelola pondok lingkungan,
menyatakan secara terbuka bahwa penerimaan konsesi tambang merupakan kemerosotan
moral. Alih-alih bergabung dengan partai yang berafiliasi dengan santri, seperti
PKB, PPP, dan PKS, ia justru menjadi pelopor Partai Hijau, yang lebih jelas
keberpihakannya pada kelestarian alam. Jadi, kritik dari kalangan sendiri akan
menggerogoti kekuatan jemaah.
Dalam komunikasi efektif Jürgen Habermas, setiap pihak seeloknya berdiri setara, meskipun secara struktural dan kultural, rais aam berada di hierarki tertinggi. Namun, syuriah juga dianggotai banyak kiai senior lain yang tidak sepenuhnya sebulat suara untuk mencopot ketum. Dari sini, kematangan diuji, dan santri sedang merapatkan barisan untuk menghadirkan gerakan alternatif.
Sumber: Keumatan

No comments:
Post a Comment