Friday, December 19, 2025

Keumatan

Gonjang-ganjing di PBNU masih berlangsung sengit. Masing-masing kubu bersikeras untuk teguh dengan pendirian masing-masing. Rais aam yang dipandang mewakili kiai dan ketua yang dilihat sebagai santri yang harus tunduk pada patron tidak lagi berlaku. Alasan pemberhentian orang nomor satu di Tanfidziyah dianggap sumir, karena tiga alasan yang disodorkan tidak cukup kokoh untuk mendongkel Yahya Staquf.

Ulil Abshar Abdalla menulis di akun sosialnya bahwa tanpa kerelaan ketua umum, keputusan syuriah tidak sah. Muktamar adalah arena tertinggi yang bisa menentukan kedudukan pengurus. Sementara dari kubu Miftahul Akhyar bersikeras untuk menghentikan pemimpin eksekutif seraya menegaskan kedudukannya tidak sah untuk berkantor di Kramat Raya.

Berbeda dengan santri yang kritis, pertikaian ini dianggap sebagai perebutan akses ekonomi. Kubu ketua umum ingin mengalihkan pengurusan tambang ke lingkaran presiden yang berkuasa hari ini, Prabowo, sementara kubu Saiful yang ditengarai berada di balik konflik hendak mengekalkan hubungan dengan mantan presiden, Jokowi. Alih-alih menangguk hasil, organisasi keagamaan terbesar tanah air malah bertengkar sesama sendiri.

Organ

Pertikaian antarpetinggi di tubuh organisasi berlambang bumi bukan hal baru. Muktamar Cipasung mempertontonkan hasrat penguasa yang hendak menjegal Abdurrahaman Wahid menuju kursi nomor satu. Namun, dukungan para kiai dan pengurus wilayah mampu menghalangi Abu Hasan, boneka yang hendak dipasang oleh pemerintah. Tentu, konflik antara Kiai As’ad Syamsul Arifin dan Kiai Idham Chalid adalah contoh lain, yang menyebabkan NU terbelah ke kubu Cipete dan Situbondo.

Sebagai organisasi terbesar, peran kiai sepuh dianggap bisa menjaga jam’iyyah dari rongrongan internal dan eksternal. Kedudukan rais aam sebagai pemimpin tertinggi tentu memiliki wewenang untuk menimbang ketua umum, yang bila dianggap melanggar bisa diambil tindakan. Dari ketiga alasan yang dijadikan dasar tentu perlu diajukan kepada ketua umum untuk membela diri. Apa yang dialami oleh Gus Yahya hampir serupa dengan apa yang dialami Gus Dur, yakni dimatikan karakternya, lalu dipaksa untuk turun.

Hal terburuk dari pertikaian ini adalah normalisasi adu kuat di tubuh organisasi pada masa yang akan datang. Tak hanya itu, kini santri pun menjaga jarak dengan patron, kiai. Mereka menyebut dirinya sebagai tradisional kultural seraya menyodorkan pikiran baru bahwa perubahan itu melalui pelbagai jalan. Seorang santri putri yang berada di Amerika telah melontarkan kritik tajam kepada kepimpinan pesantren. Santri putra lain yang berada di Australia untuk menyelesaikan program doktornya dalam bidang filsafat menyoal persoalan sistemik terkait kondisi pondok.

Taruhan

Sinar terang datang bersamaan dengan seruan pelbagai banom NU, seperti RMI, Serikat Nelayan, dll. Mereka menyerukan agar kedua kubu yang berseteru berdamai. Namun, sepertinya panggilan ini dianggap angin lalu. Malah, kedua kubu tidak bisa bertemu secara bersamaan di Tebuireng, tempat pendiri NU bermastautin. Keduanya bersikukuh dengan pendiriannya masing-masing.

Pepatah Melayu yang menang menjadi arang dan kalah menjadi abu, bukan sekadar kata-kata klise. Ia menggambarkan apa yang terjadi dengan pihak yang dikalahkan. Kita tidak lagi melihatnya sebagai hal biasa karena dulu hal yang sama berlaku, tetapi jelas berbeda dengan apa yang terjadi pada kali ini. Ketua umum tidak hanya dikaitkan dengan anak ideologis Gus Dur, tetapi juga berasal dari keluarga kiai ternama.

Kebuntuan ini hanya semakin meneguhkan bahwa santri sedang berhitung. Institusi baru harus lahir untuk memberikan ruang bagi kebebasan yang didasarkan pada keterbukaan dan kesetaraan. Alumnus pondok pesantren kini secara terbuka menyatakan diri sebagai pengikut Mu’tazilah yang secara teologis berseberangan dengan landasan Asy’ariyyah yang menjadi dasar dari pandangan dunia kaum Nahdliyyin.

Malah, Roy Murtadho, yang mengelola pondok lingkungan, menyatakan secara terbuka bahwa penerimaan konsesi tambang merupakan kemerosotan moral. Alih-alih bergabung dengan partai yang berafiliasi dengan santri, seperti PKB, PPP, dan PKS, ia justru menjadi pelopor Partai Hijau, yang lebih jelas keberpihakannya pada kelestarian alam. Jadi, kritik dari kalangan sendiri akan menggerogoti kekuatan jemaah.

Dalam komunikasi efektif Jürgen Habermas, setiap pihak seeloknya berdiri setara, meskipun secara struktural dan kultural, rais aam berada di hierarki tertinggi. Namun, syuriah juga dianggotai banyak kiai senior lain yang tidak sepenuhnya sebulat suara untuk mencopot ketum. Dari sini, kematangan diuji, dan santri sedang merapatkan barisan untuk menghadirkan gerakan alternatif.

Sumber: Keumatan 

No comments:

Keumatan

Gonjang-ganjing di PBNU masih berlangsung sengit. Masing-masing kubu bersikeras untuk teguh dengan pendirian masing-masing. Rais aam yang di...