Saya tumbuh dari lingkungan sederhana dalam menjalani hidup. Pikiran sebatas apa yang wajib, sunnah, dan mubah dan mulai berkembang kala di MTs, saya mendengar ustaz Khozaini Azim, Ustaz Hafid Syukri, Ustaz Mistarum, Ustaz Waris Anwar mengajar kami tentang sesuatu di luar keseharian, semisal politik, ekonomi, biologi, dan bahasa.
Di Madrasalah Aliyah, saya menyerap sosiologi dari Pak Panji Taufiq dan kritisisme melalui pengajaran bahasa Indonesia dari Pak Muqiet Arif. Ada banyak guru-guru lain yang juga membentuk pikiran dan perasaan kami. Para kiai tidak hanya mengajar hadis dan ilmu agama lain, tetapi juga teladan tentang istikamah, sahaja, dan rendah hati.
Kejutan datang kala harus mendengar teman saya di Akidah Filsafah IAIN bertanya pada Pak Afandi, guru Ilmu Kalam kami, tentang malaikat Jibril. Apa tugasnya sudah selesai dan kini ia menikmati pensiun? Guncangan datang bertalu-talu semakin kuat dengan intensitas yang tanpa batas untuk menyoal tabu dan had.
Kini, saya menua. Membaca tidak lagi untuk menggugat kepercayaan, tetapi menemukan makna dari keyakinan. Sejauh ini, saya mengikuti apa kata Pak Basyir Soulissa, bahwa belajar filsafat bukan menyangkal salat, tetapi signifikansi sembahyang dalam keseharian. Kadang saya iseng menegaskan bahwa takrif doa Kierkegaard turut mewarnai arti ibadah agar ia tidak dipahami sebagai alat tukar.
Tentu, Prof Zailan Moris mengajar kami untuk melihat pengetahuan dengan hati terbuka dan pikiran luas. Sebagai pembimbing tugas akhir, almarhumah menunjukkan kesaksamaan dalam mendaras karya. Ketika mengikuti bimbingan saya tak hanya mendengar apa yang diucapkan, tetapi apa yang ditunjukkan dari gambar di bilik tempat murid Seyyed Hossein Nasr berkhidmat. Ada foto negeri Parsi yang terpampang di dinding.
Ahmad, tahukah kamu tempat ibadah Zen itu adalah ruang kosong, tidak ada ornamen dll? Aha, bukankah ayah Izutsu bilang, hapuskan kata itu, karena ia tak mewakili apa-apa. Dalam satori, kita akan mendapatkan pencerahan masing-masing. Dalam keseharian kita akan menghadapi kata, benda, dan lambang berebut untuk menarik perhatian kita. Lalu, kita bisa memejamkan mata, seraya bergumam, kosong.

No comments:
Post a Comment