Wednesday, August 10, 2005

bukit bendera

rekaman peristiwa 6 Agustus 2005

Bersatulah para Buruh!

Saya adalah bagian dari mereka yang sedang diingatkan tentang jati-diri sebagai bangsa, Indonesia. Menyambut hari kemerdekaan, kami, para buruh mahasiswa, staf konsulat mendaki bukit Bendera, tempat tertinggi di pulau Pinang, Malaysia. Lebel yang melekat luruh dalam suasana kebersamaan.
Perjalanan selama hampir dua setengah jam cukup melelahkan, namun rasanya tertebus oleh kebaruan, perjalanan, canda dan semangat untuk sampai di puncak. Di sepanjang jalan, monyet berkeliaran bebas. Sekali-kali, kami becanda dengan mereka dan mencoba melibatkan binatang itu, asal muasal manusia kata Charles Darwin, dalam senda-gurau. Kami menyapa monyet dengan menyebut salah satu dari kami, dan kami pun tergelak. Tidak marah. Lucu, kan? Padahal kita tidak suka dalam percakapan serius jika disebut sebagai binatang. Apa yang membedakan keseriusan dan permainan dalam hidup?

Untuk menghampiri puncak, kami tentu saja sering berhenti sejenak, agar tidak kehilangan keseimbangan. Cairan dalam tubuh perlu diisi ulang karena raib bersama keringat. Melihat jauh ke bawah bukit, meskipun dihalangi pohon, tapi telah mengajak memasuki dunia antah berantah, misteri!.
Tak tahu, siapa yang memulai, kami telah mampu membuka percakapan dengan anak Jombang dengan dua kawannya. Seorang yang mamakai jilbab berada di tengah, diapit dan disangga karena kelelahan, tapi terus berjalan mendaki menaklukkan bukit. Di perjalanan ini pula saya juga bertemua dengan anak Madura Ipung dan Adi, yang dengan bahasa daerah mendekatkan jarak emosional.

di Puncak, kami disambut oleh staf konsulat dengan minum dan kupon makanan. Beginilah hidup. Semua harus diawali dengan pemenuhan jasmani. Setelah itu, baru dicekoki dengan khotbah, ideologi dan nilai. Dengan pengeras suara [loud speaker], kami diminta untuk segera menuju ke tempat perayaan. Di sana, para buruh telah membaur, menikmati lagu dangdut dengan bergoyang, sebagian mereka duduk dan di atas balkon cukup melihat teman-temannya melepaskan rutinitas kerja dengan menghentakkan kaki mengikuti irama musik.

Dalam perjalanan pulang, saya secara kebetulan berkenalan dengan Ambar, Jian, Ratina, buruh migran dari Jogja dan Klaten. Sepertinya, kami telah lama kenal. Saya takjub pada mereka, karena di usia muda telah jauh merantau untuk bekerja. Sementara teman-teman sebayanya berada di USM, belajar dan bermain. Di bus juga bertemua dengan E dari Padang, yang telah enam tahun di Pinang, bekerja. Saya tidak tahu kenapa ia bilang bahwa ini terpaksa dilakukan. Sebagai anak sulung dari satu adik perempuan yang telah ditinggalkan ibunya sejak sekolah menengah, ia menanggung hidup lebih berat. Tapi, saya menemukan ketabahan di zahirnya.
Sebenarnya, saya masih banyak menyisakan cerita dari perjalanan menyambut kemerdekaan!

No comments:

Majemuk

Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...