Identitas yang Terbelah - Minggu, 25 Desember 2005
Judul : Islam in Southeast Asia: Political, Social and Strategic Challenges for the 21st Century
Pengarang : K. S. Nathan dan Mohammad Hashim Kamali (ed.)
Penerbit : ISEAS, Singapura
Cetakan : I, 2005
Tebal : xxiii + 458 halaman
Buku ini adalah hasil suntingan dari sebuah konperensi bertajuk “Islam in Southeast Asia: Political, Social and Strategic Challenges for the 21st Century” yang diselenggarakan oleh Institut Kajian Asia Tenggara Singapura (ISEAS, Institute for Southeast Asian Studies). Namun demikian, seperti ditulis editor dalam prakata, ia telah mengalami perubahan dan pembaruan dengan memasukkan perkembangan terbaru yang menjelaskan peran, relevansi dan tantangan demikian juga dimensi politik dan strategi Islam di Asia Tenggara masa kini.
Kehadiran kumpulan karangan ini akan membantu memberikan pemahaman lebih luas mengenai dinamika respons gerakan Islam yang tersebar di negara Asia Tenggara. Meskipun, di satu sisi, mereka mempunyai ideologi dan garis perjuangan yang berbeda, namun di sisi lain, mereka menunjukkan pandangan dan reaksi yang sama dalam isu lain. Di Indonesia misalnya, Muhammadiyah, NU dan Majelis Mujahidin mengungkapkan pandangan yang serupa terhadap serangan Amerika ke Afganistan dan Iraq sebagai barbar dan menyalahi norma-norma kemanusiaan.
Menurut penyunting, perkembangan sosial, ekonomi dan politik kawasan ini tidak bisa dilepaskan dari proses globalisasi yang menyebabkan kondisi kemanusiaan tidak aman dan berbahaya. Walaupun globalisasi pada awalnya dijanjikan sebagai kendaraan bagi pembelaan terhadap martabat manusia dan demokrasi, tampaknya hanya makin memusatkan kekayaan dan kekuasaan yang lebih besar bagi Barat.
Tak dapat disangkal, bahwa peristiwa 11 September telah menyebabkan, apa yang disebut Subroto Roy, "runtuhnya sebuah percakapan global", karena dengan kekuasaannya yang besar negeri Paman Sam telah memaksakan kehendaknya menyerang sebuah negara tanpa persetujuan internasional. Peristiwa ini menandai putusnya percakapan kosmopolitan dengan Islam. Usaha George W Bush untuk meyakinkan umat Islam bahwa perang ini bukan perang agama tapi tidak menghapuskan sentimen anti Amerika dengan segala bentuknya. Hal ini, tegas editor, akibat dari sudut pandang negara Islam dan Amerika yang berbeda melihat kebenaran.
Islam Asia Tenggara yang mempunyai peran strategis, berbeda dengan counterpartnya di Timur Tengah, mewakili wajah lain. Perbedaan ini dapat ditelusuri dalam beberapa makalah yang dibagi ke dalam tiga bagian, pertama, doktrin, Sejarah, Perkembangan dan Lembaga-Lembaga Islam di Asia Tenggara, kedua, Isu Politik, pemerintahan, masyarakat sipil dan jender di dalam Islam, ketiga, modernisasi, Globalisasi dan perdebatan Negara Islam di Asia Tenggara dan terakhir adalah Pengaruh 11 September terhadap pemikiran dan praktik Islam.
Tema-tema di atas dibahas oleh para ahli dari negara Asia Tenggara termasuk juga melibatkan penulis asing yang menarut minat pada isu keislaman, seperti Johan H. Mueleman dan Bernard Adeney-Risakotta, sedangkan penyumbang dari Indonesia adalah Azyumardi Azra, Bachtiar Effendy, Lily Zakiah Munir dan Noorhaidi Hasan. Beberapa penulis lain dari Asia Tenggara memang dikenal sebagai ilmuwan yang mempunyai kepedulian yang besar terhadap isu-isu keislaman Asia Tenggara.
Ulasan Azra dan Meuleman tentang sejarah datangnya dan berkembangnya Islam di Asia Tenggara, baik dalam pengertian teknis dan ideologi, menunjukkan keragaman pendapat, yang satu sama lain mengajukan bukti yang berbeda, sehingga makin mengukuhkan bahwa pelbagai mazhab di Indonesia adalah sebuah keniscayaan mengingat sumber pengaruh yang berbeda. Teknik, jelas Meuleman, maksudnya adalah sal daerah, kelompok atau etnik dan periode penyebaran Islam ke Asia Tenggara, sedangkan ideologi berkaitan dengan keyakinan yang meluas bahwa bentuk islam yang paling murni adalah yang lahir pada masa awal kelahiran agama ini. Namun demikian, dengan pelbagai perbedaan temuan, pembawa Islam ke Asia tenggara berasal dari bukan Mekah dan Madinah sebagai tempat lahirnya Islam, tetapi dari Yaman, Mesir, dan Gujarat India.
Sebagaimana kondisi Islam, dua negara tetangga Malaysia dan Filipina, juga dihadapkan dengan polarisasi aliran, tradisional-modernis, konservatif -liberal. Islamisasi di negara tersebut terakhir, tulis Carmen, para missionaris dan pedagang Islam kawin dengan penduduk lokal, para tokoh politik Muslim tiba kemudian dan memperkenalkan lembaga politik dan agama, keluarga berkuasa Muslim Sulu, Maguindanao, Lanau, Borneo dan Maluku membentuk aliansi yang memperkukuh dan memperdalam kesadaran Islam. Jika, demikian, maka sebenarnya proses proselytisasi itu berlangsung secara damai.
Lalu, bagaimana potret masyarakat Muslim di Asia Tenggara sekarang ini? Jawabnya tentu beragam. Setelah peristiwa 11 September, respons terhadap peristiwa ini beragam karena memang peta masyarakat muslim di kawasan ini tidak tunggal. Adeney-Risakotta, pernah mengajar saya di IAIN menyampaikan secara lisan di kelas bahwa dia anti perang Amerika terhadap Irak, menulis dengan versinya sebagai orang Amerika bahwa usaha apa pun Amerika untuk meyakinkan bahwa Islam tidak menjadi target gagal untuk kebanyakan muslim di Asia tenggara. Tambahnya lagi, meskipun terdapat simpati terhadap korban pengeboman WTC, dan kebanyakan Muslim mengutuk tragedi yang menewaskan ribuan orang, tapi serangan kek Afganistan dan Irak lebih jauh mendapat respons emosional (hlm.326).
Carmen memaparkan lebih jauh bahwa 11 September, bagi minoritas muslim sebagai bencana, karena mereka mulai merasa terjepit dan terkadang menempatkan mereka jadi sasaran permusuhan. Mungkin di Filipina, komunitas Muslim dihadapkan dengan tekanan karena di Selatan mereka menjadi kelompok pemisah yang melakukan pemberontakan bersenjata. Sekarang, pemerintah telah menemukan momentum untuk menanggapi sempalan ini dengan stigma perang melawan terorisme.
Berbeda dengan negara-negara tetangganya, Malaysia relatif berhasil menempatkan agama Islam secara harmonis dalam kehidupan masyarakatnya yang relatif majemuk, baik dari segi agama, etik dan budaya. Shamsul, pemikir utama dari Negeri Jiran, dengan baik menyebut Islam politik moderat sebagai alasan keberhasilan mereka menjaga stabilitas, meskipun tidak bisa dilepaskan dari pengaruh birokrasi yagn diwariskan oleh kolonialisme Inggris (hlm. 114). Dengan mengutip Syed Naquib al-Attas, Inggeris telah berhasil melakukan proses sekulerisasi, yang memisahkan praktik agama dan kenegaraan.
Bagi Muslim, Islam dianggap sebagai agama paripurna di mana politik, ekonomi dan agama serta masyarakat berjalin kelindan menjadi satu kesatuan (hlm.xv). Berbeda dengan non-Muslim yang terbiasa dengan proses politik ekonomi dan sosial sekuler, maka pemisahan politik dan agama masih asing, meskipun penerapan agama dalam politik di dalam sejarah Islam beragam. Lalu, pertanyaan yang acapkali apakah, Islam itu sejalan dengan demokrasi yang berpijak pada agenda masyarakat sipil? Jawaban terhadap persoalan ini juga beragam. Tidak ada kata tunggal untuk memberikan kata akhir.
Di dalam inventarisasi pelbagai pendapat tentang kesesuaian Islam dengan demokrasi atau tidak, sebenarnya, persoalan mendasar adalah perdebatan otentisitas tanpa mengabaikan kerusakan yang lebih besar, sebab ulasan beberapa penulis telah menunjukkan bahwa militansi telah menjadi hallmark lanskap politik di Indonesia, termasuk negara-negara Asia tenggara yang lain. Tentu saja, peran Indonesia menentukan karena sebagaimana penerbit buku ini (ISEAS) juga telah merumuskan dalam seminar baru-baru ini di Singapura bahwa Indonenesia akan menjadi negara terpenting dalam ikut menentukan peradaban dunia karena berada di simpang arus ideologi global, sumber daya alam dan kombinasi unik peradaban Muslim, tanpa mengenyampingkan peran negara lain. Semoga.
Ahmad Sahidah Mahasiwa Doktor Peradaban Islam Universitas Sains Malaysia
[Sumber KOMPAS, 16 September 2006]
Monday, December 26, 2005
Saturday, December 24, 2005
Merayakan Ritual Baru
Minggu, 25 Des 2005,
Merayakan Ritual Baru
Judul Buku : Enchanting A Disenchanted World: Revolutionizing the Means of Consumption
Penulis : George Ritzer
Penerbit : Pine Forge Press, Amerika
Cetakan : Edisi kedua, 2005
Tebal : xii+261 halaman
Dalam pengantarnya, Goerge Ritzer memaparkan bahwa seorang konsumen sekarang bisa melakukan banyak hal, seperti berbelanja di sebuah mall penuh warna dengan ratusan toko dari merek terkenal dan jutaan barang dan jasa yang tinggal pilih, atau menghabiskan waktu di sebuah mega-mall yang tidak hanya meliputi toko tetapi juga taman hiburan, atau makan di sebuah restoran “tema”, di mana tempat, staf, dan makanan yang disediakan mengingatkan pada hutan tropis atau dunia musik rock. Pendek kata, manusia hanya perlu ‘kemauan’ untuk memanjakan nafsu hedonis.
Tampaknya, sebuah perubahan revolusioner telah terjadi pada banyak tempat di mana kita bisa mengkonsumsi barang dan jasa. Hal ini, tegas Ritzer, tidak hanya mempengaruhi hakikat konsumsi tetapi juga kehidupan sosial. Dua hal terakhir inilah yang akan dijawab oleh sang penulis. Semua tempat yang tersebut di atas adalah lokasi yang memungkinkan kita untuk mengonsumsi sejumlah barang dan jasa yang disebut sarana konsumsi. Namun, tempat ini terkadang disusun untuk memaksa kita berprilaku konsumtif.
Dengan nada provokatif, sang penulis mengungkapkan bahwa sarana konsumsi ini sebagai katedral yang menunjukkan quasi-religious, yang menarik kita untuk mempraktikkan agama konsumeristik. Lebih dari itu, ia telah mengalahkan tempat publik lain seperti universitas, tempat bermain bola, rumah sakit, musium, gereja dan sebagainya. Sepintas, fenomena ini juga terjadi di sini, di mana mal dan tempat berbelanja yang lain dipenuhi masyarakat, meskipun hanya sekedar cuci-mata (window shopping). Tidak hanya itu, rangsangan untuk berbelanja telah merasuki ruang tamu kita dengan adanya iklan yang merayu pemiarsa untuk berbelanja melalui televisi.
Persoalannya, mengapa begitu banyak masyarakat ingin lebih banyak lagi mengkonsumsi barang? Salah satu alasannya adalah banyaknya orang yang mempunyai sumber keuangan dan mereka bernafsu untuk menghabiskan untuk konsumsi pribadi. Belum lagi, iklan yang progresif dari produsen untuk meyakinkan konsumen akan pentingnya barang dalam kehidupan mereka, meskipun sebenarnya bukan kebutuhan pokok yang mesti segera dipenuhi. Keinginan ini juga diperparah dengan adanya kartu kredit yang memungkinkan pemiliknya tergoda untuk memuaskan keinginan memiliki produk yang dijajakan di rumah, pinggir jalan bahkan kampus tidak luput dari tangan-tangan tenaga penjualan.
Tanpa disadari, meminjam William Leach, pemenuhan kebutuhan artifisial ini dianggap sarana untuk mencapai kebahagiaan, kultus baru, demokratisasi keinginan dan nilai uang sebagai ukuran yang paling menonjol dari semua nilai dalam masyarakat. Hampir semua tempat yang tidak berkaitan dengan lokasi penjualan telah dipenuhi barang-barang konsumsi seperti kampus, gedung bioskop, dan sekolah.
Kalau sebelumnya perusahaan berusaha untuk memberikan apa yang diinginkan konsumen, sekarang bergeser mejadi penekanan untuk memaksa konsumen untuk menginginkan dan “membutuhkan“ barang yang dijual dan dihasilkan mereka. Perusahan hanya tertarik pada “standardisasi, produksi massal dan distribusi massal“ dan konsumen dipandang tak lebih daripada unit dari massa atau sebagai konsumen massa. Akibatnya, jelas Ritzer, masyarakat Amerika semakin terjebak pada apa yang disebut dengan hyperconsumption dan memang kebanyakan dari mereka terobsesi dengan keinginan untuk membeli barang.
Nafsu ini telah mengalahkan perang ideologi abad keduapuluh, menundukkan agama dan politik sebagai jalan yang diikuti oleh jutaan orang Amerika untuk mendapatkan tujuan, makna dan tatanan serta pengagungan yang transenden. Tentu saja, prilaku semacam ini belum merasuk pada masyarakat kita, tapi tanda-tanda ke sana mulai nampak dengan semakin banyaknya dibangun tempat perbelanjaan, misalnya, Yogyakarta sebagai kota kecil telah berbenah diri menjadi pusat belanja. Apalagi daya beli masyarakat yang masih rendah,namun seiring dengan masa transisi ke kehidupan ekonomi yang lebih baik, maka masyarakat akan dihadapkan dengan gejala yang sama seperti di Amerika. Bukankah, pada masa krisis ini, mall masih menjadi tempat yang ramai dikunjungi banyak orang, apa pun motivasinya?
Kemudahan untuk konsumsi ini ditunjukkan dengan sarana yang diciptakan secara kreatif untuk memudahkan pengunjung, seperti One-Stop Shopping, tempat berbelanja yang dibuat semenarik mungkin, swalayan, sehingga model betul-betul ini merubah relasi sosial karena penjual dan pembeli tidak lagi bertatap muka. Singkatnya, sarana konsumsi ditandai dengan interaksi manusia dengan benda bukan dengan orang.
Buku ini juga membantu kita untuk menyelami lebih jauh isu-isu berkenaan dengan konsumen dari segi ras, gender dan kelas di Amerika. Tentu saja, peta di negeri paman Sam akan berbeda dengan di Indonesia, namun secara keseluruhan berguna untuk melihat fenomena dunia konsumeristik di negeri yang belum pulih dari krisis ini, sehingga ia bisa dijadikan sarana pembelajaran bagaimana menjadi pembeli yang baik.
Memang, buku ini tidak berusaha untuk mengkritik nafsu membeli masyarakat, tapi lebih secara deskriptif menggambarkan bagaimana pola konsumsi itu lahir dan diciptakan oleh industri massa untuk mengeruk keuntungan, bahkan mengeksploitasi mereka dengan pelbagai cara mengemas jualannya. Pelbagai teori sosial digunakan untuk memahami fenomena ini.
Selain itu, berdasarkan paparan Ritzer, pembaca bisa mengamati bahwa kebanyakan pusat-pusat konsumsi di negara kita itu adalah derivasi dari model-model Barat, yang belum sepenuhnya bisa dinikmati karena daya beli masyarakat kita yang rendah dan terkadang tidak sejalan dengan kebiasaan mereka sehari-hari. Meskipun, kita bisa melihat bahwa kreativitas untuk meniru KFC (Kentucky Fried Chicken) dengan menjadi ’’Kentuku“ Fried Chicken sebagai cara agar ritual makan kita tidak sepenuhnya adopsi dari sebuah kebudayaan yang sebenarnya asing patut diapresiasi. Semoga. []
------
*) Ahmad Sahidah
Kandidat Doktor Ilmu Humaniora Universitas Sains Malaysia
Merayakan Ritual Baru
Judul Buku : Enchanting A Disenchanted World: Revolutionizing the Means of Consumption
Penulis : George Ritzer
Penerbit : Pine Forge Press, Amerika
Cetakan : Edisi kedua, 2005
Tebal : xii+261 halaman
Dalam pengantarnya, Goerge Ritzer memaparkan bahwa seorang konsumen sekarang bisa melakukan banyak hal, seperti berbelanja di sebuah mall penuh warna dengan ratusan toko dari merek terkenal dan jutaan barang dan jasa yang tinggal pilih, atau menghabiskan waktu di sebuah mega-mall yang tidak hanya meliputi toko tetapi juga taman hiburan, atau makan di sebuah restoran “tema”, di mana tempat, staf, dan makanan yang disediakan mengingatkan pada hutan tropis atau dunia musik rock. Pendek kata, manusia hanya perlu ‘kemauan’ untuk memanjakan nafsu hedonis.
Tampaknya, sebuah perubahan revolusioner telah terjadi pada banyak tempat di mana kita bisa mengkonsumsi barang dan jasa. Hal ini, tegas Ritzer, tidak hanya mempengaruhi hakikat konsumsi tetapi juga kehidupan sosial. Dua hal terakhir inilah yang akan dijawab oleh sang penulis. Semua tempat yang tersebut di atas adalah lokasi yang memungkinkan kita untuk mengonsumsi sejumlah barang dan jasa yang disebut sarana konsumsi. Namun, tempat ini terkadang disusun untuk memaksa kita berprilaku konsumtif.
Dengan nada provokatif, sang penulis mengungkapkan bahwa sarana konsumsi ini sebagai katedral yang menunjukkan quasi-religious, yang menarik kita untuk mempraktikkan agama konsumeristik. Lebih dari itu, ia telah mengalahkan tempat publik lain seperti universitas, tempat bermain bola, rumah sakit, musium, gereja dan sebagainya. Sepintas, fenomena ini juga terjadi di sini, di mana mal dan tempat berbelanja yang lain dipenuhi masyarakat, meskipun hanya sekedar cuci-mata (window shopping). Tidak hanya itu, rangsangan untuk berbelanja telah merasuki ruang tamu kita dengan adanya iklan yang merayu pemiarsa untuk berbelanja melalui televisi.
Persoalannya, mengapa begitu banyak masyarakat ingin lebih banyak lagi mengkonsumsi barang? Salah satu alasannya adalah banyaknya orang yang mempunyai sumber keuangan dan mereka bernafsu untuk menghabiskan untuk konsumsi pribadi. Belum lagi, iklan yang progresif dari produsen untuk meyakinkan konsumen akan pentingnya barang dalam kehidupan mereka, meskipun sebenarnya bukan kebutuhan pokok yang mesti segera dipenuhi. Keinginan ini juga diperparah dengan adanya kartu kredit yang memungkinkan pemiliknya tergoda untuk memuaskan keinginan memiliki produk yang dijajakan di rumah, pinggir jalan bahkan kampus tidak luput dari tangan-tangan tenaga penjualan.
Tanpa disadari, meminjam William Leach, pemenuhan kebutuhan artifisial ini dianggap sarana untuk mencapai kebahagiaan, kultus baru, demokratisasi keinginan dan nilai uang sebagai ukuran yang paling menonjol dari semua nilai dalam masyarakat. Hampir semua tempat yang tidak berkaitan dengan lokasi penjualan telah dipenuhi barang-barang konsumsi seperti kampus, gedung bioskop, dan sekolah.
Kalau sebelumnya perusahaan berusaha untuk memberikan apa yang diinginkan konsumen, sekarang bergeser mejadi penekanan untuk memaksa konsumen untuk menginginkan dan “membutuhkan“ barang yang dijual dan dihasilkan mereka. Perusahan hanya tertarik pada “standardisasi, produksi massal dan distribusi massal“ dan konsumen dipandang tak lebih daripada unit dari massa atau sebagai konsumen massa. Akibatnya, jelas Ritzer, masyarakat Amerika semakin terjebak pada apa yang disebut dengan hyperconsumption dan memang kebanyakan dari mereka terobsesi dengan keinginan untuk membeli barang.
Nafsu ini telah mengalahkan perang ideologi abad keduapuluh, menundukkan agama dan politik sebagai jalan yang diikuti oleh jutaan orang Amerika untuk mendapatkan tujuan, makna dan tatanan serta pengagungan yang transenden. Tentu saja, prilaku semacam ini belum merasuk pada masyarakat kita, tapi tanda-tanda ke sana mulai nampak dengan semakin banyaknya dibangun tempat perbelanjaan, misalnya, Yogyakarta sebagai kota kecil telah berbenah diri menjadi pusat belanja. Apalagi daya beli masyarakat yang masih rendah,namun seiring dengan masa transisi ke kehidupan ekonomi yang lebih baik, maka masyarakat akan dihadapkan dengan gejala yang sama seperti di Amerika. Bukankah, pada masa krisis ini, mall masih menjadi tempat yang ramai dikunjungi banyak orang, apa pun motivasinya?
Kemudahan untuk konsumsi ini ditunjukkan dengan sarana yang diciptakan secara kreatif untuk memudahkan pengunjung, seperti One-Stop Shopping, tempat berbelanja yang dibuat semenarik mungkin, swalayan, sehingga model betul-betul ini merubah relasi sosial karena penjual dan pembeli tidak lagi bertatap muka. Singkatnya, sarana konsumsi ditandai dengan interaksi manusia dengan benda bukan dengan orang.
Buku ini juga membantu kita untuk menyelami lebih jauh isu-isu berkenaan dengan konsumen dari segi ras, gender dan kelas di Amerika. Tentu saja, peta di negeri paman Sam akan berbeda dengan di Indonesia, namun secara keseluruhan berguna untuk melihat fenomena dunia konsumeristik di negeri yang belum pulih dari krisis ini, sehingga ia bisa dijadikan sarana pembelajaran bagaimana menjadi pembeli yang baik.
Memang, buku ini tidak berusaha untuk mengkritik nafsu membeli masyarakat, tapi lebih secara deskriptif menggambarkan bagaimana pola konsumsi itu lahir dan diciptakan oleh industri massa untuk mengeruk keuntungan, bahkan mengeksploitasi mereka dengan pelbagai cara mengemas jualannya. Pelbagai teori sosial digunakan untuk memahami fenomena ini.
Selain itu, berdasarkan paparan Ritzer, pembaca bisa mengamati bahwa kebanyakan pusat-pusat konsumsi di negara kita itu adalah derivasi dari model-model Barat, yang belum sepenuhnya bisa dinikmati karena daya beli masyarakat kita yang rendah dan terkadang tidak sejalan dengan kebiasaan mereka sehari-hari. Meskipun, kita bisa melihat bahwa kreativitas untuk meniru KFC (Kentucky Fried Chicken) dengan menjadi ’’Kentuku“ Fried Chicken sebagai cara agar ritual makan kita tidak sepenuhnya adopsi dari sebuah kebudayaan yang sebenarnya asing patut diapresiasi. Semoga. []
------
*) Ahmad Sahidah
Kandidat Doktor Ilmu Humaniora Universitas Sains Malaysia
Thursday, December 22, 2005
Musik, Agama dan Politik
22 Desember 2005
Musik, Agama dan Politik
Ahmad Sahidah
Pelarangan musik Barat di Iran oleh Presiden Ahmadinejad yang berpandangan ultrakonservatif telah menambah daftar panjang kontroversi kebijakannya, setelah sebelumnya menyatakan penghapusan Israel dari peta dunia dan sejarah Holacoust, pembunuhan jutaan orang Yahudi oleh orang Eropa pada Perang Dunia Kedua, terlalu dibesarkan-besarkan, sementara orang Eropa sekarang tidak mempedulikan penindasan Israel terhadap Palestina.
Meskipun pernyataan orang nomor satu di Republik Islam Iran diserang banyak politisi dan pejabat pemerintahan di Eropa, Amerika dan Australia, dia bergeming karena pendapatnya dianggap sebagai kebebasan berekspresi yang sejatinya seharusnya dijunjung oleh orang Barat yang gandrung akan toleransi terhadap perbedaan. Namun, intruksi sang presiden agar musik Barat tidak dikumandangkan di sejumlah radio dan televisi telah mengundang protes di dalam negeri, terutama oleh para musisi yang mengganggap presiden tidak mempunyai pengalaman dan pengetahuan, telah memukul balik raisons d’ĂȘtre kebebasan yang dijadikan pijakan mantan walikota Teheran ini ketika melontarkan pendapat mengenai Israel dan Holacoust.
Meskipun pelarangan ini didasarkan pada keyakinan bahwa musik Barat itu dekaden, dan mendorong pada apresiasi terhadap musik klasik Iran yang indah. Ironisnya, kebijakan ini bersifat instruktif yang harus dipatuhi oleh rakyat Iran (Kompas, 21 Desember 2005) sehingga akan semakin mengucilkan negara ini dari pergaulan internasional karena telah bersikap represif terhadap kehidupan publik masyarakatnya.
Islam dan Musik
Sebenarnya dalam sejarah pemikiran Islam, banyak pemikir muslim yang telah melahirkan teori musik, di antaranya Al-Farabi dengan bukunya Kitab al-musiqi al-kabir (Buku Tentang Musik Agung), tokoh yang dijadikan nama sekolah musik Dwiki Darmawan, telah memberi inspirasi perkembangan musik dalam Islam, meskipun dalam sejarahnya penerimaan terhadap musik terbelah ke dalam dua kubu: pro dan kontra.
Memang, di dalam salah satu varian pemikiran Islam terdapat kelompok yang mengharamkan musik karena akan memalingkan manusia beriman dari Tuhan. Tetapi, mayoritas ulama menerima dengan syarat, seperti ditulis Al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulumuddin, untuk meningkatkan ibadah, memacu semangat untuk berperang, menimbulkan keberanian pada masa perang, menimbulkan kesenangan, mendatangkan cinta dan kerinduan serta melahirkan cinta pada Tuhan, sedangkan musik itu dilarang ketika ia suarakan oleh perempuan dalam kondisi tertentu, alatnya jelas-jelas dilarang, materi lagu bertentangan dengan semangat dan ajaran agama, penikmatnya dikuasai nafsu dan mendengar musik untuk musik itu sendiri.
Tentu saja, rumusan ini tidak bisa dijadikan acuan yang ketat karena apresiasi dan budaya masyarakat tentang ibadah, kesenangan dan selera itu berbeda, sehingga bentuk-bentuk musik yang didaku melanggar ajaran agama bisa multitafsir. Musik, menurut kalangan sufi, adalah sebagai sarana mendekatkan diri pada Tuhan, misalnya dalam ordo darwish Jalaluddin Rumi, sementara bagi kalangan ortodoks haram, seperti dianut oleh banyak kaum puritan di Saudi Arabia. Bahkan, bukankah Sunan Bonang menyebarkan ajaran Islam di Jawa melalui musik?
Lebih jauh, menurut Ammon Shiloah dalam Music in the World of Islam: A socio-Cultural Study (1995), relasi Islam dan musik itu berkaitan dengan sistem pemikiran, yang meminjam pemikiran Max Weber, dengan makna teologis dari konsepsi manusia tentang dirinya dan tempatnya di jagad ini, konsepsi yang melegitimasi orientasi manusia di dan untuk dunia serta memberikan makna pada pelbagai tujuannya. Betapa kompleksitasnya musik dalam ranah sosial kehidupan masyarakat.
Iran adalah salah satu negara Islam yang mempunyai sejarah panjang pasang surut agama sebagai legitimasi keputusan politik, yang sebelumnya pernah diperintah oleh rezim sekuler dan akhirnya ditumbangkan oleh kaum agamawan di bawah Ayatollah Khomeini. Sejak rezim ulama berkuasa, maka segala yang berbau Barat, seperti musik dan fashion diberangus atas nama kemurniaan ajaran agama dan nilai lokal. Setelah kepemimpinan diambil oleh ulama moderat, maka upaya Khomeini untuk membendung budaya Barat telah mulai luntur, dengan maraknya musik dan fashion Barat dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Tampaknya, presiden baru Iran ini ingin mengembalikan cita-cita revolusi Khomeini agar pengaruh Barat benar-benar dihilangkan dalam kehidupan publik bangsa Iran.
Motif Pelarangan
Secara sederhana, penolakan terhadap musik barat oleh penguasa Iran bisa dikatakan bernuansa politik akibat tekanan Barat terhadap isu Nuklir Iran dan pesanan kekuasaan klerus yang merupakan basis dukungan presiden. Sebagaimana kata teman saya di program doktor Ilmu Humaniora USM, Nematollah Azadmanesh, bahwa radio dan televisi di dalam konstitusi Iran berada di bawah legislasi pemimpin spiritual, Ayatullah Khameini, maka wajar jika keputusan ini diinstruksikan dan akan dievaluasi pelaksanaannya dalam enam bulan ke depan.
Namun demikian, seperti ditulis oleh Ella Zonis dalam Classical Persian Music: An Introduction (1973), bahwa musik Iran sebenarnya banyak dipengaruhi oleh Islam, namun ia juga sangat dipengaruhi serangan banyak penakluk lain, seperti bangsa Turki dan Mongol pada abad ketujuh hingga kelimabelas, di mana banyak musisi terlibat dalam ordo sufi sebagai respon terhadap penaklukan, termasuk pengaruh Barat sekarang ini telah melahirkan teori dan praktik musik. Ini berarti Iran tidak bisa mengingkari hubungan dengan negara luar.
Kebijakan yang tidak populer ini sebenarnya memperoleh dukungan dari konstituen dalam negeri sendiri, sebagaimana tercermin dalam sebuah obrolan dengan salah seorang mahasiswa Iran di Malaysia, bahwa musik tradisional Iran itu lebih sesuai dengan karakter kepribadian mereka dan musik Barat telah meracuni pikiran generasi muda. Dengan lugas, dia berkata bahwa western music is corrupted and be able to destroy young generation mind.
Peristiwa kontroversial di negeri para Mullah ini pernah muncul dalam bentuk yang berbeda, yaitu kasus Rhoma vs Inul, di mana perseteruan keduanya telah melahirkan polarisasi dalam melihat relasi musik dan norma (yang biasanya dalam perspektif agama). Akan tetapi, berbeda dengan Iran di mana ekspresi musik Barat dilarang atas nama kebajikan dan menjaga kemurniaan cita-cita revousioner, di sini negara tidak ikut campur terlalu jauh, meskipun melalui pelbagai peraturan berkaitan dengan hiburan (termasuk musik) telah mengebiri kebebasan seniman untuk menuangkan kreativitasnya, selain itu elemen lain dalam masyarakat juga telah menjadi hakim bagi kehidupan berkesenian, seperti kasus pada Ahmad Dani dan Desi Ratnasari. Lalu, kita sendiri memilih yang mana?
Ahmad Sahidah Kandidat Doktor pada Jurusan Peradaban Islam Universiti Sains Malaysia
Musik, Agama dan Politik
Ahmad Sahidah
Pelarangan musik Barat di Iran oleh Presiden Ahmadinejad yang berpandangan ultrakonservatif telah menambah daftar panjang kontroversi kebijakannya, setelah sebelumnya menyatakan penghapusan Israel dari peta dunia dan sejarah Holacoust, pembunuhan jutaan orang Yahudi oleh orang Eropa pada Perang Dunia Kedua, terlalu dibesarkan-besarkan, sementara orang Eropa sekarang tidak mempedulikan penindasan Israel terhadap Palestina.
Meskipun pernyataan orang nomor satu di Republik Islam Iran diserang banyak politisi dan pejabat pemerintahan di Eropa, Amerika dan Australia, dia bergeming karena pendapatnya dianggap sebagai kebebasan berekspresi yang sejatinya seharusnya dijunjung oleh orang Barat yang gandrung akan toleransi terhadap perbedaan. Namun, intruksi sang presiden agar musik Barat tidak dikumandangkan di sejumlah radio dan televisi telah mengundang protes di dalam negeri, terutama oleh para musisi yang mengganggap presiden tidak mempunyai pengalaman dan pengetahuan, telah memukul balik raisons d’ĂȘtre kebebasan yang dijadikan pijakan mantan walikota Teheran ini ketika melontarkan pendapat mengenai Israel dan Holacoust.
Meskipun pelarangan ini didasarkan pada keyakinan bahwa musik Barat itu dekaden, dan mendorong pada apresiasi terhadap musik klasik Iran yang indah. Ironisnya, kebijakan ini bersifat instruktif yang harus dipatuhi oleh rakyat Iran (Kompas, 21 Desember 2005) sehingga akan semakin mengucilkan negara ini dari pergaulan internasional karena telah bersikap represif terhadap kehidupan publik masyarakatnya.
Islam dan Musik
Sebenarnya dalam sejarah pemikiran Islam, banyak pemikir muslim yang telah melahirkan teori musik, di antaranya Al-Farabi dengan bukunya Kitab al-musiqi al-kabir (Buku Tentang Musik Agung), tokoh yang dijadikan nama sekolah musik Dwiki Darmawan, telah memberi inspirasi perkembangan musik dalam Islam, meskipun dalam sejarahnya penerimaan terhadap musik terbelah ke dalam dua kubu: pro dan kontra.
Memang, di dalam salah satu varian pemikiran Islam terdapat kelompok yang mengharamkan musik karena akan memalingkan manusia beriman dari Tuhan. Tetapi, mayoritas ulama menerima dengan syarat, seperti ditulis Al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulumuddin, untuk meningkatkan ibadah, memacu semangat untuk berperang, menimbulkan keberanian pada masa perang, menimbulkan kesenangan, mendatangkan cinta dan kerinduan serta melahirkan cinta pada Tuhan, sedangkan musik itu dilarang ketika ia suarakan oleh perempuan dalam kondisi tertentu, alatnya jelas-jelas dilarang, materi lagu bertentangan dengan semangat dan ajaran agama, penikmatnya dikuasai nafsu dan mendengar musik untuk musik itu sendiri.
Tentu saja, rumusan ini tidak bisa dijadikan acuan yang ketat karena apresiasi dan budaya masyarakat tentang ibadah, kesenangan dan selera itu berbeda, sehingga bentuk-bentuk musik yang didaku melanggar ajaran agama bisa multitafsir. Musik, menurut kalangan sufi, adalah sebagai sarana mendekatkan diri pada Tuhan, misalnya dalam ordo darwish Jalaluddin Rumi, sementara bagi kalangan ortodoks haram, seperti dianut oleh banyak kaum puritan di Saudi Arabia. Bahkan, bukankah Sunan Bonang menyebarkan ajaran Islam di Jawa melalui musik?
Lebih jauh, menurut Ammon Shiloah dalam Music in the World of Islam: A socio-Cultural Study (1995), relasi Islam dan musik itu berkaitan dengan sistem pemikiran, yang meminjam pemikiran Max Weber, dengan makna teologis dari konsepsi manusia tentang dirinya dan tempatnya di jagad ini, konsepsi yang melegitimasi orientasi manusia di dan untuk dunia serta memberikan makna pada pelbagai tujuannya. Betapa kompleksitasnya musik dalam ranah sosial kehidupan masyarakat.
Iran adalah salah satu negara Islam yang mempunyai sejarah panjang pasang surut agama sebagai legitimasi keputusan politik, yang sebelumnya pernah diperintah oleh rezim sekuler dan akhirnya ditumbangkan oleh kaum agamawan di bawah Ayatollah Khomeini. Sejak rezim ulama berkuasa, maka segala yang berbau Barat, seperti musik dan fashion diberangus atas nama kemurniaan ajaran agama dan nilai lokal. Setelah kepemimpinan diambil oleh ulama moderat, maka upaya Khomeini untuk membendung budaya Barat telah mulai luntur, dengan maraknya musik dan fashion Barat dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Tampaknya, presiden baru Iran ini ingin mengembalikan cita-cita revolusi Khomeini agar pengaruh Barat benar-benar dihilangkan dalam kehidupan publik bangsa Iran.
Motif Pelarangan
Secara sederhana, penolakan terhadap musik barat oleh penguasa Iran bisa dikatakan bernuansa politik akibat tekanan Barat terhadap isu Nuklir Iran dan pesanan kekuasaan klerus yang merupakan basis dukungan presiden. Sebagaimana kata teman saya di program doktor Ilmu Humaniora USM, Nematollah Azadmanesh, bahwa radio dan televisi di dalam konstitusi Iran berada di bawah legislasi pemimpin spiritual, Ayatullah Khameini, maka wajar jika keputusan ini diinstruksikan dan akan dievaluasi pelaksanaannya dalam enam bulan ke depan.
Namun demikian, seperti ditulis oleh Ella Zonis dalam Classical Persian Music: An Introduction (1973), bahwa musik Iran sebenarnya banyak dipengaruhi oleh Islam, namun ia juga sangat dipengaruhi serangan banyak penakluk lain, seperti bangsa Turki dan Mongol pada abad ketujuh hingga kelimabelas, di mana banyak musisi terlibat dalam ordo sufi sebagai respon terhadap penaklukan, termasuk pengaruh Barat sekarang ini telah melahirkan teori dan praktik musik. Ini berarti Iran tidak bisa mengingkari hubungan dengan negara luar.
Kebijakan yang tidak populer ini sebenarnya memperoleh dukungan dari konstituen dalam negeri sendiri, sebagaimana tercermin dalam sebuah obrolan dengan salah seorang mahasiswa Iran di Malaysia, bahwa musik tradisional Iran itu lebih sesuai dengan karakter kepribadian mereka dan musik Barat telah meracuni pikiran generasi muda. Dengan lugas, dia berkata bahwa western music is corrupted and be able to destroy young generation mind.
Peristiwa kontroversial di negeri para Mullah ini pernah muncul dalam bentuk yang berbeda, yaitu kasus Rhoma vs Inul, di mana perseteruan keduanya telah melahirkan polarisasi dalam melihat relasi musik dan norma (yang biasanya dalam perspektif agama). Akan tetapi, berbeda dengan Iran di mana ekspresi musik Barat dilarang atas nama kebajikan dan menjaga kemurniaan cita-cita revousioner, di sini negara tidak ikut campur terlalu jauh, meskipun melalui pelbagai peraturan berkaitan dengan hiburan (termasuk musik) telah mengebiri kebebasan seniman untuk menuangkan kreativitasnya, selain itu elemen lain dalam masyarakat juga telah menjadi hakim bagi kehidupan berkesenian, seperti kasus pada Ahmad Dani dan Desi Ratnasari. Lalu, kita sendiri memilih yang mana?
Ahmad Sahidah Kandidat Doktor pada Jurusan Peradaban Islam Universiti Sains Malaysia
Subscribe to:
Posts (Atom)
Majemuk
Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...
-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Semalam takbir berkumandang. Hari ini, kami bersama ibu, saudara, dan warga menunaikan salat Idulfitri di masjid Langgundhi. Setelah pelanta...
-
Saya membawa buku Philosophy for Dummies untuk coba mengenalkan anak pada filsafat. Biyya tampak bersemangat tatkala pertama kali mendapatka...