Saturday, December 24, 2005

Merayakan Ritual Baru

Minggu, 25 Des 2005,
Merayakan Ritual Baru

Judul Buku : Enchanting A Disenchanted World: Revolutionizing the Means of Consumption
Penulis : George Ritzer
Penerbit : Pine Forge Press, Amerika
Cetakan : Edisi kedua, 2005
Tebal : xii+261 halaman


Dalam pengantarnya, Goerge Ritzer memaparkan bahwa seorang konsumen sekarang bisa melakukan banyak hal, seperti berbelanja di sebuah mall penuh warna dengan ratusan toko dari merek terkenal dan jutaan barang dan jasa yang tinggal pilih, atau menghabiskan waktu di sebuah mega-mall yang tidak hanya meliputi toko tetapi juga taman hiburan, atau makan di sebuah restoran “tema”, di mana tempat, staf, dan makanan yang disediakan mengingatkan pada hutan tropis atau dunia musik rock. Pendek kata, manusia hanya perlu ‘kemauan’ untuk memanjakan nafsu hedonis.

Tampaknya, sebuah perubahan revolusioner telah terjadi pada banyak tempat di mana kita bisa mengkonsumsi barang dan jasa. Hal ini, tegas Ritzer, tidak hanya mempengaruhi hakikat konsumsi tetapi juga kehidupan sosial. Dua hal terakhir inilah yang akan dijawab oleh sang penulis. Semua tempat yang tersebut di atas adalah lokasi yang memungkinkan kita untuk mengonsumsi sejumlah barang dan jasa yang disebut sarana konsumsi. Namun, tempat ini terkadang disusun untuk memaksa kita berprilaku konsumtif.

Dengan nada provokatif, sang penulis mengungkapkan bahwa sarana konsumsi ini sebagai katedral yang menunjukkan quasi-religious, yang menarik kita untuk mempraktikkan agama konsumeristik. Lebih dari itu, ia telah mengalahkan tempat publik lain seperti universitas, tempat bermain bola, rumah sakit, musium, gereja dan sebagainya. Sepintas, fenomena ini juga terjadi di sini, di mana mal dan tempat berbelanja yang lain dipenuhi masyarakat, meskipun hanya sekedar cuci-mata (window shopping). Tidak hanya itu, rangsangan untuk berbelanja telah merasuki ruang tamu kita dengan adanya iklan yang merayu pemiarsa untuk berbelanja melalui televisi.

Persoalannya, mengapa begitu banyak masyarakat ingin lebih banyak lagi mengkonsumsi barang? Salah satu alasannya adalah banyaknya orang yang mempunyai sumber keuangan dan mereka bernafsu untuk menghabiskan untuk konsumsi pribadi. Belum lagi, iklan yang progresif dari produsen untuk meyakinkan konsumen akan pentingnya barang dalam kehidupan mereka, meskipun sebenarnya bukan kebutuhan pokok yang mesti segera dipenuhi. Keinginan ini juga diperparah dengan adanya kartu kredit yang memungkinkan pemiliknya tergoda untuk memuaskan keinginan memiliki produk yang dijajakan di rumah, pinggir jalan bahkan kampus tidak luput dari tangan-tangan tenaga penjualan.

Tanpa disadari, meminjam William Leach, pemenuhan kebutuhan artifisial ini dianggap sarana untuk mencapai kebahagiaan, kultus baru, demokratisasi keinginan dan nilai uang sebagai ukuran yang paling menonjol dari semua nilai dalam masyarakat. Hampir semua tempat yang tidak berkaitan dengan lokasi penjualan telah dipenuhi barang-barang konsumsi seperti kampus, gedung bioskop, dan sekolah.

Kalau sebelumnya perusahaan berusaha untuk memberikan apa yang diinginkan konsumen, sekarang bergeser mejadi penekanan untuk memaksa konsumen untuk menginginkan dan “membutuhkan“ barang yang dijual dan dihasilkan mereka. Perusahan hanya tertarik pada “standardisasi, produksi massal dan distribusi massal“ dan konsumen dipandang tak lebih daripada unit dari massa atau sebagai konsumen massa. Akibatnya, jelas Ritzer, masyarakat Amerika semakin terjebak pada apa yang disebut dengan hyperconsumption dan memang kebanyakan dari mereka terobsesi dengan keinginan untuk membeli barang.

Nafsu ini telah mengalahkan perang ideologi abad keduapuluh, menundukkan agama dan politik sebagai jalan yang diikuti oleh jutaan orang Amerika untuk mendapatkan tujuan, makna dan tatanan serta pengagungan yang transenden. Tentu saja, prilaku semacam ini belum merasuk pada masyarakat kita, tapi tanda-tanda ke sana mulai nampak dengan semakin banyaknya dibangun tempat perbelanjaan, misalnya, Yogyakarta sebagai kota kecil telah berbenah diri menjadi pusat belanja. Apalagi daya beli masyarakat yang masih rendah,namun seiring dengan masa transisi ke kehidupan ekonomi yang lebih baik, maka masyarakat akan dihadapkan dengan gejala yang sama seperti di Amerika. Bukankah, pada masa krisis ini, mall masih menjadi tempat yang ramai dikunjungi banyak orang, apa pun motivasinya?

Kemudahan untuk konsumsi ini ditunjukkan dengan sarana yang diciptakan secara kreatif untuk memudahkan pengunjung, seperti One-Stop Shopping, tempat berbelanja yang dibuat semenarik mungkin, swalayan, sehingga model betul-betul ini merubah relasi sosial karena penjual dan pembeli tidak lagi bertatap muka. Singkatnya, sarana konsumsi ditandai dengan interaksi manusia dengan benda bukan dengan orang.

Buku ini juga membantu kita untuk menyelami lebih jauh isu-isu berkenaan dengan konsumen dari segi ras, gender dan kelas di Amerika. Tentu saja, peta di negeri paman Sam akan berbeda dengan di Indonesia, namun secara keseluruhan berguna untuk melihat fenomena dunia konsumeristik di negeri yang belum pulih dari krisis ini, sehingga ia bisa dijadikan sarana pembelajaran bagaimana menjadi pembeli yang baik.

Memang, buku ini tidak berusaha untuk mengkritik nafsu membeli masyarakat, tapi lebih secara deskriptif menggambarkan bagaimana pola konsumsi itu lahir dan diciptakan oleh industri massa untuk mengeruk keuntungan, bahkan mengeksploitasi mereka dengan pelbagai cara mengemas jualannya. Pelbagai teori sosial digunakan untuk memahami fenomena ini.

Selain itu, berdasarkan paparan Ritzer, pembaca bisa mengamati bahwa kebanyakan pusat-pusat konsumsi di negara kita itu adalah derivasi dari model-model Barat, yang belum sepenuhnya bisa dinikmati karena daya beli masyarakat kita yang rendah dan terkadang tidak sejalan dengan kebiasaan mereka sehari-hari. Meskipun, kita bisa melihat bahwa kreativitas untuk meniru KFC (Kentucky Fried Chicken) dengan menjadi ’’Kentuku“ Fried Chicken sebagai cara agar ritual makan kita tidak sepenuhnya adopsi dari sebuah kebudayaan yang sebenarnya asing patut diapresiasi. Semoga. []
------


*) Ahmad Sahidah
Kandidat Doktor Ilmu Humaniora Universitas Sains Malaysia

No comments:

Majemuk

Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...