Jelang Ramadan, saya telah menyiapkan diri dengan menghitung jejak. Jejak Ramadan masa kecil, remaja hingga dewasa. Di masa kecil, bulan suci ini adalah berkah karena puasa justeru memberi banyak waktu bermain, sore adalah waktu penantian yang mendebarkan dan malam adalah semarak dengan tadarus dan tarawih yang meramaikan masjid tua di kampung. Sepertinya, kehidupan menyala, tak redup.
Tapi, sekarang, mungkinkah kita mengulang masa kecil hadir kembali? Mungkin ya, tapi dengan cara yang berbeda. Bermain tidak lagi perang-perangan, gobak-sodor atau yang lain, tetapi permainan yang dianggap dewasa. Saya tidak pasti tentang hal ini.
Agar Ramadan lebih terasa, saya datang ke perpustakaan (Hamzah Sendut 1 USM) untuk membuka pengalaman orang lain tentang memberikan makna terhadap masa yang penuh berkah ini.
1. Buku Renungan-Renungan Sufistik (Terbitan Mizan) oleh Kang Jalaluddin Rahmat membantu saya menafsirkan kembali rutinitas tahunan ini. Dengan ketajaman penanya, beliau merungkai semula pemahaman keagamaan yang lebih memberi perhatian pada hal-hal yang spiritual berbandingkan material.
2. Haji oleh Michael Wolfe, seorang mualaf dari Amerika telah menyindir saya karena sebagai muslim yang telah menjalani puasa selama puluhan tahunan belum lahir satu buku pun yang merekam pengalaman berpuasa. Karya (Terbitan Serambi) yang ditulis dalam bentuk novel ini menggugah kesadaran religiusitas yang tidak lagi melihat ibadah secara biner, hitam-putih. Pengalaman keseharian dengan tetangga, teman dan manusia asing adalah cermin untuk mewujudkan pesan-pesan kitab suci.
3. Kurma adalah sebuah kumpulan cerpen (Terbitan buku KOMPAS) tentang puasa dan lebaran. Sumbangan dari banyak penulis beken Indonesia menambah bobot karya ini. Apalagi, Maman S Mahayana membantu saya memahami cerpen yang ditulis dengan ragam gaya, dari Surealisme Danarto hingga realismenya Umar Kayam.
Jika kita mendapatkan kenikmatan, maka sebagai sesama musafir kita harus mengabarkan, siapa tahu ia juga menyejukkan. Amin.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Buku Teks
Barusan kami mengambil buku pelajaran Zumi. Ia dan kawan-kawan membelinya dari sekolah. Tadi, kami bertemu dengan banyak orang tua yang jug...

-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Kata dalam judul sering didengar di tahun baru. Orang jiran menyebutnya azam. Anda bisa menyebutnya tekad. Buku ini menandai sebagian dari ...
-
Rindu itu adalah perasaan akan sesuatu yang tidak ada di depan mata kita. Demikian pula, buku itu adalah jejeran huruf-huruf yang menerakan ...
No comments:
Post a Comment