Sunday, September 24, 2006

Jelang Ramadhan dan Hari Pertama

2 Hari sebelumnya:

Kami main bola dengan teman-teman Arab-Libya. Sebuah upaya untuk lebih dekat mengenal mereka di mana Peradaban Gemilang pernah lahir. Kemenangan meyakinkan 4-2 untuk pelajar Indonesia menumbuhkan semangat untuk meningkatkan performa permainan ke depan.

Tentu, teman-teman penyuka bola lebih tahu bagaimana memoles strategi agar pada masa yang akan datang lebih menggigit. Kemenangan itu memang perlu dirayakan, tetapi proses menuju raihan ini juga perlu dipertimbangkan. Ia lahir dari kekompakan, kebersamaan dan disiplin. Lebih-lebih, jika teman-teman mau mengusung semua ini pada kehidupan keseharian. Kekompakan akan mengatasi keterasingan, kebersamaan akan menghilangkan kesepian dan disiplin membuat hidup tertanggungkan.

Seragam merah-putih tidak hanya sekedar jersi (bahasa Malaysia), ia adalah penanda akan kebanggaan sebagai anak bangsa. Pertandingan persahabatan ini secara tersirat sekaligus memperkenalkan Indonesia pada pelajar Asing (Arab). Bukankan, mereka juga sangat ramah? Ketika salah satu pemain Libya bertanya kepada Ambo kenapa ia merokok?

Menjelang Malam,

Art May tell a truth
Obliquely, do the thing shall breed the thought,
Nor wrong the thought, missing the mediate word.
The Ring and the Book, XII, ll. 858-860.

[Stephen Ullmann, Semantics An Introduction to the Science of Meaning (Oxford: Basil Blackwell, 1972), hlm. 56.]

Saya bergegas ke Dewan Budaya untuk menonton Fusion Jazz. Meskipun terlambat, saya masih bisa mendapatkan kursi sehingga saya betul-betul bisa menikmat suguhan ragam genre Musik. Fusion mengandaikan bahwa sebenarnya genre Musik yang dipagelarkan tidak sepenuhnya murni Jazz. Yang terakhir ini lebih menumpukan pada improvisasi sehingga ketika kita melihat seorang dengan akraktif memainkan sebuah alat musik secara solo, secara spontan sang konduktor pun menunjukkan jari agar penonton memberikan tepukan (applause).

Di sana, saya datang menikmati pagelaran orkestra yang melibatkan kombinasi pelbagai alat, seperti cello, flute, clarinet, saksofon, Trompet, Horn, Trombone dan Perkusi. Paling tidak ada 60-an pemain musik memainkan alat yang menimbulkan bunyi harmoni.

Woelandari tampil meyakinkan membawakan lagu Menghitung Hari. Dengan kebaya dan kain sarung batik, teman kita ini sedang melakukan demonstrasi budaya bahwa Indonesia telah melahirkan calon diva baru. Ya, saya betul-betul menikmati suara emasnya.

Oh ya, Gamelan Groovenya sang konduktor, Razif Mohammad, menyihir ruangan menjadi magis. Tiba-tiba masa lalu sepertinya dihadirkan dipanggung. Dalam suasana mitis, di kepala muncul banyak adegan.

Bahkan, gubahan lagi Keranamu Malaysia lebih enak didengar dengan diselitkan (dalam bahasa Indonesia disisipkan) suara gamelan. Perpaduan tradisional dan modern menepis cara pandang dualistik. Semua menyatu dalam ragam dan perbedaan.

Hati ini juga terobati karena salah satu lagu bercorak dangdut berjudul Relaks juga lantunkan. Yang saya tangkap pesannya adalah kita jangan terburu-buru, tapi tidak berarti menjadi tidak responsif.

Bagi saya, musik selalu membuat diri ini selalu berada pada tiga waktu, masa lalu, sekarang dan yang akan datang. Masa lalu hadir ketika saya mendengar Caravansary Kitaro (Ernawati Wahyuni Jember), Kemesraan Iwan Fals (Emma Marfu’ah Sunda) That’s Why Michael Learn to Rock (Eny Susilawati Palembang) dan hanya lagu Rhoma Irama yang mampu mengingatkan saya masa kecil di kampung.

Tidak itu saja, musik juga adalah bagian dari perwujudan pembelajaran filsafat. Cabang ilmu tertua ini berbicara tidak hanya epistemologi, logika, etik, tetapi juga estetik. Yang terakhir telah memberikan warna lain tentang hidup. Kehidupan itu tidak selalu dilihat dari perspektif baik atau buruk (etik) dan benar atau salah (logika). Ada sesuatu yang tidak bisa dibekap dalam dua kategori ini, yaitu keindahan.

Satu hari sebelumnya:

Saya bangun lebih awal agar bisa melakukan banyak kegiatan. Sayang, di pagi buta itu saya tidak bisa mengakses internet. Daripada kelimpungan, saya mandi lebih awal agar bisa ke kampus ditemani langit bersih dan angin segar karena belum terlalu disesaki asap kendaraan.

Malam Pertama:

Bersama Mas Tauran, saya melaju sepeda motor untuk segera sampai di masjid kampus. Di sana, saya melihat para jamaah tampak antusias menyambut Ramadhan. Malam itu juga, saya banyak menerima ucapan selamat Ramadhan! Kata-kata yang menyentuh bertaburan. Sebuah sapa yang melambungkan jiwa ke langit ke tujuh.

Setelah selesai tarawih, saya makan di kedai Thailand. Sebuah kebetulan, Mas Mul dan Mas Baim juga makan malam. Sambil bercakap ringan, mata kami memperhatian kotak kaca yang sedang menyiarkan pertandingan Chelsea dan Fulham.

No comments:

Syawal Keempatbelas

Kami memenuhi undangan tetangga untuk memperingati 100 hari kepergian Pak Muhammad Imam Wahyudi. Sebelumnya kami mendapat surat undangan unt...