Sebuah Cerita:
Di sela-sela saya menulis disertasi, kadangkala disergap jenuh. Agar, saya masih berada pada jalur utama (penyelesaian disertasi berjudul Hubungan Tuhan, Manusia dan Alam di dalam Al-Qur'an: Satu Kajian terhadap Analisis Semantik Toshihiko Izutsu melalui Pendekatan Hermeneutik), adalah perlu untuk menulis artikel, rencana (Bahasa Malaysia= opini) atau tulisan ringan berkaitan dengan kajian yang satu tulis.
Artikel saya yang dimuat dalam Republika [Indonesia] hari ini (22 September 2006) adalah hasil pengembangan nalar dari bahan bacaan saya untuk menyelesaikan disertasi, yang sekarang telah memasuki bab keempat dan kelima.
Kadang lucu juga, sebab saya membahas banyak hal dalam disertasi, tidak hanya berhubung kait dengan pemikir (Izutsu, Gadamer, Ullmann, Leisi, Ricoeur, Khalid al-Akk, Al-Suyuti, Nasr Abu Zayd, Fazlur Rahman dan lain-lain) tetapi juga tempat (Jepang, Jerman, Timur Tengah dan Eropa dan lain-lain). Sementara saya belum pernah bertemu dengan para pemikir tersebut dan bahkan belum pernah menginjakkan kaki ke negara yang saya sebenarnya harus kunjungi untuk mendapatkan 'data' dan merasakan 'atmosfir' intelektualnya.
Kajian hermeneutik mengandaikan bahwa saya dituntut untuk menerokai banyak horizon (wawasan, atau dalam bahasa Malaysia 'ufuk'). Sayangnya, saya masih dibatasi pada 'dunia teks' (text world), belum memasuki secara nyata 'dunia realitas' (reality world), sehingga sangat susah untuk meraih pandangan dunia (weltanschauung) pemikiran yang saya telaah.
Nah, agar saya masih bisa menjaga ritme dan irama dalam penulisan, maka saya berusaha untuk mengusung kerja disertasi ke dalam suasana yang lebih populer (Surat Kabar) dan perbincangan di milis (dalam menulis komentar acapkali saya dituntun oleh pendekatan hermeneutik). Ya, hermeneutik membuat saya 'melek' (literate) terhadap realitas masa lalu, sekarang dan yang akan datang. Apapun bentuknya.
Mau baca tulisan saya? Tapi, lebih dari itu saya akan menyatakan terima kasih yang dalam jika Anda juga memberikan komentar. Terima kasih. http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=265601&kat_id=16
atau di sini
Jumat, 22 September 2006
Mungkinkah Belajar Islam dari Jepang?
Oleh :
Ahmad Sahidah Kandidat
Doktor Kajian Peradaban Islam Universitas Sains Malaysia
Tidak hanya dikenal sebagai bangsa yang cakap dan rajin bekerja, Jepang juga luwes menerima peradaban dan kebudayaan lain. Dengan menyerap budaya Cina pada masa sebelum modern juga mengadaptasi kemajuan Barat dalam bidang teknologi, Jepang menjadi sebuah negara industri terkemuka. Bahkan, kedudukan ini diraih tak lama setelah kehancuran luar biasa dalam Perang Dunia II.
Namun, keberhasilan tersebut tidak membuat para intelektual mereka berpuas hati. Eiji Uehero dalam bukunya Practical Ethics for Our Time (1998: 169) mempersoalkan kembali kemajuan yang diraih oleh bangsanya. Ironisnya, kemajuan ini telah membuat mereka mengabaikan nasib kemanusiaan yang lebih luas. Dia juga merasa kesal mengapa Jepang lebih dikenal sebagai negara berteknologi tinggi dibandingkan pemikiran serta kebudayaannya.
Kesadaran ini sebenarnya telah dirasakan oleh bangsa Jepang. Hal ini dapat dilihat dengan adanya usaha membangun pemikiran dan kebudayaan serta interaksinya dengan Islam. Sebenarnya, upaya ini tidak bisa dilepaskan dari kepentingan bahwa banyak negara Islam sebagai produsen minyak yang menjadi keperluan dasar industri mereka.
Islam di Jepang
Orang Jepang mempelajari Islam sebagai sebagian dari sebuah pemikiran Barat. Pada 1877, sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang dan Islam mendapat tempat di kalangan intelektual. Kontak dengan Islam juga dilakukan tahun 1890-an ketika kesultanan Turki Utsmaniyah mengirim armada ke Jepang untuk sebuah misi persahabatan. Pengiriman ini telah meningkatkan hubungan antara kedua negara.
Di samping itu, sepanjang Perang Dunia II 'kehadiran Islam sangat kuat', terutama setelah pemerintahan militer Jepang membentuk organisasi dan pusat penyelidikan Islam untuk menaklukkan negara-negara jajahan yang sebahagian besar Muslim di Asia Tenggara. Sikap persuasif mereka telah menarik perhatian para tokoh di negeri ini untuk bersama-sama memerangi Barat.
Organisasi Islam pertama yang didirikan adalah The Japan Muslim Association pada tahun 1952. Tujuannya adalah untuk menyebarkan Islam di Jepang. Dakwah Islam bertambah semarak setelah perang kemerdekaan melalui hubungan pertukaran diplomatik, ekonomi dan kebudayaan. Diperkirakan di seluruh Jepang kini terdapat 50 Islamic center dengan pusat aktivitas dakwah bertempat di Tokyo.
Selain pembangunan masjid sebagai pusat aktivitas ibadah dan sosial, tugas penerjemahan Alquran juga mempunyai sejarah yang panjang. Antara tahun 1920-1970 terdapat lima terjemahan Kitab Suci ini ke dalam bahasa Jepang. Menurut Abu Bakar Morimoto, terjemahan pertama diterbitkan pada tahun 1920 dalam dua jilid yang dilakukan oleh Keuiche Sakamoto, seorang sarjana non-Muslim dari Universitas Tokyo.
Akhirnya pada tahun 1957, Alquran diterjemahkan secara langsung dari bahasa Arab oleh Toshihiko Izutsu, seorang sarjana keislaman yang fasih berbahasa Arab baik denganlisan mahupun tulisan. Selain itu, beliau juga banyak menulis karya-karya lain berkaitan dengan isu keislaman, seperti God and Man in the Qur'an: Semantics of Qur'anic Weltanschauung, Ethico-Religious Concepts in the Qur'an, dan The Concept of Belief in Islamic Theology. Ketiga buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Tiara Wacana.
Pengaruh Izutsu boleh dilihat dalam pandangan salah satu sarjana Muslim Asia Tenggara, Wan Mohammad Nor Wan Daud. Dengan merujuk kepada Izutsu, beliau mempertimbangkan bahwa perbezaan mazhab hukum Islam dan teologi bersumber pada perbedaan metode dalam menafsirkan Alquran dan hadis. Oleh karena itu, cara penafsir klasik menggunakan analisis gramatikal dan filologi dipandang tidak cukup karena tidak bisa mendapatkan penjelasan yang menyeluruh.
Sarjana Jepang lain yang cemerlang adalah Sachiko Murata, yang menulis The Tao of Islam: A Sourcebook on Gender Relationship in Islamic Thought. Buku ini mencoba menguraikan pemikiran Islam tentang hakikat hubungan Tuhan dan alam semesta, alam semesta dan manusia, serta manusia dan Tuhan.
Sedangkan sarjana Indonesianis adalah Hiroko Horikoshi yang telah mempengaruhi banyak pengkaji Islam di Asia Tenggara. Hasil penyelidikannya tentang peran ulama dalam melakukan perubahan dalam masyarakat Jawa Barat, yang bahkan juga dijadikan rujukan para penulis Barat.
Pelajaran
Lazimnya, para mahasiswa di Asia Tenggara ini belajar Islam di Mesir, Arab Saudi, Irak dan Iran. Namun seiring berjalannya waktu, keberhasilan Barat mengembangkan pengkajian Islam mendorong banyak mahasiswa yang melanjutkan PhD-nya ke Amerika, Inggris, Belanda, dan Jerman.
Sebenarnya, intelektual Asia Tenggara telah mempunyai tradisi penulisan tentang keislaman pada zaman kesultanan dulu --seperti Syed Husain Jamaluddin Al Qubra dan Hamzah Fansuri. Tetapi, sekarang para sarjana Muslim di negeri ini lebih banyak memproduksi ulang karya-karya Muslim klasik atau modern. Meskipun ada beberapa karya orisinal intelektual terkemuka yang mempunyai pengaruh dunia luas, seperti Prolegomena to the Metaphysic of Islam oleh Syed Muhammad Naquib Al Attas.
Dibandingkan dengan Jepang, sejarah Asia Tenggara mempunyai tradisi pemikiran keislaman yang lebih panjang. Islam masuk ke Asia tenggara jauh mendahului daripada masuknya Islam ke Jepang, namun sekarang kajian keislaman di Jepang telah memasuki kancah yang lebih luas. Para sarjananya telah melanglang buana ke seluruh dunia untuk mengkaji agama Islam. Menariknya, karya mereka justru menjadi perantara masuknya pemikiran Islam ke Indonesia.
[Sumber: Republika, 22/9/06]
Di sela-sela saya menulis disertasi, kadangkala disergap jenuh. Agar, saya masih berada pada jalur utama (penyelesaian disertasi berjudul Hubungan Tuhan, Manusia dan Alam di dalam Al-Qur'an: Satu Kajian terhadap Analisis Semantik Toshihiko Izutsu melalui Pendekatan Hermeneutik), adalah perlu untuk menulis artikel, rencana (Bahasa Malaysia= opini) atau tulisan ringan berkaitan dengan kajian yang satu tulis.
Artikel saya yang dimuat dalam Republika [Indonesia] hari ini (22 September 2006) adalah hasil pengembangan nalar dari bahan bacaan saya untuk menyelesaikan disertasi, yang sekarang telah memasuki bab keempat dan kelima.
Kadang lucu juga, sebab saya membahas banyak hal dalam disertasi, tidak hanya berhubung kait dengan pemikir (Izutsu, Gadamer, Ullmann, Leisi, Ricoeur, Khalid al-Akk, Al-Suyuti, Nasr Abu Zayd, Fazlur Rahman dan lain-lain) tetapi juga tempat (Jepang, Jerman, Timur Tengah dan Eropa dan lain-lain). Sementara saya belum pernah bertemu dengan para pemikir tersebut dan bahkan belum pernah menginjakkan kaki ke negara yang saya sebenarnya harus kunjungi untuk mendapatkan 'data' dan merasakan 'atmosfir' intelektualnya.
Kajian hermeneutik mengandaikan bahwa saya dituntut untuk menerokai banyak horizon (wawasan, atau dalam bahasa Malaysia 'ufuk'). Sayangnya, saya masih dibatasi pada 'dunia teks' (text world), belum memasuki secara nyata 'dunia realitas' (reality world), sehingga sangat susah untuk meraih pandangan dunia (weltanschauung) pemikiran yang saya telaah.
Nah, agar saya masih bisa menjaga ritme dan irama dalam penulisan, maka saya berusaha untuk mengusung kerja disertasi ke dalam suasana yang lebih populer (Surat Kabar) dan perbincangan di milis (dalam menulis komentar acapkali saya dituntun oleh pendekatan hermeneutik). Ya, hermeneutik membuat saya 'melek' (literate) terhadap realitas masa lalu, sekarang dan yang akan datang. Apapun bentuknya.
Mau baca tulisan saya? Tapi, lebih dari itu saya akan menyatakan terima kasih yang dalam jika Anda juga memberikan komentar. Terima kasih. http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=265601&kat_id=16
atau di sini
Jumat, 22 September 2006
Mungkinkah Belajar Islam dari Jepang?
Oleh :
Ahmad Sahidah Kandidat
Doktor Kajian Peradaban Islam Universitas Sains Malaysia
Tidak hanya dikenal sebagai bangsa yang cakap dan rajin bekerja, Jepang juga luwes menerima peradaban dan kebudayaan lain. Dengan menyerap budaya Cina pada masa sebelum modern juga mengadaptasi kemajuan Barat dalam bidang teknologi, Jepang menjadi sebuah negara industri terkemuka. Bahkan, kedudukan ini diraih tak lama setelah kehancuran luar biasa dalam Perang Dunia II.
Namun, keberhasilan tersebut tidak membuat para intelektual mereka berpuas hati. Eiji Uehero dalam bukunya Practical Ethics for Our Time (1998: 169) mempersoalkan kembali kemajuan yang diraih oleh bangsanya. Ironisnya, kemajuan ini telah membuat mereka mengabaikan nasib kemanusiaan yang lebih luas. Dia juga merasa kesal mengapa Jepang lebih dikenal sebagai negara berteknologi tinggi dibandingkan pemikiran serta kebudayaannya.
Kesadaran ini sebenarnya telah dirasakan oleh bangsa Jepang. Hal ini dapat dilihat dengan adanya usaha membangun pemikiran dan kebudayaan serta interaksinya dengan Islam. Sebenarnya, upaya ini tidak bisa dilepaskan dari kepentingan bahwa banyak negara Islam sebagai produsen minyak yang menjadi keperluan dasar industri mereka.
Islam di Jepang
Orang Jepang mempelajari Islam sebagai sebagian dari sebuah pemikiran Barat. Pada 1877, sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang dan Islam mendapat tempat di kalangan intelektual. Kontak dengan Islam juga dilakukan tahun 1890-an ketika kesultanan Turki Utsmaniyah mengirim armada ke Jepang untuk sebuah misi persahabatan. Pengiriman ini telah meningkatkan hubungan antara kedua negara.
Di samping itu, sepanjang Perang Dunia II 'kehadiran Islam sangat kuat', terutama setelah pemerintahan militer Jepang membentuk organisasi dan pusat penyelidikan Islam untuk menaklukkan negara-negara jajahan yang sebahagian besar Muslim di Asia Tenggara. Sikap persuasif mereka telah menarik perhatian para tokoh di negeri ini untuk bersama-sama memerangi Barat.
Organisasi Islam pertama yang didirikan adalah The Japan Muslim Association pada tahun 1952. Tujuannya adalah untuk menyebarkan Islam di Jepang. Dakwah Islam bertambah semarak setelah perang kemerdekaan melalui hubungan pertukaran diplomatik, ekonomi dan kebudayaan. Diperkirakan di seluruh Jepang kini terdapat 50 Islamic center dengan pusat aktivitas dakwah bertempat di Tokyo.
Selain pembangunan masjid sebagai pusat aktivitas ibadah dan sosial, tugas penerjemahan Alquran juga mempunyai sejarah yang panjang. Antara tahun 1920-1970 terdapat lima terjemahan Kitab Suci ini ke dalam bahasa Jepang. Menurut Abu Bakar Morimoto, terjemahan pertama diterbitkan pada tahun 1920 dalam dua jilid yang dilakukan oleh Keuiche Sakamoto, seorang sarjana non-Muslim dari Universitas Tokyo.
Akhirnya pada tahun 1957, Alquran diterjemahkan secara langsung dari bahasa Arab oleh Toshihiko Izutsu, seorang sarjana keislaman yang fasih berbahasa Arab baik denganlisan mahupun tulisan. Selain itu, beliau juga banyak menulis karya-karya lain berkaitan dengan isu keislaman, seperti God and Man in the Qur'an: Semantics of Qur'anic Weltanschauung, Ethico-Religious Concepts in the Qur'an, dan The Concept of Belief in Islamic Theology. Ketiga buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Tiara Wacana.
Pengaruh Izutsu boleh dilihat dalam pandangan salah satu sarjana Muslim Asia Tenggara, Wan Mohammad Nor Wan Daud. Dengan merujuk kepada Izutsu, beliau mempertimbangkan bahwa perbezaan mazhab hukum Islam dan teologi bersumber pada perbedaan metode dalam menafsirkan Alquran dan hadis. Oleh karena itu, cara penafsir klasik menggunakan analisis gramatikal dan filologi dipandang tidak cukup karena tidak bisa mendapatkan penjelasan yang menyeluruh.
Sarjana Jepang lain yang cemerlang adalah Sachiko Murata, yang menulis The Tao of Islam: A Sourcebook on Gender Relationship in Islamic Thought. Buku ini mencoba menguraikan pemikiran Islam tentang hakikat hubungan Tuhan dan alam semesta, alam semesta dan manusia, serta manusia dan Tuhan.
Sedangkan sarjana Indonesianis adalah Hiroko Horikoshi yang telah mempengaruhi banyak pengkaji Islam di Asia Tenggara. Hasil penyelidikannya tentang peran ulama dalam melakukan perubahan dalam masyarakat Jawa Barat, yang bahkan juga dijadikan rujukan para penulis Barat.
Pelajaran
Lazimnya, para mahasiswa di Asia Tenggara ini belajar Islam di Mesir, Arab Saudi, Irak dan Iran. Namun seiring berjalannya waktu, keberhasilan Barat mengembangkan pengkajian Islam mendorong banyak mahasiswa yang melanjutkan PhD-nya ke Amerika, Inggris, Belanda, dan Jerman.
Sebenarnya, intelektual Asia Tenggara telah mempunyai tradisi penulisan tentang keislaman pada zaman kesultanan dulu --seperti Syed Husain Jamaluddin Al Qubra dan Hamzah Fansuri. Tetapi, sekarang para sarjana Muslim di negeri ini lebih banyak memproduksi ulang karya-karya Muslim klasik atau modern. Meskipun ada beberapa karya orisinal intelektual terkemuka yang mempunyai pengaruh dunia luas, seperti Prolegomena to the Metaphysic of Islam oleh Syed Muhammad Naquib Al Attas.
Dibandingkan dengan Jepang, sejarah Asia Tenggara mempunyai tradisi pemikiran keislaman yang lebih panjang. Islam masuk ke Asia tenggara jauh mendahului daripada masuknya Islam ke Jepang, namun sekarang kajian keislaman di Jepang telah memasuki kancah yang lebih luas. Para sarjananya telah melanglang buana ke seluruh dunia untuk mengkaji agama Islam. Menariknya, karya mereka justru menjadi perantara masuknya pemikiran Islam ke Indonesia.
[Sumber: Republika, 22/9/06]
No comments:
Post a Comment