Saturday, December 02, 2006

Malam seperti kemarin

Malam ini sendiri di kamar adalah seperti kemarin, di depan komputer menjelajahi dunia yang tak berujung. Kadang berhenti sejenak di satu 'tempat', lalu pergi lagi mencari sesuatu yang 'mengganjal' di hati. Untuk menyangga badan yang 'lelah' saya memasak air untuk menyeduh 'minuman', milo dan teh 'general'. Rasanya aneh, sebab tak pernah di warung pelanggan memesan jenis campuran semacam ini. Tapi, saya merasa melakukan eksperimen baru yang membuat nyaman lidah.

Kadang, saya melakukan banyak hal di meja untuk mendapatkan ragam 'pengetahuan', dari membaca [sekarang Mohammad Arkoun, The Unthought in Contemporary Islamic Thought], menengok kabar 'terakhir' di detik, memeriksa email, mengoreksi artikel, menyapa teman di YM dan tentu saja mendengarkan musik. Tidak bisa dibayangkan bahwa dari kamar lantai 10 saya bisa mengepakkan sayap mengelilingi 'dunia'. Saya tak perlu melangkahkan kaki bersilaturrahmi dengan Pak Ardi dan berbagi lagu 'Jablai' Titi Kamal. Dari sini, perbincangan mengalir.

Bermula,

ahmadsahidah: Di mana Pak?
razan_dad: Di bilik
razan_dad: kurang sehat nih
ahmadsahidah: Mungkin perlu lagu Titi Kamal
razan_dad: punya mp3 nya?
razan_dad: Thanks
razan_dad: Kocak juga lagunya
razan_dad: Ayo pulang sana
ahmadsahidah: He..he..
razan_dad: ntar ada yg jadi jablai
ahmadsahidah: Saya juga 'ngeh' ama lagu ini
ahmadsahidah: Suaranya nggak bagus kan si Titi Kamal?
razan_dad: Iya, pas-pasan
ahmadsahidah: Tapi, kok ya pas?
ahmadsahidah: Pas lucunya, lugunya, dan nggak masuk akalnya
ahmadsahidah: masak suami nyasar ditanggapi ringan
razan_dad: Ya itu dia kocaknya
razan_dad: 'Emang enak'
ahmadsahidah: He..he..saya ketawa pas bilang, "Emang enak?"

Percakapan ringan di atas mungkin tak perlu melibatkan analisis linguistik atawa pendekatan hermeneutik untuk memahaminya. Saya hanya ingin 'menghibur' teman yang sedang tak enak badan, dan mungkin 'lagu' bisa meringankan beban.

Saya masih percaya bahwa musik bisa melakukan apa saja untuk kita. Ia bisa mengantarkan 'imaji' pada alam yang tak terkatakan, melambungkan harapan yang mulai hilang, menguatkan hati yang sedang dirundung gundah yang anehnya kadang tak tahu sebabnya, dan tentu saja ia menciptakan suasana romantik. Bukankah lagu latar dalam sebuah filem makin mempercantik 'adegan'? menambah efek dramatik? dan bahkan tampak hidup?

Sayangnya, tetangga kamar dan juga teman baik yang lain tak menyukai musik. Katanya ia adalah tradisi luar, yang menjauhkan kita dari Tuhan. Kami berdebat lama untuk mempertahankan keyakinannya masing-masing. Baginya, ia adalah 'racun'. Sedangkan, bagi saya ia adalah 'alat', bukan tujuan, untuk membuat hati ini mengingat eksistensi sejati. Agak susah meyakinkan dia bahwa ketika saya mendengar lagu Ilir-Ilir ciptaan Sunan Bonang yang dibawakan oleh Kiai Kanjeng Cak Nun mata ini tiba-tiba sebak dan degup jantung lebih cepat dari biasa. Isi dan bunyi gamelan telah menggasak kesadaran akan seluruh semesta. Lamat-lamat muncul bayangan masa kecil, remaja, dewasa dan masa depan, berkelebat singkat. Sepersekian detik, jiwa ini melanting ke langit.

No comments:

Majemuk

Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...