Monday, February 19, 2007

Membaca Alam

Dua hari ini, saya diliputi perasaan senang alang kepalang. Ini karena hujan mau menyapa bumi Minden yang meranggas karena kemarau. Semalam, duduk sendirian di warung nasi saya melihat gerimis berpendaran disorot lampu jalan. Semangkok sup sayur membantu hangatkan badan yang menelusup hingga ke tulang. Hawa dingin tak lagi memerangkap tubuh.

Ingin rasanya, air di langit tumpah ruah agar bumi benar-benar bermandi air kehidupan. Tapi, sayang, di pulau kecil kita bisa menghitung hujan lebat dengan jari, apalagi ia disertai angin kencang dan guruh membelah angkasa. Dari lantai 9, saya melihat pucuk rumput tampak hijau di sela-sela warna coklat sisa panas kemarin. Mata betah melihatnya, setelah terpancang ke layar komputer seharian. Bukit dirimbuni kehijauan, diam tak bergerak. Angin sedang bersembunyi.

Sambil membaca Islam and The Malay-Indonesian Worldnya Peter G Riddell, saya mendengarkan IKLIM teriak-teriak lewat walkman, yang disambungkan ke pengeras suara (speaker). Lagu-lagunya membuat saya nyaman. Mungkin, kenangan dulu berkelebat samar-samar. Apalagi teh panas menambah adrenalin untuk terus asyik dengan dunia kata. Oh ya, walkman saya ini sebenarnya udah rusak. Tapi, kemarin iseng-iseng saya melihatnya kembali (karena membaca di sebuah blog bahwa alat ini udah out of date), wow, tanda reset muncul. Lalu, saya coba dan berhasil. Serta merta saya memutar lagu KLA terbaik.

Bagi saya, membaca buku tidak sekedar keperluaan sekolah, tapi lebih jauh kebutuhan kehidupan. Ia memberikan peta tempat kita menghirup udara. Seperti buku di atas yang menguraikan dua dunia Islam yakni Malaysia dan Indonesia sejak abad ke-17 hingga sekarang. Bagaimana kitab suci dibaca oleh para sarjana dan kaitannya dengan keragaman pembacaannya. Jika, akhirnya mereka mempunyai pelbagai tafsir, ini bukan soal baru. Sejak masa sahabat Nabi, generasi pertama penerus Islam, ragam pembacaan terhadap al-Qur’an telah muncul.

***

Malam ini, langit gelap dan gerimis menghalangi kaki untuk ke warung. Makan nasi diganti dengan mie. Kalau masih belum cukup, saya bisa mengunyah roti agar tidak kelaparan. Dingin kadang membuat kita butuh energi lebih banyak.

Meskipun seharian di kamar, kecuali hanya untuk beli makan di belakang kampus, saya merasa hidup ini lapang. Dengan telepon genggam di tangah, jemari ini bisa menyapa Bunda di Jogja. Di meja, mata ini menjelajah berita tentang nusantara. Malangnya, kota saya dilanda angin puting-beliung yang menghantam rumah-rumah. Walaupun tidak luluh-lantak, tapi ia telah membuat sebagian penghuninya mengungsi.

Rumah saya di Jogja jauh dari jangkauan angin yang sedang marah ini. Saya tak tahu, mengapa kota kami selalu ditimpa bencana? Tuhan, beri kami jawab agar kami tidak menaruh dendam kepadaMu.

No comments:

Puasa [17]

  Berhenti sejenak untuk membaca koran Jawa Pos , saya tetiba merasa lungkrah. Satpam kampus memutar lagu jiwang, pas Iklim dengan Hanya Sua...