Tuesday, July 10, 2007

Judul: Ajaran Sesat Mengenali Jalan yang Terpesong
Pengarang: Engku Ahmad Zaki Engku Alwi
Penerbit: PTS Publications & Distributors Sdn Bhd
Cetakan: I, 2007
Tebal: vii+239

Ajaran ‘Sesat’ menurut Negeri Jiran

Acapkali ketika Indonesia dan Malaysia beradu mulut, pemerintah dan warga kedua negara berusaha untuk meredamnya dengan memunculkan ‘hujah’ bahwa kita adalah satu rumpun, bahasa dan yang ‘unik’ adalah kesamaan agama (baca: Islam). Pernyataan yang terakhir ini menjadi problematik karena relasi Islam dan Negara di kedua negara sangat berbeda. Paling mudah, kita bisa melihat kedudukan agama di dalam masing-masing dasar negara dan konstitusi. Negeri Jiran menempatkan kedudukan Islam sebagai agama resmi dengan segala implikasinya, sementara Indonesia tidak. Pendek kata, konstitusi Malaysia secara tidak langsung memberikan kedudukan istimewa kepada agama Islam dibandingkan agama lain.

OLEH: AHMAD SAHIDAH

Kehadiran buku ini adalah sangat penting untuk menerokai secara mendalam pandangan intelektual Muslim negeri Jiran dalam menggagas kedudukan Islam di dalam negara yang beragam etnik dan agama. Sebagai guru besar dalam bidang kajian Islam kontemporer, Ahmad Zaki Engku Alwi boleh, dikatakan mempunyai otoritas dan sekaligus bisa dijadikan ‘wakil’ untuk mengenal bagaimana para sarjana Muslim tanah Melayu memandang agama dan hubunganya dengan negara dan komunitas agama yang berbeda.

Karya ini dimulai dengan sebuah uraian tentang Islam di Malaysia. Sesuai dengan konstitusi Malaysia, Islam menempati kedudukan utama dan namun demikian sejalan dengan Ayat 3 Pasal 2, agama-agama lain boleh dipraktikkan. Bahkan, penegasan ayat 11 bahwa Islam dilindungi dari segala pengaruh agama atau doktrin lain benar-benar menjadi legitimasi terhadap keistimewaan tersebut. Belum lagi, kesetiaan kepada raja – sebagai pelindung agama Islam – menempati posisi kedua di dalam lima dasar negara Malaysia setelah kepercayaan pada Tuhan.

Meskipun tidak dinyatakan secara resmi, masyarakat Islam di Malaysia – sebagaimana di Indonesia – menganut teologi ahlussunah waljamaah, dan hukum (fikih) Imam Syafi’i. Homogenitas kedua mazhab ini telah mengantarkan kedudukan Sunni di Malaysia tak tertandingi dan sekaligus keberadaan ulama yang didukung ‘pemerintah’ telah memberikan kekuasaan yang sangat besar untuk menegakkan ‘kebenaran.’ Melalui institusi seperti JAKIM (Jabatan Kemajuan Islam Malaysia) para pengawal agama ini mengeluarkan fatwa, termasuk menyatakan ‘sesat’ pada pemahaman keagamaan yang berbeda dengan arus utama.

Melalui beberapa bab, yang meliputi definisi, sejarah, perspektif al-Qur’an dan Hadits, kategori, dan implikasi dari ajaran sesat, pembaca akan sepenuhnya memahami cara berpikir dan sudut pandang dari penulis dalam meneguhkan batas-batas ‘ajaran sesat’. Setelah melihat semua ini, penulis buku ini memandang penting disiplin kajian Ajaran Sesat yang dijadikan mata kuliah di perguruan tinggi. Indoktrinisasi mazhab resmi negara secara efektif telah membentuk pemahaman keagamaan mahasiswa dan menutup pintu bagi ‘mazhab’ alternatif.

Selain itu, tindakan hukum menjadi penting karena dianggap sebagai cara untuk mencegah meluasnya penyebaran ajaran sesat. Di sinilah biasanya penafsiran lebih kental karena hukum yang ada tidak secara ketat menegaskan kriteria dari ajaran sesat. Bahkan, kedudukan negara Malaysia yang ‘tidak jelas’, yaitu bukan negara Islam, seperti ditegaskan oleh Perdana Menteri pertama Tunku Abdul Rahman, serta tidak diwujudkan penerapan undang-undang syari’ah secara keseluruhan menyebabkannya pada posisi dilematik.

Istilah sesat itu sendiri digunakan untuk perilaku penyelewengan akidah (iman) yang menyimpang dari ketetapan al-Qur’an dan Sunnah. Istilah ini lazim digunakan pihak pemerintah dan media mainstream. Istilah lain yang juga acapkali disematkan pada golongan menyimpang ini adalah ajarah salah dan pencemaran akidah. Untuk mengokohkan keberadaan realitas ini, penulis mengungkapkan bahwa fenomena ajaran sesat itu juga bisa ditemukan di negara bukan Islam, seperti Amerika, Inggeris, Jepang dan China. Uniknya, ajaran sesat yang dipahami oleh penulis ini disepadankan dengan new religious movement yang marak di negara Barat sebagai bentuk ‘protes’ terhadap agama mapan.

JAKIM sebagai lembaga yang mempunyai otoritas untuk menentukan sesat dan tidaknya sebuah praktik keagamaan telah menetapkan tiga kategori utama, yaitu berupa bentuk ajaran baru, bentuk ajaran tarikat (tasawuf) dan ajaran melalui kepercayaan dan praktik tradisi yang berhubungan dengan dunia mistik dan kebudayaan. Tentu saja, beberapa adat yang diadopsi oleh dunia Melayu secara tidak langsung menyerap budaya Hindu yang lebih dulu mengakar di dalam masyarakat. Bahkan, praktik kerajaan Melayu Islam juga mengambil tata cara dan sistem kerajaan Hindu untuk mengukuhkan kedudukan raja di dalam hierarki masyarakat.

Bagian paling penting dari buku ini adalah bab kelima yang bertajuk ‘Ajaran Sesat daripada Perspektif al-Qur’an’. Sayangnya, uraian tentang kajian al-Qur’an lebih menekankan pada seleksi terhadap tafsir para ulama berkaitan dengan pemahaman terhadap pengertian sesat di dalam kitab suci. Strategi pembacaan atomistik, bukan komprehensif, dari pesan al-Qur’an terhadap kata kunci seperti dalla, ghawa, atala dan zagha, yang semuanya bermakna sesat, telah melahirkan pemahaman kitab suci yang dangkal dan parsial. Model atomistik semacam ini tidak bisa memunculkan apa yang disebut oleh Paul Ricouer dengan la chose du texte – pesan utama kitab suci.

Tambahan lagi, buku ini juga sekaligus bisa dijadikan rujukan untuk memahami pandangan sarjana arus utama negeri Jiran terhadap Barat (hlm. 109). Bagi penulis pendidikan menjadi sangat penting bagi upaya menghalangi gerak laju ajaran sesat dan sekaligus mengelak dari sistem pendidikan liberal Barat yang lebih menekankan kepada kognisi dan mengabaikan nilai-nilai moral dan agama.

Pengaruh lain yang dirasakan mengancam kebudayaan lokal adalah penetrasi budaya Barat dan sekulerisasi dalam praktik kehidupan masyarakat. Bagi penulis, keyakinan sekuler adalah sesat karena agama dipandang terlalu suci sehingga tidak bisa disandingkan dengan urusan duniawi, seperti sosial, politik dan ekonomi (hlm. 120). Tidak itu saja, secara terang benderang, penulis mencatat bahwa akidah umat Islam harus diselamatkan dari ancaman (garis miring dari peresensi) filsafat Yunani, pengaruh Hindu-Buddha dan animisme. Menurut saya, ini adalah sebuah pernyataan yang gegabah dan tidak berdasar. Karena pada kenyataannya, kebanyakan para ulama dan sarjana Muslim di sana ‘mempertahankan’ sistem kesultanan dalam praktik kenegaraan yang justeru dipengaruhi oleh tradisi Hindu dan tradisi Persia, bukan Islam.

Sebagai tambahan informasi, buku ini melampirkan daftar ajaran sesat yang telah dikeluarkan oleh pejabat berwenang. Di sini kita akan menemukan sejarah, aktivitas dan alasan ‘mengapa’ perkumpulkan ini dinyatakan ‘haram’ oleh pemerintah. Anehnya, ajaran Syiah dikategorikan sebagai sesat. Meskipun ini bisa diterima karena sudut pandangnya adalah pemahaman Sunni, tetapi argumentasi yang diungkapkan sejatinya termasuk wilayah ‘khilafiah’ atau perbedaan pendapat di kalangan sarjana Muslim.

Sebuah kritik

JAKIM sebagai kantor urusan agama yang berada di bawah koordinasi Perdana Menteri telah berperan sebagai pengawal agama yang menetapkan ajaran resmi dan mempunyai kekuasaan untuk menilai kebenaran. Keberadaan lembaga ini adalah sebuah ironi karena Abdullah Badawi dikenal sebagai sosok yang mengusung ‘pemikiran keislaman progresif’. Tidak itu saja, atas dasar ‘saran’ dari JAKIM kementerian Dalam Negeri juga mempunyai kekuasaan untuk melarang buku-buku, yang justeru berlawanan dengan model Islam Hadari yang diusung oleh Pak Lah – panggilan akrab PM Malaysia, yang menganut pandangan moderat. Sementara Kementerian Luar Negeri mengundang Karen Amstrong untuk memberikan ceramah dalam satu konperensi internasional di KL baru-baru ini, celakanya buku yang ditulis oleh sarjana Amerika yang bertajuk the History of God ini dilarang oleh Departemen Dalam Negeri bersama 37 buku lain yang dianggap ‘sesat’.

Konsep Islam Hadari Pak Lah yang merupakan pandangan resmi ‘pemerintah’ telah memilih pandangan Islam yang sederhana (bahasa Malaysia untuk moderat), namun banyak ‘tindakan’ dan ‘pernyataan’ resmi pemerintah yang dikeluarkan oleh ‘aparatusnya’ mengekalkan pandangan konservatif yang menghalangi ‘pentafsiran’ ulang terhadap pemahaman keagamaan karena mendasarkan diri pada pemikiran keagamaan literal atau harfiah. Boleh dikatakan pemikiran progresif Islam lebih ditonjolkan untuk kepentingan menjaga sikap ‘moderat’ Malaysia di kancah internasional dan sikap ‘tertutup’ untuk menjinakkan‘puak’ Melayu Muslim sebagai aset politik elit.

Akhirnya, dengan membaca buku ini, kita akan memperoleh sebuah representasi pemikiran keislaman yang secara resmi dan jamak dipegangi oleh masyarakat Islam Malaysia. Namun demikian, ada juga ‘kelompok’ kritis – yang disuarakan oleh Chandra Muzaffar, Farish Noor, Zainah Anwar, Kassim Ahmad - yang mencoba untuk menandingi pandangan mereka melalui buku, diskusi dan seminar. Meskipun komunitas yang terakhir ini terbatas ruang geraknya.

Biasanya pemikir progresif inilah yang acapkali dilibatkan dalam fora internasional mengenai ‘pandangan’ Malaysia mengenai kedudukan agama dan negara, bukan penulis buku ini dan sarjana lain yang mempunyai pemahaman yang sama, yang justeru dengan keras menolak sekulerisme, liberalisme dan pluralisme di dalam negeri. Ya, inilah potret dua wajah Negeri Jiran dalam memosisikan dirinya sebagai negara yang mencanangkan sebagai negara maju pada tahun 2020.

Ahmad Sahidah,
Kandidat Doktor Kajian Peradaban Islam Universitas Sains Malaysia

No comments:

Syawal Kesebelas

Kemarin kami menghadiri halal bihalal pondok di aula 1. Acara ini dihadiri pengasuh, kepala pesantren, forkompimda, dan warga Nurul Jadid.  ...