Wednesday, July 18, 2007

Pesona Belajar Islam di Malaysia

Dalam satu waktu, saya pernah berbincang dengan Pak Pujiharto tentang kelebihan belajar di Negeri Jiran ini. Untuk jurusan beliau, pengurusan (manejemen), dirasakan keseriusan fakultas tempat beliau belajar untuk menjadi arena penyemaian intelektual yang baik. Selain itu, ia juga didukung oleh sarana dan pencitraan serta pemasaran yang

Sementara, sebagai mahasiswa PhD bidang Peradaban Islam, tentu saja saya juga menemukan atmosfir yang baik di sini utnuk menerokai kajian keislaman. Nah, tulisan saya di Jawa Pos hari ini (Rabu, 18 Juli 2007) adalah salah satu buah pikiran untuk melihat kembali mengapa Pendidikan Islam di tingkat perguruan tinggi di sini lebih dikenal di luar negeri dibandingkan di Indonesia, yang mempunyai tradisi kesarjanaan lebih tua dan terbuka.

Semoga, ini bisa menjadi renungan bersama.

Ahmad Sahidah
Anggota PPI USM

Rabu, 18 Juli 2007,
Pesona Belajar Islam dari Malaysia

Oleh Ahmad Sahidah

Tajuk ini mengandaikan kemungkinan belajar tentang Islam sekaligus bagaimana gerakan keagamaan di negeri jiran ini mengayomi pemeluknya. Mungkin, pilihan belajar Islam tingkat lanjut di tanah Melayu itu tidak akan menjadi pilihan utama mahasiswa di Indonesia. Atau, bahkan kita tak perlu mengaca bagaimana pegiat keagamaan di sana berkiprah untuk memajukan idealisme keislamannya?

Sebenarnya, intelektualisme Islam telah lama berkembang di Nusantara yang berawal dari Aceh. Gerakan kesarjanaan itu juga ditopang tumbuhnya pelbagai organisasi kemasyarakatan. Pendek kata, bangsa Indonesia mempunyai pengalaman panjang dalam dunia intelektualisme Islam dan beragam perkumpulan. Tidak boleh dinafikan, keberhasilan tersebut juga turut memengaruhi dan mewarnai perkembangan "pemikiran" dan organisasi Islam di Malaysia.

Lalu, mengapa sekarang kita harus menengok kesuksesan negeri jiran itu mengelola pendidikan Islam dan kelompok keagamaannya?Organisasi KeagamaanPemerintah negeri jiran yang menegaskan Islam sebagai agama resmi negara membuat peruntukan anggaran untuk kegiatan keagamaan. Tak jauh berbeda dengan kita, pemerintah menggelontorkan uang untuk Departemen Agama. Tambahan lagi, kedua negara ini juga mempunyai organisasi keagamaan partikelir yang digerakkan pelbagai aliran.

Sayang, secara umum, organisasi keagamaan di Indonesia tidak berhasil mengelola kegiatan ekonomi yang bisa mendukung aktivitas keagamaan secara mandiri. Bahkan, sebuah ormas keagamaan modern, Muhammadiyah, di sini juga gagal melejitkan kehidupan ekonomi warganya, meskipun beranggota para profesional dan sarjana.

Ketika saya mengikuti salah satu acara Rufaqa, Metamorfosis Darul Arqam, Dr Abdurrahman Effendi asal Indonesia menceritakan bahwa modal dari kegiatan ekonomi mereka adalah Allah, sementara puluhan peserta dari NU, salah satu ormas Islam terbesar Indonesia, tak "memerlukan" Tuhan, hanya perlu uang Rp 200 juta untuk membuka outlet ketika mengikuti sebuah pelatihan yang diselenggarakan al-Arqam.

Padahal, kata Effendi, seandainya seluruh anggota dari cabang salah satu organisasi tersebut meminta anggotanya untuk berhenti merokok dan menyisihkan uangnya, niscaya terkumpul dana yang cukup besar untuk memulai usaha dan menggerakkan roda ekonomi anggotanya. Tetapi, siapakah yang sanggup melakukannya?

Sayang, kita lebih banyak berdebat tentang keotentikan ajaran keagamaan. Agama telah dikebiri menjadi urusan ibadah oleh kaum tradisional, sementara kelompok liberalnya lebih suka memperbincangkan substansi Islam dan menafikan kaitan Islam dengan kehidupan yang lebih luas, seperti ekonomi. Sebagian pemuka agama lebih asyik dengan bermain "politik".
Kajian Islam di Perguruan Tinggi

Pemikiran Islam boleh dikatakan berpusat di ISTAC UIAM, UKM, UM, dan USM. Tentu saja, lembaga yang layak mendapatkan perhatian adalah ISTAC. Di bawah pengayoman Prof Naquib al-Attas, para mahasiswanya dikenal sebagai kelompok terdepan membela "keotentikan" Islam dari rongrongan hegemoni intelektual Barat. Hampir secara keseluruhan, para sarjana di tanah Melayu itu berada di bawah bayang-bayang kebesaran Naquib.

Sebuah motto ISTAC, A unique opportunity to study with Muslim Scholars form around the World, adalah pertanda ikhtiar untuk memosisikan dirinya sebagai pusat pembelajaran di tingkat internasional. Jargon itu bukan untuk gagah-gagahan, tapi didukung para dosen yang didatangkan dari seluruh dunia Islam dan tentu saja ditopang perpustakaan yang bisa dikatakan salah satu terbaik di dunia.Selain itu, promosi yang gencar di sejumlah negara Asia, Afrika, dan Arab serta kemampuan stafnya dalam bahasa Inggris memungkinkan masuknya (enrollment) mahasiswa asing makin besar. Apalagi banyak calon mahasiswa dari Arab yang kesulitan belajar di Amerika dan Eropa setelah peristiwa 9/11. Dengan demikian, mereka memilih Malaysia karena dianggap sebagai salah satu negara yang mempunyai citra baik dalam dunia pendidikan.

Selain itu, birokrasi yang efisien, fasilitas yang memadai, dan perpustakaan yang nyaman adalah upaya nyata agar citra yang ingin dibangun makin menjulang. Tidak aneh, teman saya dari Iran, Mohsin J. Bagjiran, menulis disertasi tentang pemikiran Rumi di Universitas Sains Malaysia. Padahal, kultur Rumi adalah negara Persia, tempat Mohsin lahir dan tumbuh besar.

Padahal, seyogianya dia bisa menyelesaikan PhD-nya di negaranya. Jika dia memilih negeri jiran, itu disebabkan pemasaran yang progresif dari departemen pendidikan di sana ke sejumlah negara-negara Islam.

Pesona pemikiran keislaman di Malaysia juga disemburatkan oleh kegigihan para sarjananya dalam berkiprah di dunia intelektual. Sekadar menyebut contoh adalah Naguib-al-Attas dan Candra Muzaffar yang dikenal di dunia Internasional. Selain didukung kemampuan orasinya dalam bahasa Inggris, mereka menulis karya tentang Islam dalam bahasa itu. Bahkan, ketika Ziauddin Sardar menulis karya cemerlangnya bertajuk Islamic Futures, The Shape of Ideas to Come, dia merujuk kepada gagasan dua sarjana itu. Secara tersirat, sarjana futurology tersebut meletakkan "masa depan" pemikiran Islam di pundak sarjana negeri jiran itu.

Kita bukan tidak memiliki sarjana jebolan luar negeri yang pintar dan menulis dalam bahasa Inggris. Tetapi, prestasi itu belum mengatasi kemasyhuran karya-karya Naquib yang telah diterjemahkan ke lebih 20 bahasa di dunia. Lagi-lagi, dia membawa nama Malaysia, meskipun penggagas islamisasi pengetahuan itu lahir di Bogor.

Bahkan, kalau saya perhatikan, diskursus keilmuan Islam di Indonesia lebih marak dan beragam dibandingkan dengan tanah Melayu yang masih banyak diwarnai pemahaman ortodoksi. Tetapi, itu tidak cukup untuk membuat negeri kita diperhitungkan jika tidak dibarengi perbaikan administrasi dan strategi pemasaran, sebagaimana dilakukan Malaysia.

Ahmas Sahidah, kandidat doktor Kajian Peradaban Islam di Universitas Sains Malaysia

No comments:

Majemuk

Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...