Kemarin, Shaik Mydin, kawan PhD dan sekaligus dosen Peradaban Islam USM, mengundang saya untuk diskusi di Restoran (warung makan) Zubaidah dalam kampus. Jam 8.30, katanya. Saya pun menyanggupinya. Agar tidak lupa, saya bahkan menulis dengan spidol besar di papan meja belajar. Kami akan membahas disertasi yang kebetulan sama-sama berada di bawah bimbingan Prof Madya Dr Zailan Moris, murid Seyyed Hossein Nasr ketika belajar di Universitas Washington, Amerika.
Jam 8.17, kawan baik ini menelepon, tapi sayangnya karena saya masih di atas motor, tak sempat menjawabnya. Lalu, saya mengirim pesan kalau baru sampai di Dewan Budaya, sebelah warung makan. Di sana, dia telah menunggu di depan pintu dan kemudian menyambut saya dengan senyum mengembang. Saya memesan nescafe panas dan mengambil dua kue tosa, semacam kroket. Kami berdua berbicara banyak tentang apa sebetulnya tugas kita sebagai seorang muslim? Katanya, kita gagal menangkap semangat dari pesan Nabi dan mengambil begitu saja arti harfiah dari sabdanya. Satu pernyataan yang jarang saya dengar di masjid, ceramah dan koran di sini.
Setelah sarapan, kami pun beranjak ke ruangan dosen Pusat Pengajian Jarak Jauh tempat beliau mengajar. Di sana pun, kami berdiskusi tentang tesis yang dia telah rampungkan berkaitan dengan penghayatan keagamaan siswa SMKA (Sekolah Menengah Keagamaan Agama) di Pulau Pinang. Dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif, beliau ingin mengetahui hambatan (dalam bahasa disertasinya penghalang) siswa menghayati agama. Salah satu temuannya adalah media, setan (syaitan) dan lingkungan.
Namun, saya mempertanyakan alasan kedua, setan yang dijadikan kambing hitam oleh para siswa. Memang, kemudian dia membenarkan alasan ini dengan menggunkan pendapat para sarjana Muslim, seperti Ibn al-Qayyim dan Yusuf al-Qaradhawi bahwa setan menghalangi manusia untuk beribadah. Tapi, saya katakan, alasan ini adalah helah yang kemudian dia sebut self-denial. Sebab, setan itu sendiri bisa berarti manusia itu sendiri. Dengan menyalahkan 'orang' lain di luar dirinya, para siswa telah diajarkan untuk tidak belajar menjadi manusia yang mandiri dan saya tambahkan, mungkin anggapan ini berasal dari pendidikan sejak kecil, di mana orang tua selalu menyalahkan setan dalam sebuah tindakah salah yang dilakukan anaknya.
Akhirnya, kami pun berpisah karena dia ingin mengurus penyertaan dalam seminar internasional di kampus. Kami pun masih melanjutkan diskusi sepanjang perjalanan menuju tempat masing-masing.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Majemuk
Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...
-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Semalam takbir berkumandang. Hari ini, kami bersama ibu, saudara, dan warga menunaikan salat Idulfitri di masjid Langgundhi. Setelah pelanta...
-
Saya membawa buku Philosophy for Dummies untuk coba mengenalkan anak pada filsafat. Biyya tampak bersemangat tatkala pertama kali mendapatka...
No comments:
Post a Comment