Thursday, June 19, 2008

Seri Sejarah Lisan V

Saya telah merencanakan hadir dalam acara ini satu hari sebelumnya dengan Stenly Djatah, mahasiswa PhD Filsafat. Kami berjanji untuk berangkat bareng jam 9-an dari kampus ke Taman Buku. Pada pagi harinya saya mengirimkan semacam undangan secara tersirat kepada teman-teman Indonesia untuk hadir ke acara ini.


Dengan berjalan kaki dari kampus, kami berdua berjalan ke Penerbit USM yang terletak di sebelah Pusat Bahasa. Di sana saya disambut oleh teman baik, Ainur Rahim. Malah, saya mengisi daftar hadir pada nomor pertama, termasuk juga Stenly karena dia mengisi daftar hadir yang sebelahnya. Kami pun duduk di meja tempat makan.


Tak lama kemudian, Dato' Ishak datang dengan mobil besar dan disambut oleh Prof Mohammad Salleh dan Salleh Yaapar. Kami pun masuk ke ruangan dan bersama Dr Arent Graft, dosen Sastra Bandingan dari Jerman, dan memilih deretan kursi nomor dua untuk peserta. Dua deretan kursi sofa di depannya khusus untuk petinggi atawa bangsawan. Aha, mengapa saya cemburu? Ya. Di mana-mana kita akan menemukan aturan seperti ini. Kursi kasar untuk peserta, sementara yang terbuat dari bahan lembut untuk orang penting. Masihkan kita akan berbicara kesetaraan? Belum lagi, saya harus mendengarkan ceramah panjang dari Dato'. Duh, sebuah drama yang selalu berulang.


Saya mencatat beberapa sejarah Dato' Ishak selama menjabat sebagai Naib Canselor (setingkat rektor), baik berkaitan dengan masalah akademik, pembangunan fisik, mahasiswa dan isu-isu lain yang berkaitan. Tampak, beliau yang asli kelahiran Pulau Pinang mengungkapkan kekesalannya karena politik pada masanya banyak merecoki kepemimpinannya. Sikapnya yang memegang teguh prinsip kadang berhadapan kehendak politik yang menyebalkan.


Sayangnya, memasuki sesi tanya jawab, saya menerima sms dari teman karib Melayu yang baru datang dari Indonesia. Dengan tergesa, saya pamit pada Stenly untuk pulang. Dua hal penting terlewatkan, bertanya dan makan siang gratis. Tapi, teman, bagi saya, adalah jauh lebih penting. Sayangnya, beberapa menit telepon genggamnya unreachable. Terpaksa saya membelokkan kendaraan ke Warung Jawa. Kebetulan di sana saya berjumpa dengan Aristotulus, teman baik yang lain, yang sedang makan siang dengan temannya. Lalu, saya berkenalan dengan Yunanto, mahasiswa baru asal Indonesia yang mengambil Ilmu Politik. Katanya, dia mengajar di Universitas Indonesia. Tak disangka, ternyata kenal juga dengan teman saya, Hilman Latif yang sama-sama pernah mendapatkan beasiswa Fulbright.


Selanjutnya, saya memesan es teh dan ngobrol ngalor ngidur (ke sana ke mari) tentang perkuliahan, pergerakan dan politik. Tiba-tiba, saya ditelepon En Zailani kalau kawan karib saya ini sudah sampai ke Asrama Mahasiswa Internasional. Saya kemudian mengambil es teh yang telah dipesan tadi untuk dibungkus dan sekaligus pesanan ayam pecel juga dibungkus. Dengan terburu-buru, saya pamit pulang duluan.


Sesampai di kamarnya, saya menemukan banyak oleh-oleh dari Indonesia, salak dan bika Ambon. Sambil menunggu dia ke kamar mandi, saya melihat isu Gus Dur dan Habib Rizieq (you tube). Memang betul, ketua FPI ini galak dan garang. Nadanya tak pernah rendah, selalu tinggi menyerang. Duh, beginikah Islam damai itu?

No comments:

Syawal Keduapuluhdua

Ketika mendengar lagu "Hitam", Rhoma dan Rita, saya justru ingat kampung di waktu sore yang hangat. Sawah, madrasah, SD, bola, sur...