Ibu Rosyidah, mahasiswi PhD Fakultas Farmasi, menelepon saya untuk turut serta bersama-sama para sahabatnya mengunjungi Negeri Gajah Putih. Saya pun berjanji untuk membicarakannya dengan Mas Tauran karena dia juga diminta kesedianya untuk pergi ke negara tetangga. Apalagi yang terakhir pernah menikmati sinar matahari Hat Yai, salah satu propinsi negara yang bergolak ini.
Sayangnya, pada malam hari sebelum kami berangkat ke Thailand, Mas Tauran tidak bersedia karena harus mengerjalan hal lain. Jam 3.50 pagi, saya dengan Pak Suryanto pergi ke Khaleel, setelah sebelumnya, mandi di pagi buta, menunggu jemputan teman-teman yang sedang dalam perjalanan. Akhirnya, kami pun berangkat menembus kegelapan malam dengan mobil Kijang (di Malaysia disebut Unser) dan mengisi bensin sebelumnya di POM Petronas dan merupakan perayaan pertama terhadap harga baru, dari RM 1.92 per liter menjadi RM 2.70. Pak Afrizal, doktor baru dari Indonesia, membawa sang kijang dengan kecepatan sedang.
Kami sampai di perbatasan Siam pukul 7.15 dan memarkir kendaraan dengan membayar RM 4 sehari. Betul apa yang dikatakan supir taksi bahwa antrian bisa memanjang hingga 200an orang. Jika 6 orang teman saya lolos di imigrasi, saya tidak. Petugasnya meminta saya untuk menemui pegawai di kantor, beberapa meter dari konter. Saya pun bergegas dan sang petugas bertanya jurusan yang saya ambil di USM, dan lugas menjawab, Humanities atawa Ilmu Kemanusiaan. Meskipun timbul sejuta tanya karena tidak disebutkan alasan dipanggil ke kantor, saya tak ingin membuang waktu bersitegang, saya berlari kecil menuju teman-teman.
Di pintu masuk Thailand, daerah Sadao, saya antri untuk mengecap paspor bersama teman-teman yang lain. Dibandingkan dengan imigrasi Malaysia, di sini saya tidak merasa nyaman dan yang paling menyebatkan supir mobil van yang akan membawa kami ke Hat Yai, meminta kami menyelipkan RM 1 (kira-kira Rp 2840) di dokumen agar urusannya cepat kelar. Memang, saya harus berdiri lama menunggu giliran. Sepertinya, petugas jaga bertele-tele. Padahal, dia hanya mencap paspor dan mengambil foto melalui webcam yang diletakkan pas di atas meja.
Setelah rampung, baru kami masuk kembali ke dalam van berwarna putih yang dibawa oleh supir berkebangsaan Siam, yang tidak bisa berbahasa Melayu dan Inggeris. Praktis, kami hanya menyebut tempat yang kami tuju, Hat Yai. Di sana, kami turun di pusat kota, pertokoan besar Central. Karena hari masih pagi, mall belum buka. Tepat di depan, Lee Gardens Hotel, kami berdiri dan melihat pedagang kaki lima sedang mengemas dagangannya karena jam berjualan sudah habis.
Ups, ada beberapa perempuan dengan pakaian rapi sedang membersihkan jalan masuk hotel Novotel. Tidak itu saja, mereka juga membersihkan tiang berwarna putih yang terbuat dari logam pitu. Heran, petugas kebersihan tampak bukan umumnya pekerja kasar ini. Mereka memakai celana jeans, rambut berwarna dan kelihatan bukan pekerja biasa. Adakah mereka sebenarnya pekerja hotel jaringan yang dimiliki Perancis ini? Berbeda dengan petugas kebersihan yang sedang menyapu jalan dan trotoar, terdiri dari pekerja kasar umum lainnya. Hebatnya, ada mobil tanki yang menyiram jalan dengan air dan membubuhkan detergen, kemudian para pekerja bertungkus lumus membersihkan tempat itu dengan sigap. Katanya, setiap kamis petugas kebersihan melakukan pembersihan semacam ini dan memang hasilnya tampak lebih kinclong.
Untuk tidak terlalu lama bengong di depan pusat kota, kami pun menaiki angkutan umum (tuk tuk) ke pasar. Di sana, ibu-ibu berburu tas kulit. Anehnya, tas Louis Vuitton hanya dihargai 650 bath (1 bath= Rp 300). Selain itu, ada juga tas buatan YSL. Saya hanya bengong melihat nafsu berbelanja kaum perempuan. Malah, saya dengan sebagian ibu-ibu yang lain harus menunggu seorang ibu yang masih berburu belanja di pasar yang tak jauh beda suasanaya dari Pasar Beringharjo Yogyakarta. Sebelum saya memasuki pasar, kami mampir dulu meneguk air kelapa muda, yang per buahnya seharga 20 bath. Tak beda dengan kelapa muda di kampung saya.
Setelah lengkap, kami pun baru naik angkutan umum, kendaraan Hijet yang telah dimodifikasi untuk minta di antar warung makan yang enak. Sang supir pun menggeber mobilnya menyusuri kota kecil molek itu. Sayangnya, mata kering karena selain disergap asap, lorong jalan kaki tak ditumbuhi pepohonan. Akhirnya, kami berhenti di depan restoran Haji Hamid. Di sana, kami memesan makanan khas Thailand, seperti Tomyam, daging masak merah, sup sayur, dan untuk memanaskan badan saya minta segelas teh panas (teh 0). Baru kemudian, kami menunaikan shalat di loteng restoran itu. Sambil menunggu ibu-ibu selesai, saya duduk di depan restoran sambil menikmati buku Happiness yang ditulis oleh John F Schumacker.
No comments:
Post a Comment