Saturday, June 07, 2008

Jilbab dan Islam Politik di Turki

Ahmad Sahidah

Graduate Research Assistant dan Kandidat Doktor Kajian Peradaban Islam, Universitas Sains Malaysia

Tayib Erdogan, perdana menteri Turki, meradang. Badan Yudikatif, Mahkamah Agung, makin galak dan mengancam akan membubarkan pertainya. Sang Presiden dianggap tidak becus karena mencoba membuat mahkamah tandingan. Selain itu, pemakaian jilbab di lembaga pemerintah dan perguruan tinggi dianggap telah melanggar konstitusi.

Tanda pembubaran partai berhaluan Islam ditamatkan riwayatnya makin menguat. Terutama karena desakan seterunya, kaum sekuleris. Sebenarnya ini bermula makin terpojok dan tak populernya tentara dan partai sekuler. Kemenangan partai koalisi pemerintah sebanyak 403 dibandingkan 130 yang menentang usulan pencabutan larangan berjilbab melapangkan jalan bagi Muslimah memasuki universitas.

Sebelumnya mereka menanggalkannya untuk menaati undang-undang agar bisa melanjutkan pendidikan. Bahkan, kata profesor saya, Dr Zailan Moris, seorang nenek pun harus melepaskan jilbab jika ingin memasuki sebuah universitas. Satpam kampus memaksa sang nenek meskipun yang terakhir bersikeras untuk tetap memakainya. Jelas-jelas ini menunjukkan sebuah potret fundamentalisme sekuler.

Kalau merujuk pada Consumer Culture, Islam and the Politics of Lifestyle: Fashion for Veiling in Contemporary Turkey oleh Baris KiliƧbay dan Mutlu Binark, amandemen undang-undang pelarangan ini yang dipelopori Partai Keadilan mempunyai sejarah panjang. Ketika Turki masih berada di genggaman kekuasaan sekuler, para perempuan berjilbab telah turun ke jalan untuk meminta pencabutan larangan. Mereka diberi gelar para pejuang agama oleh media cetak Islam.

Isu jilbab tidak hanya diperjuangkan sebagai perintah yang berkaitan dengan prinsip ajaran Islam, tetapi lebih jauh juga dijadikan senjata sebagai penegasan Islam politik yang kemudian dikemas dalam perlawanan terhadap isu lebih besar, yaitu serbuan fashion kapitalisme. Canan Aritman, politisi oposisi Republikan, terang-terangan mengatakan bahwa jilbab adalah simbol politik dan ini merupakan revolusi hitam (Aljazeera, 9/2/2008).

Simbol sebagai alat



Sejalan dengan dukungan publik terhadap Islam politik, simbol-simbol Islam dengan sendirinya mengalami penyesuaian dengan iklim kapitalisme yang memberi ruang besar terhadap gaya hidup. Pergeseran makna jilbab kepada pola gaya hidup secara tidak langsung merupakan pengaruh modernisme, sekaligus makin membuat perjuangan kaum Islamis dikenal lebih luas.

Para intelektual Islam menjadikan jilbab sebagai tandingan terhadap gaya hidup Barat. Mereka menegaskan bahwa identifikasi Islam dan Barat dikaitkan dengan pemakaian jilbab. Dengan bahasa sederhana, perempuan sekarang berhak memutuskan untuk memakainya dan tidak hanya memilih soal bentuk pakaian. Mereka juga menempatkan dirinya pada salah satu dunia, Islam atau Barat.

Uniknya, dikotomi hitam putih di atas tidak sepenuhnya berjalan. Meskipun dukungan terhadap jilbab meluas, pengaruh deras kapitalisme mengiringi dengan setia. Jika pola pakaian Barat tidak sesuai, justru jilbab mengalami kapitalisasi dengan dijadikan sebagai komoditas dalam media publik, seperti televisi, radio, dan majalah. Jilbab tidak hanya sebagai alat untuk memenuhi fungsi etik, tetapi juga sekaligus estetik.

Jilbab telah memasuki ekonomi pasar seraya menyesuaikan dengan selera pemakainya. Konsumerisme kelas menengah kota telah mengubah jilbab menjadi bagian gaya hidup yang harus mempertimbangkan pernik-pernik fashion.

Daya jangkau pasar konsumsi makin luas setelah para Islamis menggunakan televisi untuk menawarkan model pakaian yang sejalan dengan tuntutan agama. Bagaimana pun, pemerintah sekuler telah menanggung risiko ini setelah membebaskan penggunaan ruang udara bagi penyiaran secara bebas pada 1990-an.

Kemenangan politik Islam



Kemenangan Partai Islam di Turki dikatakan bukan penerimaan sepenuhnya warga akan warna Islamnya semata-mata, tetapi karena keberhasilan para pemimpinnya mengantarkan negara ini ke dalam perbaikan ekonomi. Namun, tak terelakkan keinginan masyarakat untuk kembali ke Islam sangat besar setelah agama dipinggirkan oleh pihak berkuasa selama lebih dari 80 tahunan.

Sebelumnya, modernisasi di Turki berusaha melakukan penyeragaman dan penyerapan perbedaan identitas ke dalam warna tunggal. Hal ini dilakukan untuk mengorientasikan seluruh warga pada kesetiaan terhadap Republik Turki.


Di sinilah terjadi peminggiran terhadap kelompok agama dan borjuis lokal oleh para elite yang terdiri dari militer, birokrat, dan intelektual Kemalis. Seperti dikatakan Kevin Robins (1996:70) keberadaan keberagaman dan pluralisme yang niscaya bagi kehidupan demokrasi telah dilumpuhkan sejak awal.

Sejak 1990-an kelompok yang terpinggirkan ini memulai gerakan dalam perebutan pemaknaan. Kegiatan ini akibat dari perkembangan kaum borjuasi bermodal ukuran menengah dalam bidang tekstil, otomotif, makanan, dan media. Dukungan dari Partai Keadilan menambah penguatan kedudukan mereka. Keberhasilan wakil partai yang merupakan representasi Islam di tingkat kota provinsi menambah keyakinan publik akan kehadiran partai berhaluan agama.

Akhirnya, Partai Keadilan meraup kursi yang cukup signifikan untuk memenangkan posisi penting di negara yang didirikan oleh Kemal Attaturk ini hanya dalam waktu 10 tahunan. Tanpa terbebani mengubah konstitusi sekuler secara menyeluruh, mereka berusaha memberi ruang pada pemeluk Islam untuk menggunakan jilbab di lembaga publik.


Isu jilbab tidak dimaksudkan sebagai Islamisasi, tetapi demokratisasi sebagai bagian dari persyaratan untuk menjadi bagian dari keinginan Turki diterima sebagai anggota Uni Eropa. Sebuah cara yang sangat cerdik dalam mengemas isu.

Bagaimana pun, agama dalam pelbagai wujudnya telah mengusung simbol yang bisa dijadikan alat komunikasi untuk mencapai tujuan. Seperti dikatakan oleh Goffman (1951) bahwa barang-barang konsumsi merupakan alat komunikasi dan selain itu menurut Douglas dan Isherwood (1980) bisa dimanfaatkan untuk menjelaskan identitas. Jadi, amandemen undang-undang yang membolehkan pemakaian jilbab boleh dipahami sebagai pemenuhan dua tujuan ini.

Oleh karena itu, konsolidasi partai politik Islam telah berhasil mengusung agama tanpa harus melawan kehendak sekularisme yang memisahkan agama dan negara. Ia hanya memperjuangkan kebebasan beragama dan bukan memaksakan pemeluknya untuk melaksanakan ajarannya.

Meski demikian, secara tidak langsung keberhasilan ini menambah kepercayaan mereka mengukuhkan komitmen dalam memenuhi kesejahteraan rakyatnya. Hal yang penting lagi adalah bahwa politik Islam hakikatnya menyediakan kebutuhan pokok masyarakat, bukan hanya janji-janji yang dibungkus dengan ayat-ayat Tuhan.

Lalu, bagaimana nasib dengan partai politik Islam di negeri ini? Mereka tak perlu terlalu bernafsu mengusung simbol-simbol agama ke ruang publik karena di sini kebebasan melaksanakan ajaran agama dibuka seluas-luasnya. Kita hanya memerlukan contoh nyata bagaimana tokoh yang didukung partai politik Islam memenangkan keinginan rakyat luas untuk tidak hidup melarat di negerinya yang makmur.

Ikhtisar:
- Jilbab berpengaruh membuat perjuangan Muslimah lebih dikenal secara luas.
- Identifikasi Islam dan Barat makin jelas dengan munculnya budaya jilbab.

Sumber: Republika, 5 Juni 2005

No comments:

Masjid Sumberanyar

Ketika menunggu anak bergiat di sekolahnya, saya terdengar azan magrib. Serta merta, saya menuju suara ini. Meskipun salah masuk gang, akhir...