Jam 2 pagi, kawan karib saya menelepon, mengingatkan janji yang ditautkan semalam untuk menonton bola, Belanda melawan Perancis. Saya sekuat tenaga bangun dan berusaha melawan kantuk karena baru tidur jam 1-an. Ya, sebelumnya saya ngobrol dengan Haswin Muhammad, mahasiswa asal Indonesia yang revolusioner.
Dengan langkah pelan, saya mengusap muka dengan air. Lalu, kami berdua turun ke bawah dengan motor suzuki. Di restoran Khaleel, kursi penuh dengan penonton dan kami pun beranjak ke blok sebelahnya, restoran Istimewa. Permainan baru berlangsung 10 menitan. Hiruk pikuk dan tempik sorak menyelingi udara malam di warung makan itu. Di sana, saya melihat Abraham, teman Indonesia yang bekerja di Cititel dan di pojok sana Trissy dengan tiga teman bulenya juga sedang menikmati tontonan permainan bola.
Aroma Nescafe panas membantu saya tak larut dalam kantuk. Terus terang, meskipun tak segairah menonton Brazil bermain, saya berada di barisan Tim Negeri Kincir Angin itu. Jika akhirnya ini tim Oranye ini menang, saya pun gembira. Begitu saja. Ya, tak lebih. Namun, saya melihat beberapa penikmat bola terganggu dengan sekelompok penyuka bola lain yang bercanda dan tertawa keras di bagian tengah warung makan. Mereka terdiri dari 20 lelaki dan 1 perempuan. Saya lihat beberapa orang menoleh melihat kerumunan membuat gaduh.
Tapi, biarlah, anggaplah ini bonus kita berada di keramaian.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Majemuk
Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...
-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Semalam takbir berkumandang. Hari ini, kami bersama ibu, saudara, dan warga menunaikan salat Idulfitri di masjid Langgundhi. Setelah pelanta...
-
Saya membawa buku Philosophy for Dummies untuk coba mengenalkan anak pada filsafat. Biyya tampak bersemangat tatkala pertama kali mendapatka...
No comments:
Post a Comment