Tuesday, June 10, 2008

Nonton Bola Piala Euro, untuk apa?

Saya sengaja memasang jam alarm pada angka 2 pagi di telepon genggam Motorolla C115 itu. Dengan niat bulat, saya ingin menikmati pertandingan antara dua tim tangguh, Belanda dan Italia. Saya menjagokan negeri kincir angin. Tidak tahu, mengapa? Gol pertama tak begitu meyakinkan karena off side. Kedua dan ketiga lumayan bagus, malah kedua yang dilesakkan oleh Wesley Sneijder luar biasa.

Untuk apa saya berlelah-lelah bangun? Paling tidak, saya bisa menunaikan shalat tahajud. Meskipun, ini bukan tujuan utama, tetapi saya merasakannya sebagai bagian dari mengembalikan kembali kebiasaan seperti di pondok, pagi adalah doa. Dengan berjalan kaki, saya menikmati langkah menelusuri jalan konblok dari flat ke restoran Khaleel. Dengan menenteng tas yang berisi dua buku, Fiqih Lintas Agama dan Social Roots of Malay Left, saya melihat jalanan masih sepi. Di rumah makan itu pun, tak banyak orang yang menanti pertandingan sepak bola terbesar kedua setelah Piala Dunia ini. Saya pun duduk dan membuka buku Fiqih yang membicarakan isu hubungan antaragama. Sang pelayan, Mas Teguh, menanyakan minuman, saya menjawabnya milo panas.

Sepanjang pertandingan saya kadang diserang kantuk. Tak jarang tangan menyangga kepala agar saya tidak jatuh dari kursi. Kalau pun saya bisa mengikuti perlawanan ini hingga selesai, tetapi tak sepenuhnya saya membelalak. Setelah usai, saya pergi ke toko 24 Jam, 7eleven untuk mengambil koran gratis The Sun dan sekalian membeli pulsa RM 10 (Rp 28.400). Hujan makin deras, dan saya pun tertahan dan duduk di depan toko ini sambil membaca surat kabar. Karena bosan dan kadang mata berat, saya pun beranjak dan menepi ke depan toko untuk merebahkan tubuh yang lelah. Baru pertama kali dalam hidup saya tidur di depan toko layaknya gelandangan. Dengan berbantal buku dan koran, saya mencoba untuk lelap, namun tak kuasa memejamkan mata dengan nyenyak.

Akhirnya, saya menerobos rintik dan berjalan agak bergegas agar segera sampai ke flat. Memang, baju basah, tetapi di kamar saya merasa lebih nyaman. Malah, sambil menunggu azan, saya iseng-iseng membuka internet untuk membaca berita koran on line. Di tengah kantuk yang tersisa, saya meninggalkan komputer dan shalat tak lama setelah azan dikumandangkan. Biasanya saya melakukannya di surau, kali ini tidak. Lalu, saya pun berbaring di ranjang agar tak uring-uringan gara-gara kekurangan tidur.

No comments:

Syawal Kesembilan

  Di tengah kesibukan masing-masing dalam merayakan kenduri arwah leluhur, kami merekam peristiwa agar abadi. Sebelumnya, saya dan Zumi memb...