Tuesday, August 05, 2008

Sejenang di Wakaf Poetika

Sehabis dari membayar deposit sewa rumah, saya mampir ke musium Tunku Fauziah Universitas Sains Malaysia untuk mengikuti acara apresiasi puisi. Acara telah dimulai. Dekan Fakultas Ilmu Humaniora, Profesor Dato' Abu Talib Ahmad, sedang memberikan sambutan ketika saya datang, lalu disusul oleh pengenalan biografi penyair secara singkat, Marzuki Ali, oleh Profesor Mohammad Salleh Yaapar, kritikus sastra dan direktur penerbit USM. Katanya, Encik Marzuki adalah penyair yang selalu berjalan kaki, tidak memiliki kendaraan. Sama dengan sastrawan besar lain, A Samad Said, yang selalu mengayunkan kaki.

Saya sendiri mencatat hal-hal penting berkaitan dengan sosok yang sedang dirayakan ini. Putera kelahiran Trengganu tahun 1945 ini pernah belajar teater (di Malaysia juga dikenal dengan seni lakon) di Institut Kesenian Jakarta. Malah, kalau saya dengan puisinya yang dibacakan oleh pemuisi tamu, ada beberapa bahasa Indonesia yang menyelip dan biasanya bertahun 1980-an ketika beliau tinggal di Indonesia. Karyanya tersebar di sejumlah media, seperti Utusan Malaysia, Berita Minggu, Dewan Sastera, Dewan Budaya dan lain-lain.

Untuk kedua kalinya, saya mengikuti pembacaan puisis Encik Marzuki. Secara pribadi, saya seringkali menemukan ketenangan beliau ketika menyusuri lorong dan jalan kampus, sebuah petanda bahwa memang ia adalah sosok seniman yang serius. Di pameran itu, beberapa karya puisinya dicetak dan ditempelkan di tembok musium dan bahkan ada yang digantung ke langit-langit di tengah ruangan . Ada banyak kata-kata Indonesia berhamburan, seperti sore, sekoci dan belasungkawa. Sempat terdengar seorang guru yang mengantarkan para muridnya untuk mengikuti acara ini meminta mereka untuk memotret dan mencari kata-kata asing itu di dalam kamus. Demikian pula, saya menemukan banyak kata asing, seperti bungkau dan sejenang, kata terakhir ini menjadi tema dari kegiatan ini.

Di tengah berjalan menikmati rimba kata, saya sempat berbincang dengan Prof Arnd Graft, pemuisi tamu. Kebetulan juga, pada masa yang sama, saya juga diberitahu oleh Prof Salleh Yaapar bahwa dia akan berjumpa dengan Prof Yusril, mantan sekretaris kabinet SBY, di Jakarta untuk sebuah wawancara. Menurut Graft, gaya berpuisi Marzuki Ali mempunyai kesamaan dengan Rendra. Ya, penyair Burung Merak ini memang banyak dikagumi oleh sastrawan lain, bahkan Fatimah Busu, sastrawati dan bekas dosen di USM, menyatakan secara lugas bahwa beliau menggemari Rendra. Sebelum pulang, saya sempat menyalami Encik Marzuki Ali, menyatakan selamat (tahniah) dan beliau dengan senyum tersungging menyambut gembira.

Terus terang, ketika puisi dibacakan oleh Asraf, saya merasa merinding, apalagi tiupan flute menambah ruang hening dengan bunyi. Aneh, bukan? Ada bunyi, tetapi terasa sepi. Ya, Matinya Dalang Tua, yang ditulis oleh Marzuki mewakilkan pintanya pada Kopratasa, band lokal, agar membunuh penjenayah (penjahat) yang merosakkan (merusak) budaya bangsa. Keprihatinan sang penyair benar-benar terasa. Terima kasih Encik, Anda telah menyampaikan kegundahan saya juga dan di sini ternyata kita sebagai serumpun bisa menemukan bahasa yang sama melawan ketidakadilan. Semoga!

No comments:

Majemuk

Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...