Menjelang jumatan, saya beranjak ke luar dari ruangan kampus untuk menuju parkir. Niat untuk menggunakan motor ke masjid tak menjadi kenyataan, karena saya berjumpa dengan Encik Marzuki, sastrawan dan dosen di kampus, yang sedang berjalan. Kami pun bertukar salam sejenak dan beliau menanyakan "Kapan pulang?" dengan logat Indonesia. Saya jawab, "saya akan merayakakan idul fitri di sini". Lalu, kami pun berpisah.
Tiba-tiba, saya berbelok ke kiri, bukan ke kanan pintu kampus tempat parkir. Saya memilih berjalan ke kaki ke tempat ibadah, meneladani sang penyair di atas yang selalu berjalan kaki ke mana beliau melangkah. Tadi saya sempat menyelami keteduhan raut mukanya dan terbawa dalam perjalanan melintasi gedung, taman dan jalan setapak. Berjalan kaki seakan menjadi lebih nikmat.  Saya menyusuri lantai, tanah dan mereguk udara dengan sepenuh hati.
Tak sengaja, saya melihat mendung hitam dan kabut putih di bukit seberang jalan kampus. Ini pertanda hujan. Ya, tiba-tiba hujan deras sekali menyerbu. Saya berlari kencang sebelum air itu rebah. Sayangnya, sebelum saya sampai ke gedung perpustakaan sebelah masjid, hujan deras itu menerpa tubuh. Dengan napas ngos-ngosan saya mampir ke perpustakaan untuk menenangkan diri dan membiarkan baju 'kering' dahulu sebelum masuk  ke masjid.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Ruang Baca
Saya meletakkan pesan Pak Musa Asy'arie di loteng, tempat kami menyimpan buku. Berjuang dari Pinggir adalah salah satu karya beliau yan...
- 
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
 - 
Ke negeri Temasek, kami menikmati nasi padang. Kala itu, tidak ada poster produk Minang asli. Pertama saya mengudap menu negeri Pagaruyung ...
 - 
Ahmad Sahidah lahir di Sumenep pada 5 April 1973. Ia tumbuh besar di kampung yang masih belum ada aliran listrik dan suka bermain di bawah t...
 
No comments:
Post a Comment