Encik Yusuf tak pernah bosan membangunkan penghuni flat untuk berjamaah subuh melalui azan yang dikumandangkan. Pengurus surau tersebut menunjukkan keberpihakannya dengan tindakan, tak banyak bicara, bahkan di dalam sebuah musyawarah pengurus surau yang pernah saya ikuti. Namun, bapak tiga anak ini tidak menutup diri dari orang lain, malah sengaja menempelkan pengumuman di pintu surau bahwa siapa siapa boleh menghubungi beliau melalui telepon seraya menerakan nomor yang bisa dihubungi. Pak Mawardi setali tiga uang, tanpa banyak bersuara, peneliti di kampus Universitas Sains Malaysia ini dengan istiqamah selalu mengimami jamaah shalat fardu. Tak hanya itu, lelaki kelahiran Makasar ini juga kadang tidak hadir karena memilih berjamaah di masjid kampus. Keduanya tampak kompak memakmurkan musolla yang tak begitu besar itu, meski jarang kelihatan bercengkerama.
Ada lagi sosok yang bukan orang surau, tetapi telah menjadi penanda bagian dari suasana maghrib karena penjual roti itu selalu membunyikan bel tak lama sebelum atau sesudah azan. Kadang, saya tak mendengar lantunan ajakan shalat itu, namun suara bel menjadi simbol lain untuk bergegas ke lantai bawah. Hebatnya lagi, penjual roti tak pernah libur, kecuali hari Ahad, dan selalu setia mengunjungi pelanggan dengan sepeda motornya yang telah dimodifikasi untuk tempat berjualan. Kegigihan pak tua itu memang patut dikagumi karena lelaki berdarah Tamil itu menjalani perniagaannya selama 25 tahun.
Jamaah lain yang sering hadir adalah Ali, mahasiswa Timur Tengah, yang juga menempati flat Bukit Gambir. Tanpa segan calon PhD jurusan komputer meminta salah seorang jamaah untuk menunda iqamah, pertanda akan dimulainya shalat, untuk menunggu anggota jamaah yang lain. Namun demikian, shalat Subuh itu hanya disesaki enam atau tujuh orang, tidak lebih. Mungkin, pertanyaannya, adalah alasan Muslim mengelak dari shalat berjamaah semetnara mereka berada di rumah, lainnya pada waktu lain, seperti Maghrib, Zuhur, dan Ashar, mungkin kebanyakan masih berada di luar, bekerja atau belajar.
Thursday, October 29, 2009
Wednesday, October 28, 2009
Sumpah Pemuda dan Dangdut
Dua kata judul di atas tidak berhubungan, namun keduanya tumpah ruah dalam sebuah pertemuan. Mereka, para pekerja, datang untuk menyongsong Sumpah Pemuda di DOM Komtar, pusat kota. Panitia pun mengerti bahwa acara ini tak melulu berisi sambutan, tapi juga nyanyian. Memang, ada dua tiga lagu pop, tetapi mereka lebih menyukai dangdut. Bahkan, lomba karaoke yang diselipkan di akhir acara makin mengukuhkan bahwa dangdut merupakan menu wajib karena kebanyakan peserta membawakan lagu, yang kata Rhoma Irama, berasal dari Arab, India dan Melayu Deli.
Kalau saya larut dengan ini semua karena salah seorang pekerja bersama penyanyi undangan melantukan Mandulnya Rhoma irama. Duet mereka betul-betul membuat saya hadir utuh. Perhatian selanjutnya dibetot oleh tingkah mereka yang berjingkrak kegirangan karena lagu-lagu dangdut itu membuat mereka melonjak tinggi, melepaskan rutinitas yang membosankan. Dandanan dan pakaian yang tak biasa membuat penampilan mereka seperti artis, sebuah ekspresi yang tak ramah di sebagian pandangan masyarakat di sana, celana robek atau berlubang, rambut gondrong, dan anting-anting.
Di panggung, seorang perempuan berjilbab tak canggung mengikuti lomba. Mungkin sumpah yang dibacakan sebelumnya, bagi mereka, tak perlu dipikirkan lagi karena sudah terpenuhi, satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa. Ada keinginan lain mereka yang sempat terekam bahwa Indonesia akan menyejahterakan mereka. Krisis ekonomi membuat mereka tak lagi bisa menikmati uang tambahan dari jatah lembur (overtime), karena pabrik membatasi produksi. Namun, mereka bersyukur karena masih bekerja dan berharap keadaan akan pulih seperti semula. Sebuah harap yang sederhana, memang, sesederhana mereka menyanyi dan menari dalam arena. Tidak lebih.
Kalau saya larut dengan ini semua karena salah seorang pekerja bersama penyanyi undangan melantukan Mandulnya Rhoma irama. Duet mereka betul-betul membuat saya hadir utuh. Perhatian selanjutnya dibetot oleh tingkah mereka yang berjingkrak kegirangan karena lagu-lagu dangdut itu membuat mereka melonjak tinggi, melepaskan rutinitas yang membosankan. Dandanan dan pakaian yang tak biasa membuat penampilan mereka seperti artis, sebuah ekspresi yang tak ramah di sebagian pandangan masyarakat di sana, celana robek atau berlubang, rambut gondrong, dan anting-anting.
Di panggung, seorang perempuan berjilbab tak canggung mengikuti lomba. Mungkin sumpah yang dibacakan sebelumnya, bagi mereka, tak perlu dipikirkan lagi karena sudah terpenuhi, satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa. Ada keinginan lain mereka yang sempat terekam bahwa Indonesia akan menyejahterakan mereka. Krisis ekonomi membuat mereka tak lagi bisa menikmati uang tambahan dari jatah lembur (overtime), karena pabrik membatasi produksi. Namun, mereka bersyukur karena masih bekerja dan berharap keadaan akan pulih seperti semula. Sebuah harap yang sederhana, memang, sesederhana mereka menyanyi dan menari dalam arena. Tidak lebih.
Monday, October 26, 2009
Sumpah Pemuda Para Pekerja
T-Shirt bertuliskan Granat dengan dua tangan menggenggam granat tampak aneh karena di bawahnya tertera Peace and Love. Baju tersebut adalah baju kebanggaan sekumpulan pekerja Indonesia yang bekerja di perusahan tekstil Toray, sebuah perusahan pemintalan kain Jepang. Mas Wawan, salah seorang dari mereka, menceritakan bahwa bahan untuk pabrik ini didatangkan dari Indonesia. Di sela berbincang menikmati lomba karaoke, temannya yang lain datang, Miftah, yang sengaja diminta hadir untuk memastikan kenalan mereka dari kampus. Ya, mereka berdua telah mengenal beberapa mahasiswa dari kampus tempat saya belajar. Ternyata aktivis yang bergiat di bidang dakwah dan bernaung di bawah partai yang banyak digawangi oleh pegiat dakwah kampus ini telah berhasil menggalang jaringan hingga ke pabrik.
Para pekerja Indonesia tampak antusias mengikuti persembangan lagu, terutama dangdut, dari penyanyi undangan dan bertambah bersemangat ketika lomba karaoke dipagelarkan. Mereka betul-betul penikmat sejati dangdut. Tak ayal, ketiga salah seorang peserta membawakan lagu Raja, penonton tak bisa menyembunyikan kekesalannya karena ia menyisipkan kata-kata saya tak suka dangdut. Sebelumnya, mereka mendengarkan sambutan dari ketua panitia, Pak Karnadi Kasan Sardji dan konsul Jenderal RI, Pak Moenir Ari Soenda, lalu disisipkan pemutaran potongan gambar korban Gempa yang telah dilatari lagu Opik, Bila Waktu Telah Berakhir, sehingga penayangan bencana itu tampak lebih kuat menyentuh rasa.
Acara inti, refleksi Sumpah Pemuda, dibawakan oleh peneliti dari Universitas Sains Malaysia, yang menutup ceramahnya dengan pembacaan Teks Sumpah Pemuda. Dengan tangan terkepal, mereka mengikuti pembacaan sumpah yang pertama kali dibacakan pada 28 Oktober 1928. Setelah acara menyongsong Sumpah Pemuda usai, saya pun turut larut dalam kerumunan, menikmati lagu. Dari sekian nyanyian, saya benar-benar menikmati lagu Seni Rhoma Irama, yang dibawakan oleh Edi Santoso. Meski suara pas-pasan, namun pengaruh musik yang mengiringinya yang menghentak tak ayal membuat kaki saya turut menghantam lantai. Herannya, para pekerja yang sebelumnya turun ke lantai depan panggung dan berjingkrak-jingkrak tampak kikuk dengan lagu Bang Haji, malah sebagian duduk.
Lalu, sumpah pemuda itu menjelma menjadi dangdut.
Para pekerja Indonesia tampak antusias mengikuti persembangan lagu, terutama dangdut, dari penyanyi undangan dan bertambah bersemangat ketika lomba karaoke dipagelarkan. Mereka betul-betul penikmat sejati dangdut. Tak ayal, ketiga salah seorang peserta membawakan lagu Raja, penonton tak bisa menyembunyikan kekesalannya karena ia menyisipkan kata-kata saya tak suka dangdut. Sebelumnya, mereka mendengarkan sambutan dari ketua panitia, Pak Karnadi Kasan Sardji dan konsul Jenderal RI, Pak Moenir Ari Soenda, lalu disisipkan pemutaran potongan gambar korban Gempa yang telah dilatari lagu Opik, Bila Waktu Telah Berakhir, sehingga penayangan bencana itu tampak lebih kuat menyentuh rasa.
Acara inti, refleksi Sumpah Pemuda, dibawakan oleh peneliti dari Universitas Sains Malaysia, yang menutup ceramahnya dengan pembacaan Teks Sumpah Pemuda. Dengan tangan terkepal, mereka mengikuti pembacaan sumpah yang pertama kali dibacakan pada 28 Oktober 1928. Setelah acara menyongsong Sumpah Pemuda usai, saya pun turut larut dalam kerumunan, menikmati lagu. Dari sekian nyanyian, saya benar-benar menikmati lagu Seni Rhoma Irama, yang dibawakan oleh Edi Santoso. Meski suara pas-pasan, namun pengaruh musik yang mengiringinya yang menghentak tak ayal membuat kaki saya turut menghantam lantai. Herannya, para pekerja yang sebelumnya turun ke lantai depan panggung dan berjingkrak-jingkrak tampak kikuk dengan lagu Bang Haji, malah sebagian duduk.
Lalu, sumpah pemuda itu menjelma menjadi dangdut.
Sunday, October 25, 2009
Menggalang Kepedulian Pekerja
Saya sengaja mengambil gambar mereka sebelum siap berpose. Para pekerja Indonesia diajak Pak Moenir, konsul Jendral RI di Pulau Pinang, untuk mengabadikan pertemuan mereka dalam sebuah acara penggalangan dana untuk korban Gempa Bumi di Sumatera Barat di Dewan KISMEC, Sungat Petani, Kedah pada tanggal 24 Oktober 2009.
Saturday, October 24, 2009
Makna Sepatu
Thursday, October 08, 2009
Buku Merambah Desa
Papan nama tersebut terletak beberapa meter dari pintu keluar Bandara Langkawi. Sayang, saya hanya bisa mengambil gambar, tidak mengunjungi perpustakaan yang dimaksud, karena waktu terbatas. Saya bersama staf konsulat Pulau Pinang hanya mempunyai waktu setengah hari di sana dalam rangka sosialisasi pemilihan presiden 2009. Mungkin di lain waktu, saya akan menelusuri suasana di sana, sambil mencari tempat lain yang bercorak sama, perkampungan buku yang dulu dirintis oleh Perdana Menteri ke-4, Mahathir Mohammad.
Grafiti di Kuala Lumpur
1 Oktober 2009, dalam perjalanan pulang dengan kereta api dari Lapangan Terbang Internasional Kuala Lumpur ke Terminal Bis Puduraya, saya masih menemukan tulisan ABOLISH DSA! di pintu keluar stasiun Pasar Seni. Tulisan yang mungkin mulanya Abolish ISA! ini menandakan dua kekuatan besar yang sedang bertarung dalam dunia perpolitikan Malaysia, Najib dan Anwar.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Majemuk
Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...
-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Semalam takbir berkumandang. Hari ini, kami bersama ibu, saudara, dan warga menunaikan salat Idulfitri di masjid Langgundhi. Setelah pelanta...
-
Saya membawa buku Philosophy for Dummies untuk coba mengenalkan anak pada filsafat. Biyya tampak bersemangat tatkala pertama kali mendapatka...