Hakikatnya diskusi serupa bisa ditemukan di mana-mana, namun kadang perlu ruang yang lebih nyaman dan teratur agar pertukaran pendapat tak melahirkan rasa masygul. Meski pembicara dan peserta berlainan tempat duduk, namun kesetaraan adalah harga mati dalam menyampaikan gagasan. Pengaturan waktu dibuat agar semua mau mendengar dan berbicara sesuai kesepakatan. Siapa pun tahu dan tak perlu ragu. Toh, akhirnya seusai acara, masing-masing akan berjumpa sebagai manusia. Padangan dan ideologi yang sempat mencuat di ruangan terbatas itu tidak akan membuatnya harus menjaga jarak dari 'seterunya'.
Lalu, ruangan yang jauh lebih besar adalah kenyataan. Panitia konferensi tahu betul bahwa ide-ide besar yang sempat bergemuruh di ruangan akan layu di tengah kenyataan yang rumit di lapangan. Ya, kawasan lumpur Sidoarjo seakan-akan membuat mandul siapa pun untuk mengurai benang kusut. Kami pun yang lincah di ruangan hanya tertegun melihat kemarahan alam dengan menyemburkan lumpur dari dalam dan menenggelamkan tempat tinggal warga. Kalaupun semua kuasa, akademikus, politikus dan media bersekutu, mereka tak sepenuhnya memahami fenomena bencana ini secara tuntas, namun siapa pun harus menahan diri untuk tidak merusak kehendak menyelesaikan masalah yang ditimbulkan oleh keabaian manusia.
Hanya saja, mereka yang cuai harus bertanggungjawab. Sementara, pemerhati tidak menangguk untung di air keruh. Lagi-lagi, pandangan ideal semacam ini tertera di atas kertas, sementara kenyataan selalu lebih rumit. Tentu, di tengah hiruk-pikuk, ada tangan-tangan tersembunyi yang bergerak untuk menyelesaikan masalah yang membelit. Rumus ini harus dipakai untuk semua masalah antara sesama. Wajib, segelintir kita bekerja dalam 'diam'.
No comments:
Post a Comment