Monday, November 01, 2010

Makan Sate

Semalam saya menikmati kembali sate di warung pinggir jalan. Tetapi, saya datang dengan orang yang berbeda, tak lagi dengan kawan baik, Pak Isyam dan Mas Ayi (lihat gambar). Untuk kesekian kalinya, saya mengasup daging bakar dan sambal kacang. Meski bisa dihitung dengan jari, makan malam di sini memantik banyak ingatan. Sejauh mugkin saya mengajak pengunjung lain untuk berbincang ringan. Di sebelah meja, tampak dua orang sedang menunggu dan dengan senang hati memberikan kami 'ruang' untuk berkongsi.

Pemilik warung pulang kampung untuk menunaikan haji. Anaknya, Mas Ainurrahman, menggantikan bapaknya menjalankan perniagaan. Meski baru memulai, si anak sudah cepat belajar. Namun, ia pun kelabakan karena begitu banyak pelanggan yang menuntut pelayanan segera. Ada banyak yang tercecer, seperti ketimun dan bawang merah yang tak sempat dikupas. Kami pun memaklumi. Toh, sepuluh tusuk sate dan sambal kacang telah mengobati kangen pada aroma daging dibakar. Hanya beberapa kerat bawang merah mampir di piring.

Dengan hanya menempel di warung makan China, warung ini menarik banyak warga lokal, kebanyakan Indonesia dan Melayu. Tidak susah membedakan mereka, kami hanya mendengar cara mereka memesan makanan. Saya pun memilih untuk berbincang dengan beberapa pekerja migran, yang kebanyakan berasal dari Tanah Sumatera dan Jawa. Semalam, bapak setengah baya yang berasal dari Gresik sempat bercerita banyak dan saya pun mendengar penuh takzim. Sambil menyedot rokok Gudang Garam coklat 16, bapak itu berkisah hal ihwal pengalamannya sebagai pekerja asing.

Di sela-sela kepulan asap, saya sempat mendengar seorang pekerja berteriak ringan, woi, kenapa sate lewat sangat! Belum lagi, beberapa orang berdiri menunggu dilayani: 10 ayam, 15 kambing. Tangan lincah Ainur mencoba beradu dengan pesanan, memasukkan sate ke piring yang dipenuhi sambal cabe dan kacang yang dilumuri kecap ABC-Heinz. Dua orang pekerja yang sedang membakar pun makin cepat mengipas seraya membolak-balik daging agar terbakar rata. Orang-orang bergegas agar makan malam tak terlambat. Ya, semua terburu-buru. Hidup tak ubahnya perlombaan, masing-masing berlari kencang agar segera sampai ke garis akhir. Sekilas, mereka mencoba memenangkan perhatian agar segera mendapatkan pelayanan.

Ayo, berlari sebelum malam berakhir. Esok pagi, kita pun masih berlari untuk tujuan yang lain pula. Mungkin kita tak memenangkan perlombaan, tetapi sampai ke garis akhir dengan selamat tentu melegakan. Namun, setelah kenyang, kita akan berlari lagi. Hanya saja kita perlu sabar, agar tak dirundung lelah, sebab di waktu jeda, kita tak sempat memikirkan bahwa hidup tak melulu berlari, tetapi juga berhenti untuk menghela napas. Tarik perlahan, ternyata hidup itu lebih indah dalam keadaan tenang, tak terburu-buru mereguk kepuasan.

Oh ya, kunjungan kali ini tak direncanakan sejak awal berangkat dari rumah. Kami dengan jiran yang baik, Pak Cik dan Mak Cik, ingin mengisi ujung minggu ke pasaraya, berbelanja kebutuhan sehari-hari. Di tengah jalan, ide makan sate muncul. Lalu, saya menelepon pemilik warung, memastikan buka malam ini. Aha, hidup ternyata tak selalu berada di atas kertas, kadang ia mengalir begitu saja, tanpa harus memikirkan ke mana ia bermuara. Ujung-ujungnya, kita hanya perlu kenyang, lalu berpikir bahwa di ujung sana, ada banyak orang yang sedang memikirkan menu apa malam ini? Ironis, saya melakukannya setelah mengasup sepuluh tusuk sate dan ingin menghapus kesalahan ini dengan berkilah bahwa saya masih memikirkan orang lain.

2 comments:

kembangceplukan said...

tempat pakdhe sate di depan PISA ya pak???

kami selalu pesan dan pakdhe nganterin di flat 88...

Ahmad Sahidah said...

Kembang Ceplukan, ya betul. Apakah Anda masih tinggal di Pulau Pinang?

Bank Syariah

Di Perbankan Syariah, saya mengajar Filsafat Keuangan. Dalam mata kuliah ini duit dicandra dari nilai, etika, dan kuasa. Cuan bukan sekadar ...