Pak Bunyan, dosen asal Indonesia, mengimami sembahyang Subuh. Mr Mushthafa, asal Nigeria, kadang menempati posisi imam. Tuan Haji yang biasanya memimpin sholat memilih menjadi makmum. Rafi senantiasa membacakan iqamah, pertanda sholat segera ditunaikan. Mereka menghidupkan surau itu dengan riang. Ternyata, hujan tak menyurutkan warga perumahan untuk beribadah bersama. Mereka beranjak setelah usai, mengambil tempat di pelbagai sudut untuk berzikir.
Saya pun pulang. Hujan masih turun. Setelah sampai di rumah, saya membuka jendela agar udara pagi menyerbu masuk. Tak lama kemudian, seperti biasa, saya pergi ke warung surat kabar. Dengan koran di tangan, saya melangkah ke warung roti canai. Sambil menikmati berita, artikel dan hiburan, saya masih sempat menikmati berita Astro Awani. Kabar pembubaran parlemen yang sebelumnya berseliweran di media sosial hanya isapan jempol belaka. Kopi panas pagi itu juga mengusir dingin. Begitu banyak jamaah dari Masjid Muttaqin tumpah ruah di warung ini. Mereka berkelompok, bertukar cerita dan sebagian membaca koran. Sekitar 15 menit, saya duduk menikmati pagi. Setelah membayar secangkir kopi dan setangkup roti, saya pun pulang. Gelap telah pergi. Nyanyian burung tekukur menghiasi pagi. Lalu, kenikmatan apa lagi yang kita mau ingkari?
2 comments:
Betapa lezat, ya. Dan banyak kelezatan lain yang tak kasat mata tetapi juga sering kita ingkari. Mari, nikmati dengan bersyukur.
Terima kasih, Mas Kiai Faizi.
Post a Comment