Monday, December 26, 2011

Barang Indonesia di Malaysia

Dalam troli itu, ada pelbagai barang buatan Indonesia, sementara teh Boh yang dipegang oleh tangan adalah buatan Malaysia. Lalu, adakah kita bisa memastikan bahwa itu benar-benar barang lokal? Inilah pertanyaan yang seringkali menganggu orang ramai terkait kampanye yang menyerukan membeli barang setempat, bukan impor. Tentu, mie sedap, serbuk pembersih Daia, adalah buatan Wings yang bertapak di Surabaya, yang telah dikenal oleh khalayak. Lalu, bagaimana dengan Indocafe dan kecap ABC yang tertulis buatan Indonesia dan terdapat logo halal MUI? Kedua jenama ini sememangnya berasal dari Indonesia, namun dalam perkembangan selanjutnya perusahaan luar, Danone, Perancis, dan Heinz asal Jerman, telah membeli keduanya. Lalu, masihkah keduanya disebut barang lokal dari Indonesia?

Apa sebenarnya makna mencintai barang lokal itu? Adakah ini sekadar sahutan terhadap kampanye nasionalisme dan patriotisme baru yang diwujudkan dengan membeli barang buatan sendiri? Lalu, apakah batas-batasnya? Nah, di sinilah kita akan sering berseberangan pandangan, sebab batas (had, hudud) itu adalah pengandaian tentang asal-muasal. Ketika dunia ini dilipat, simulakra Jean Baudrillard merajalela, dan patriotisme kadang tak lebih dari bualan, maka mari berpikir jernih tentang keperluan manusia terhadap 'barang' (goods).

Dengan merujuk pada Nabi, bahwa pemborosan itu adalah serupa dengan prilaku setan, kita bisa memulai sikap dan pandangan kita terhadap apa sesungguhnya yang kita perlu, bukan mau dalam hidup ini. Ukurannya tentu tak sama, namun ada hal objektif yang bisa dikongsi. Kalau kita berbagi dengan jiran yang dekat, maka kita telah menciptakan perhubungan kemanusiaan yang paling mungkin untuk menciptakan rasa nyaman. Tak semestinya kita menolak sesuatu yang datang dari jauh. Bayangkan, beberapa hari yang lalu, saya membeli pencukur kumis buatan Brasil. Adakah saya masih memikirkan tentang jauh dan dekat dalam hal ini? Adakah pertimbanganya hanya karena ia murah semata-mata? Padahal, kecenderungan barang mahal kadang menyergap akal sehat kita untuk memilih agar tampak bergengsi. Betapa sulawan, bukan?

Lebih-lebih, pembenaran pada sebuah tindakan secara senyap menyembunyikan kepentingan. Agar tampak gagah, saya bisa membenarkan barang yang dibeli itu sebagai pembelaan terhadap negara Brasil yang sama-sama berjuang dengan warga di negara Selatan untuk menjadi negeri yang maju. Padahal, pencukur itu berjenama Gillette, sebuah perusahaan yang berpangkalan di Amerika, dan telah disenaraikan di bursa dengan nama G saja, setelah dibeli oleh P & G. Pendek kata, betapa modal itu cair seperti air, mengalir ke segala arah, mencari keuntungan, yang kata Adorno dan Hokheimer dalam The Dialectic of Enlightenment, tak mempunyai mata (baca: modal buta). Nah, jika demikian, kita lah sebagai manusia yang merawat mata kita agar tak menjadi buta.

No comments:

Syawal Kesebelas

Kemarin kami menghadiri halal bihalal pondok di aula 1. Acara ini dihadiri pengasuh, kepala pesantren, forkompimda, dan warga Nurul Jadid.  ...