Tak hanya barang di atas, begitu banyak produk yang dibuat di Negeri Tirai Bambu. Bahkan, kopiah putih saya yang dibeli di kampung halaman juga buatan negeri Mao Tse-tung. Padahal, toko penjual yang ada di pinggir jalan raya itu terletak jauh dari kota dan berada di atas bukit. Setiap kali berjamaah di surau, saya sering memakainya. Tak hanya itu, hadiah magic jar, tempat menaruh kue agar tetap hangat, yang didapatkan dari pembelian susu untuk susu si kecil pun buatan rakyat Republik China. Sebenarnya, ini bukan hal baru, karena semasa saya kecil, orang-orang kampung telah menggunakan barang(an) yang bertuliskan made in China, seperti kunci, piring, dan jarum.
Lalu, kalau keperluan kita sehari-hari telah dibuat di negeri Mao Zedong, apa yang akan kita lakukan? Menikmati hidup seraya ongkang-ongkang kaki? Tidak. Dengan kekayaan yang seluas gunung, laut, dan hutan belantara, Republik Indonesia sepatutnya makmur tak terkira. Sayangnya, kita abai. Petinggi tinggi hati, akar rumput bingung, sebab mengaku pintar dengan memilih wakil yang bisa membayar, ternyata sang wakil mengambil hak mereka jauh lebhi besar. Cerita Nazar (Nazaruddin, bekas bendahara Partai Demokrat) bagi saya adalah tak lebih kisah burung Nazar yang memakai bangkai.
Nah, selagi angin perubahan itu tak redup, kita berbenah dengan memulakan hal-hal sederhana yang bisa kita lakuan untuk kebaikan bersama. Tak perlu menunggu 2014 untuk mendapatkan pemimpin dan wakil rakyat yang berjiwa rakyat. Kita lihat dari dekat, apakah wakil Anda betul-betul memenuhi kehendak orang ramai? Jika tidak, kita akan senantiasa kebanjiran barang dari negeri luar, tanpa kita bisa mencegahnya karena kealpaan kita bersama. Betapa persekongkolan jahat antara wakil rakyat dan pengusaha telah mematikan napas alat produksi kita. Mereka bersekongkol mendatangkan barang dari luar agar mendapatkan keuntungan di atas angin. Masihkan Anda ingat kasus daging yang menimpa Partai putih itu?
No comments:
Post a Comment