Friday, January 13, 2012

Musik dan Konsumsi

Saya bersyukur karena dulu saya tak banyak memiliki koleksi musik. Dengan keterbatasan ini, saya terseret pada pendalamnikmatan (intensitas) musik tertentu. Bayangkan, jika orang tua saya memberi banyak uang untuk menambah koleksi kaset, maka saya akan terus menambah benda hanya untuk mengurus jiwa. Saya bisa menikmati lagu dari pengeras suara pesta perkawinan, kumpulan pengajian, atau milik penduduk lokal di seberang sungai, yang sengaja menegakkan bambu yang di ujungnya bertengger TOA.

Kursi dan buku itu sengaja diperlihatkan. Setelah penat memelototi huruf, saya menyepi di sini seraya mendengarkan aneka pilihah musik. Aneh, bukan? Menyunyi di tempat bising? Ya, ruangan di atas adalah sebagian fasilitas Perpustakaan Universitas Sains Malaysia untuk mahasiswa rehat sekaligus memesan lagu pada petugas. Ketika saya mendengarkan lagu Ella, Layar Impian, saya ingat sepupu, Endang (ingat E tidak dibaca e pepet), nama lengkapnya Iskandar. Hingga hari ini, saya belum mengunjungi tempat serupa di Universitas Utara Malaysia. Setelah ujian semester akhir, saya akan menyepi di Perpustakaan Sultanah Bahiyah, menikmati instrumetalia, agar dunia ini bisa dipahami tanpa harus dengan kata. Bayangkan, saya menikmati Caravansary Kitaro, sambil membaca Jean Baudrillard tentang mengapa kita banyak membeli sesuatu agar kita bahagia?

Ya, diam itu adalah emas. Kata-kata itu kadang terjerat oleh propaganda, sadar atau tidak. Masalahnya, mengapa saya menggunakan kata-kata untuk menyampaikan pikiran ini? Karena saya yakin kata itu adalah alat, bukan tujuan. Sekali waktu, kita diam, dengan cara menikmati bunyi, lalu akhirnya sunyi, sepi. Di sini, kita akan menemukan hati.

No comments:

Majemuk

Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...