Saya sempat terjebak kemacetan di Surabaya akibat penunjukrasa menutup jalan A Yani Surabaya. Tak terelakkan, jalan-jalan lain disesaki karena pengendara mencari jalan lain. Apakah saya harus marah? Sementara kemacetan terjadi setiap hari di negeri ini? Hanya saja, saya meminta mereka tidak melakukan pengrusakan. Fasilitas umum itu dibangun dari pajak. Hakikatnya mereka turut memiliki dan harus merawatnya.
Sang supir harus mencari jalan tikus agar saya bisa segera sampai ke penginapan setelah seharian berada di luar kota. Untungnya, mahasiswa segera mengakhiri pendudukan jalan yang padat itu. Tak lupa, saya takzim pada polisi yang tidak tergerak untuk memaksa mahasiswa hengkang dari jalan beraspal. Peristiwa kekerasan aparat terhadap mahasiswa dan orang ramai di Gambir, Jakarta, tidak berlaku di kota Buaya ini.
Semua pihak harus kembali pulang ke rumah. Keluarga sudah menunggu. Perbedaan perjuangan dan kesetiaan pada tugas tidak harus memecah Republik ini menjadi arena perang sesama anak bangsa. Alamak! Saya sepertinya tukang khotbah. Saya hanya perlu menyuarakan bahwa saya bersabar dalam kemacetan. Namun, saya tentu sangat kagum pada warga Jakarta yang setiap hari didera oleh kesesakan lalu lintas. Menurut saya, hanya janji calon gubernur yang bisa mengurai benang-kusut ini.
*Gambar @Sham
No comments:
Post a Comment