Sore sesudah hujan, kepulan asap sate di depan Masjid al-Shahab mengundang selera. Seminggu sebelumnya, kami berhasrat untuk mencoba menikmati sate. Dengan hanya berbekal gerobak, kipas, dan arang kayu si penjual menggelar menu berupa ketupat, timun dan bawang merah. Harga setusuk sate tak mahal. Kami pun duduk menunggu seraya menikmati minuman yang dibeli dari penjual yang lain. Dengan berbagi, mereka bisa mengaut keuntungan. Tak lama kemudian, sepiring sate datang, hinggap di meja. Bau daging terbakar menyengat hidung. Lalu, 15 tusuk berpindah ke perut. Karena mendekati azan Maghrib, kami pun bergegas untuk beranjak pulang sambil membawa sisa sate. Dengan ramah wanita setengah baya, pemilik warung itu, bertanya, "Nak dibungkus ke?" Isteri pun mengangguk.
Setelah makan, pengunjung warung makan bisa berjamaah di sini. Masjid tersebut menyediakan lahan parkir yang luas dan fasilitas lain yang memadai, seperti wifi, ruang pertemuan, toko pakaian dan dobi atau penatu. Mungkin, mereka bisa bersembahyang lebih dahulu baru berkunjung ke kedai makan yang tak hanya menyediakan sate, tetapi juga makanan dan kudapan yang lain. Kehadiran dua tempat yang berbeda, beribadah dan makan, dalam satu kawasan tampak elok. Masjid itu tak menampik kegiatan lain, karena hakikatnya ia hadir agar manusia bisa hidup dengan nyaman.
Sebenarnya saya juga menemukan pemandangan serupa dengan masjid al-Muttaqin, yang paling dekat dengan rumah. Di sekitar masjid, warung makan bertebaran. Bahkan, dalam jarak beberapa meter, terdapat lokasi pasar malam yang selalu disemuti oleh orang ramai setiap hari Kamis sore. Menjelang malam, kita bisa mereguk banyak kesenangan. Namun, siapa pun tahu bahwa makan itu hanya menghabiskan waktu tak lama. Selanjutnya, manusia akan mengasup keperluan batin dalam waktu yang tak terbatas. Marilah bersembahyang, Marilah raih kebahagiaan!