Monday, September 17, 2012

Salmon


Seingat saya, kami membeli ikan salmon hanya sekali. Isteri saya membelinya untuk si kecil, Mutanabbiyya, agar ia tumbuh dengan baik, itupun hanya beberapa potong. Menurut kabar, gizinya tinggi. Saya sendiri lebih menyukai ikan tongkol, yang banyak dijumpai di pasar malam Tanah Merah, Kedah atau Tun Sardon Pulau Pinang. Selera ini terbit karena sejak kecil  di kampung Masjid, Sumenep, ibu acapkali menyediakan menu ikan yang kami sebut cakalan, baik digoreng maupun dimasak pedas. Saya sangat menikmati daging berwarna coklat dari ikan ini, termasuk telur yang masih menempel di badan, belum sempat ditetaskan.

Lalu, mengapa ikan salmon di atas hinggap di meja pasaraya jauh-jauh dari Seberang? Karena hukum pasar: persediaan dan permintaan. Yang terakhir hadir karena orang ramai ingin mengasup makanan yang sehat dan berkhasiat. Lagipula, ikan yang diimpor dari luar dan berharga mahal menaikkan gengsi dan prestasi. Pendek kata, makan tidak hanya melulu tentang asupan, tetapi juga gaya hidup. Dunia tanpa batas ini telah memorakporandakan peta geografi kita. Uang bisa menggerakkan ikan nun jauh di sana melompat ke meja makan kita. Namun pernahkah kita memikirkan adakah sikap ini membantu nelayan tetangga sebelah kita?

Kita bergegas untuk terus berburu kenikmatan, menemukan kelezatan pada makanan. Apabila anak-anak kita membesar dengan cara hidup kita yang memanjakan selera dengan membeli gizi dari luar, maka hari ini kita telah mengubur harapan orang setempat untuk mengail rezeki dari tanah, laut dan buminya sendiri.  Pada masa yang akan datang, kita telah merasa nyaman menjadi orang lain karena seleranya harus dibeli dari negeri yang jauh.


No comments:

Mainan

Mengapa anak perempuan bermain masak-masakan dan anak lelaki mobil-mobilan? Kata tanya mendorong mereka untuk berpikir. Pada gilirannya kita...