Monday, December 03, 2012

Nasib Surau Kita

Di sela-sela acara bengkel (workshop) di Panorama Jember, saya keluar sejenak dari hiruk-pikuk akademik dengan menyusuri jalan, mencari surau untuk merasakan kehidupan masyarakat sekitar. Jika di ruang pertemuan kami berbicara ide penglibatan komuniti (community engagement) sebagai bagian dari tugas akademisi, saya melihat kehadiran kita di surau adalah bagian dari wujud gagasan itu.

Di tempah ibadah kecil ini, saya melihat empat orang jamaah yang sudah beranjak sepuh. Tak ada anak muda yang turut berjamaah di surau al-Majid ini. Padahal letak musholla ini berada di perempatan. Di manakah kaum muda itu di kala senja? Berbeda dengan Masjid Jami' Jember yang dipenuhi oleh begitu banyak orang pada Jum'atan sehari sebelumnya. Fungsi masjid dan surau masih tidak berubah, yaitu sebagai tempat beribadah dan nyaris tidak menyentuh kegiatan-kegiatan sosial dan kultural. Mengapa tempat ini harus alah (alergi) dari aktivitas keduniawian?

Boleh jadi, hal ihwal duniawi yang dilarang dibicarakan telah menyebabkan orang ramai enggan membincangkan isu-isu masyarakat. Padahal shalat berjamaah itu adalah perjumpaan orang-orang yang perlu dilihat sebagai arena pertukaran gagasan. Sementara sembahyang tahajud di tengah malam adalah perjumpaan pribadi dengan Tuhan. Kita seharusnya bisa membedakan keduanya agar pahala sebanyak 27 derajat dari berjamaah tidak hanya sekadar angka-angka, tetapi juga pesan moral bahwa di sini kita harus merumuskan agenda umat, pengentasan kemiskinan, pengarusutamaan gaya hidup sehat, dan penyertaan pendidikan dari semua kalangan masyarakat. 

No comments:

Syawalan Ketujuhbelas

Kelas Memahami Teks Inggris: Dengan cara bandongan, setiap peserta akan membaca satu halaman dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia....