Saturday, August 16, 2014

Kematian

Saya menyukai film Mrs Doubtfire yang dibintangi oleh Robin Williams. Betapa peran nenek yang dibawakan pelakon luar biasa ini menggugah banyak hal dalam kehidupan kita hari ini, seperti hubungan keluarga, kehangatan antara orang tua-anak, serta konflik yang ada di dalamnya.

Tentu, kita terhenyak ketika mendengar kematian pemain Good Will Hunting dan Dead Poets Society di ujung sabuk. Kegetiran hidup menyebabkan ia terperangkap persoalan eksistensial, kecemasan (angst). Arak dan dadah (narkoba) menjerat hidupnya. Ia tak menutupi sisi gelap, malah dengan tegar menyatakan ingin keluar. Betapa pun ia mempunyai hubungan sosial yang baik dengan banyak orang, termasuk tetanggannya, namun secara pribadi, ia tak bisa melawan kutukan "kebebasan" seperti diungkap oleh Jean Paul Sartre. Namun, kita tak ingin menghakimi hidupnya, tetapi ingin mengerti mengapa ia mengakhiri hidupnya dengan tragis.

Betapa pun Albert Camus dalam Plague mengatakan bahwa adalah memalukan hidup bahagia dengan diri sendiri, karena kesepian itu akan mudah menyergap, maka kegundahan Robin tentu bersumber dari tempat lain. Bagaimanapun, pemeran Theodore Roosevelt dalam film Night in The Museum dikenal sebagai dermawan, yang menunjukkan betapa kehadiran orang lain dalam hidupnya bukan neraka (L'enfer c'est les autres). Dengan penuh harap, saya menunggu pesan terakhir almarhum yang sampai saat ini belum diumumkan ke khalayak. Apa pun, kematian itu adalah penanda bagi yang mereka yang masih hidup, bahwa bernapas itu tidak cukup, sebab hidup itu bukan sekadar peristiwa fisik, tetapi juga kejiwaan. Sebagaimana akhir dalam tulisan di Koran Tempo ini, Robin sedang menaiki tangga eksistensialisme Kierkegaard, dari estetik, etik dan akhirnya religius (iman). 

Sunday, August 10, 2014

Politik (Tidak) Matang

Pemilihan presiden telah usai. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah mengumumkan pemenang calon pasangan nomor 2, Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Sebelumnya, kedua calon dan pendukungnya bertempik-sorai menyatakan diri mereka sebagai pilihan terbaik. Akhirnya, rakyat menentukan siapa yang layak.

Namun, permainan tidak sampai di sini. Gugatan pasangan nomor 1 di Mahkamah Konstitusi menyeret kita lagi pada drama menegangkan. Kalaupun pemilihan di beberapa Tempat Pemungutan Suara akan diulang, namun selisih suara yang cukup banyak, sekitar 8 jutaan, mungkin tak akan mengubah keadaan. Tetapi, sistem politik kita memungkinkan ini semua. Betapa bawelnya demokrasi! Kita memang terbelah. Hanya saja, para petinggi lebih norak dan menyebalkan. Semestinya, Rhoma Irama mengingatkan kawannya, Prabowo Subianto, dengan nomor lagu yang saya suka, "Pesta Pasti Berakhir". Segala sesuatunya pasti harus disudahi, termasuk perburuan kekuasaan.

Ah, seandainya dua pemain yang ada di sampul majalah Tempo (Juli 2014) segera bertukar kaos, mungkin hiruk-pikuk dan kebisingan tidak berlarut-larut. Sayangnya, perebutan kekuasaan tidak sesederhana perburuan kemenangan dalam pertandingan sepak bola, yang memungkinkan wasit meniup peluit panjang sebagai tanda akhir permainan. Jelas, gugatan itu itu mengandaikan perpanjangan waktu. Seorang pengamat memberikan peluang 50-50 pada keduanya, sehingga ketegangan makin memuncak tak karuan. Malah, aroma kekerasan sempat meruap di tengah proses persidangan. Mungkin hanya sesumbar, tetapi ia bisa membakar. Jelas, proses ini menghabiskan biaya mahal. Semoga hasilnya nanti setimpal. 

Majemuk

Selama abad kelima, orang-orang Yunani menyadari bahwa hukum dan adat istiadat beranekaragam dari satu masyarakat ke yang lain, serta satu t...