Saya menyukai film Mrs Doubtfire yang dibintangi oleh Robin Williams. Betapa peran nenek yang dibawakan pelakon luar biasa ini menggugah banyak hal dalam kehidupan kita hari ini, seperti hubungan keluarga, kehangatan antara orang tua-anak, serta konflik yang ada di dalamnya.
Tentu, kita terhenyak ketika mendengar kematian pemain Good Will Hunting dan Dead Poets Society di ujung sabuk. Kegetiran hidup menyebabkan ia terperangkap persoalan eksistensial, kecemasan (angst). Arak dan dadah (narkoba) menjerat hidupnya. Ia tak menutupi sisi gelap, malah dengan tegar menyatakan ingin keluar. Betapa pun ia mempunyai hubungan sosial yang baik dengan banyak orang, termasuk tetanggannya, namun secara pribadi, ia tak bisa melawan kutukan "kebebasan" seperti diungkap oleh Jean Paul Sartre. Namun, kita tak ingin menghakimi hidupnya, tetapi ingin mengerti mengapa ia mengakhiri hidupnya dengan tragis.
Betapa pun Albert Camus dalam Plague mengatakan bahwa adalah memalukan hidup bahagia dengan diri sendiri, karena kesepian itu akan mudah menyergap, maka kegundahan Robin tentu bersumber dari tempat lain. Bagaimanapun, pemeran Theodore Roosevelt dalam film Night in The Museum dikenal sebagai dermawan, yang menunjukkan betapa kehadiran orang lain dalam hidupnya bukan neraka (L'enfer c'est les autres). Dengan penuh harap, saya menunggu pesan terakhir almarhum yang sampai saat ini belum diumumkan ke khalayak. Apa pun, kematian itu adalah penanda bagi yang mereka yang masih hidup, bahwa bernapas itu tidak cukup, sebab hidup itu bukan sekadar peristiwa fisik, tetapi juga kejiwaan. Sebagaimana akhir dalam tulisan di Koran Tempo ini, Robin sedang menaiki tangga eksistensialisme Kierkegaard, dari estetik, etik dan akhirnya religius (iman).
Tentu, kita terhenyak ketika mendengar kematian pemain Good Will Hunting dan Dead Poets Society di ujung sabuk. Kegetiran hidup menyebabkan ia terperangkap persoalan eksistensial, kecemasan (angst). Arak dan dadah (narkoba) menjerat hidupnya. Ia tak menutupi sisi gelap, malah dengan tegar menyatakan ingin keluar. Betapa pun ia mempunyai hubungan sosial yang baik dengan banyak orang, termasuk tetanggannya, namun secara pribadi, ia tak bisa melawan kutukan "kebebasan" seperti diungkap oleh Jean Paul Sartre. Namun, kita tak ingin menghakimi hidupnya, tetapi ingin mengerti mengapa ia mengakhiri hidupnya dengan tragis.
Betapa pun Albert Camus dalam Plague mengatakan bahwa adalah memalukan hidup bahagia dengan diri sendiri, karena kesepian itu akan mudah menyergap, maka kegundahan Robin tentu bersumber dari tempat lain. Bagaimanapun, pemeran Theodore Roosevelt dalam film Night in The Museum dikenal sebagai dermawan, yang menunjukkan betapa kehadiran orang lain dalam hidupnya bukan neraka (L'enfer c'est les autres). Dengan penuh harap, saya menunggu pesan terakhir almarhum yang sampai saat ini belum diumumkan ke khalayak. Apa pun, kematian itu adalah penanda bagi yang mereka yang masih hidup, bahwa bernapas itu tidak cukup, sebab hidup itu bukan sekadar peristiwa fisik, tetapi juga kejiwaan. Sebagaimana akhir dalam tulisan di Koran Tempo ini, Robin sedang menaiki tangga eksistensialisme Kierkegaard, dari estetik, etik dan akhirnya religius (iman).
No comments:
Post a Comment