Tatkala hendak menjemput Biyya di hari pertama sekolah tatap muka, saya membawa bacaan ini. Meskipun sudah didaras beberapa kali, saya selalu mencoba memahami isi. Waktu "luang" menunggu bisa dihabiskan dengan membolak-balik lembaran kertas.
Lebih dari itu, gagasan-gagasan besar ternyata bisa diulas melalui buku tipis. Seperti dalam logika ad hominem, ide seseorang tidak dikaitkan dengan jalan hidupnya. Menariknya, dengan menghadirkan riwayat hidupnya pikiran seseorang jauh lebih menarik perhatian ketimbang hanya menyusuri karangannya semata-mata. Tetiba, saya memulai dari bagian terakhir, Albert Camus. Betapa mengasyikkan menghayati cerita remaja dan dewasa penulis Sampar ini.
Sesungguhnya, Camus lebih suka bermain bola dibandingkan belajar. Namun penyakit TBC tak memungkinkannya untuk terus menekuni hobi. Tidak hanya itu, ia juga berhenti belajar sepenuh masa untuk bekerja dengan upah rendah agar bisa membantu sang ibu. Namun, ia tetap kembali ke universitas dengan mengambil program separuh masa (part time) dan menyelesaikan S1 dalam bidang filsafat klasik.
Di akhir masa kuliah, ia aktif dalam Partai Komunis Prancis pada tahun 1935 sebelum akhirnya menukar arah ke Partai Rakyat Aljazair karena ia melihatnya partai ini lebih simpati dengan perjuangan kemerdekaan Aljazair. Di tengah menyelesaikan bacaan, tiba-tiba saya mendengar selawat Alkhushari dari masjid terdekat, Annur. Sepersekian detik, jiwa saya melambung. Ada pengalaman puncak yang selalu hadir di manapun saya berada bila menyimak pujian qari' Mesir ini. Tidak lama kemudian, kakak keluar dari sekolah tatkala saya membaca buku. Dengan ini, saya senang, karena si sulung tidak melihat saya sedang (selalu) bermain telepon genggam untuk memeriksa media sosial.
Pesan yang ada di kepala tentang Camus adalah sosok Sisyphus, yang membawa batu ke atas bukit, lalu menggelindingkannya ke bawah. Sebuah kiasan yang dijadikan analogi pada perbuatan manusia yang absurd di tengah kematian tuhan dan ketiadaan nilai. Menariknya, ia tetap berjuang untuk mempertahankan hak-hak asasi manusia dan kebebasan sipil. Kita pun melihat dalam kenyataan bahwa penderitaan, penindasan, dan penjajajah berjalan seiring dengan perjuangan untuk kemerdekaan, dari dulu hingga kini.