Monday, September 27, 2021

Hijau

Sepulang dari sekolah, kami mampir ke toko bunga ini. Si ibu menitip kompos dan pot plastik. Nabbiyya sangat senang. Kakak Zumi ini berkeliling dan memfoto banyak sudut. Dulu, kami membeli pohon Kemboja di sini. Kini, pokok, sebutan Malaysia untuk pohon, telah berbunga. Untuk pertama kalinya, Biyya menyiramnya setelah melihat kembang berwarna kuning muncul dari ranting. 

Setelah sampai di rumah, penyuka novel Wonder R J Palacio tersebut berucap bahwa nanti bila ia punya rumah sendiri, ia akan menanami halaman dengan banyak pohon. 

Impiannya untuk membuat kompos adalah juga keinginan yang sering dibicarakan. Jelas, pengaruh  bacaannya, Merusak Bumi dari Meja Makan oleh M Faizi menuntunnya untuk peduli dengan lingkungannya. Kami juga sering melihatnya sering mematikan lampu di rumah bila kami lupa. 

Sunday, September 12, 2021

Bermain Bayangan


 Semalam lampu padam menjelang magrib. Dalam sebuah kiriman di grup WA, ada seorang warga yang terkena setrum aliran listrik. Sambil menikmati hujan gerimis, kami bercengkerama di pintu. Maklum, hari mulai gelap. 

Setelah menyalakan lampu telepon, Biyya dan Zumi bermain bayangan tangan berupa pelbagai binatang, dari Dinosaurus, jerapah, hingga gajah. Betapa menyenangkan kami melihat keduanya bermain bersama. Maklum, banyak selera dua anak ini berbeda.

Lalu, kami pindah ke kamar dan melanjutkan untuk memanfaatkan gelap dan cahaya untuk bermain. Setelah lampu hidup, kami pun berjamaah bersama, sementara Zumi ikut bersembahyang seraya tetap bermain gim. Mungkin, nanti si bungsu akan belajar bahwa kadang ia harus diam untuk fokus dalam hidup.    

Friday, September 10, 2021

Project

 

Zumi mendapatkan "proyek" dari sekolahnya, menanam pohon singkong atau ubi kayu (Malaysia). Ia harus menyiramnya setiap hari dan mencatat perkembangannya setiap bulan, seperti mengukur panjang. 

Alhamdulillah, pohon ini berdaun lebat. Akhir dari pekerjaan "rumah" ini adalah menyantap singkong. Dengan tugas ini, adik Biyya ini dan teman-temannya tidak hanya belajar biologi, tetapi juga belajar apa yang disebut pemikiran katedral (Chatedral Thinking), berpikir dalam jangka panjang. 

Lebih jauh, ia akan menghargai tanaman lokal dan tanah tempatnya menghabiskan waktu untuk menikmati keseharian. kemandirian bermula dari diri sendiri, namun seseorang akan bekerja sama dengan orang lain. Tanpa otoritas guru, mungkin anak-anak tak mau mengikuti apa yang diinginkah oleh orang tuanya. 

Di sini, hubungan orang tua, guru, sekolah dan masyarakat mendapat tempat. Selain itu, pembelajaran tidak lagi membelenggu murid di kursi kelas, tetapi memberikan ruang untuk belajar dengan melakukan apa yang diajarkan. 

Waktu Luang

Tatkala hendak menjemput Biyya di hari pertama sekolah tatap muka, saya membawa bacaan ini. Meskipun sudah didaras beberapa kali, saya selalu mencoba memahami isi. Waktu "luang" menunggu bisa dihabiskan dengan membolak-balik lembaran kertas. 

Lebih dari itu, gagasan-gagasan besar ternyata bisa diulas melalui buku tipis. Seperti dalam logika ad hominem, ide seseorang tidak dikaitkan dengan jalan hidupnya. Menariknya, dengan menghadirkan riwayat hidupnya pikiran seseorang jauh lebih menarik perhatian ketimbang hanya menyusuri karangannya semata-mata. Tetiba, saya memulai dari bagian terakhir, Albert Camus. Betapa mengasyikkan menghayati cerita remaja dan dewasa penulis Sampar ini. 

Sesungguhnya, Camus lebih suka bermain bola dibandingkan belajar. Namun penyakit TBC tak memungkinkannya untuk terus menekuni hobi. Tidak hanya itu, ia juga berhenti belajar sepenuh masa untuk bekerja dengan upah rendah agar bisa membantu sang ibu. Namun, ia tetap kembali ke universitas dengan mengambil program separuh masa (part time) dan menyelesaikan S1 dalam bidang filsafat klasik.  

Di akhir masa kuliah, ia aktif dalam Partai Komunis Prancis pada tahun 1935 sebelum akhirnya menukar arah ke Partai Rakyat Aljazair karena ia melihatnya partai ini lebih simpati dengan perjuangan kemerdekaan Aljazair. Di tengah menyelesaikan bacaan, tiba-tiba saya mendengar selawat Alkhushari dari masjid terdekat, Annur. Sepersekian detik, jiwa saya melambung. Ada pengalaman puncak yang selalu hadir di manapun saya berada bila menyimak pujian qari' Mesir ini. Tidak lama kemudian, kakak keluar dari sekolah tatkala saya membaca buku. Dengan ini, saya senang, karena si sulung tidak melihat saya sedang (selalu) bermain telepon genggam untuk memeriksa media sosial. 

Pesan yang ada di kepala tentang Camus adalah sosok Sisyphus, yang membawa batu ke atas bukit, lalu menggelindingkannya ke bawah. Sebuah kiasan yang dijadikan analogi pada perbuatan manusia yang absurd di tengah kematian tuhan dan ketiadaan nilai. Menariknya, ia tetap berjuang untuk mempertahankan hak-hak asasi manusia dan kebebasan sipil. Kita pun melihat dalam kenyataan bahwa penderitaan, penindasan, dan penjajajah berjalan seiring dengan perjuangan untuk kemerdekaan, dari dulu hingga kini. 

 

Masjid Sumberanyar

Ketika menunggu anak bergiat di sekolahnya, saya terdengar azan magrib. Serta merta, saya menuju suara ini. Meskipun salah masuk gang, akhir...