(Friederich Nietzsche, 13 Maret 1881)
Kutipan di atas menjadi pendahuluan pada bab kedua, yang dibuka dengan pertanyaan Apa yang dimaksudkan dengan menjadi seorang Muslim? Usaha apapun untuk menjawab sebuah persoalan semacam ini berisiko yang mengarahkan pencari jatuh ke jalan dengan banyak sisi-jalan; masing-masing tampaknya menawarkan sebuah jawaban tetapi, juga mengarahkan satu kesesatan dari rute asli.
Mengapa Nietzsche? Nietzshe adalah bukan hanya seorang filsuf dan seorang filolog. Pandangan psikologisnya mendapatkan akar dari apa yang dimaksud dengan menjadi menjadi manusia, sementara filologinya mengapresisasi pentingnya bahasa dan penafsiran. Disiplin-disiplin ini sekaligus menjadikan Nietzsche sebagai penyumbang berharga terhadap perdebatan yang menaruh perhatian pada hubungan kepercayaan-kepercayaan metafisik dengan kehidupan sehari-hari, hingga kejiwaan Muslim, hingga sebuah kepercayaan yang sangat bergantung pada teks sebagai sebuah cara menafsirkan dunia.
Jadi, bila penulis Those Spoke Zarathustra ini menjadikan Islam sebagai cermin, kita juga melakukan hal serupa untuk memahami diri sendiri. Tentu, tidak mudah, mengingat sosok melankolis ini dicap ateis, apalagi menggiring gagasan-gagasannya ke tengah khalayak. Tetapi, membaca pikiran liyan adalah tidak seperti menyalakan mercon bersumbu pendek, yang hendak menghasilkan bunyi kecil dan berkali-kali. Pembaca mengulik huruf dan mengambil ide utama untuk berharap ledakan besar.
No comments:
Post a Comment