Saya mengikuti syarahan ini. Menarik, ada peserta bertanya soal buku "The Malay Dilemma". Tun Menjawab bahwa karya itu lahir dari kehendak agar Melayu bisa berjalan bersama kaum (baca: etnik) lain di negeri jiran. Merit itu tidak bisa dijadikan pengukur tatkala kesetaraan belum wujud. Kebijakan afirmatif diambil untuk menciptakan keseimbangan.
Tentu, beberapa diksi yang disampaikan Tun perlu untuk dicerna karean tidak akrab dengan peserta sepereti kerajaan (pemerintah), bandar (kota), dan pokok (pohohn). Saya ingat ketika Ibu Leila S Chudori akhirnya memilih menggunakan bahasa Inggris pas mewawancarai Tun dulu.
No comments:
Post a Comment