Sdri Nurul Izzah Anwar menulis bahwa menang adalah cobaan dan kalah juga cobaan.
Saya pikir politik itu adalah kompromi setelah angka diraih. Dengan narasi pemerintahan perpaduan, yang dulu pernah diusulkan Abdul Hadi Awang, Malaysia telah memasuki babak baru dalam politik (baru).
Segalanya bisa berubah. DAP dan BN bisa bersatu di era Anwar Ibrahim, sebagaimana dulu dalam Pakatan Rakyat PAS dan DAP juga bisa bergandeng tangan. Saya pernah hadir pada Konvensi PR di stadion Kedah Darul Aman untuk melihat dari dekat bagaimana Lit Kit Siang, Abdul Hadi Awang, dan Anwar Ibrahim bisa duduk semeja. Pendek kata, politik primordial itu bisa retak dengan membuka diri pada kemajemukan.
Dengan kursi PN sebanyak 73, Bersatu dan PAS bisa mengambil posisi terhormat sebagai oposisi. Dengan dukungan Melayu 53 persen, PN tentu menjadi "UMNO" jilid kedua, sementara PH dengan 11 persen perlu hati-hati untuk menghindari sumbu pendek setelah isu rasial sempat viral di media sosial. Lagi-lagi, koalisi dalam politik itu juga bisa retak. Kekuasaan itu adalah seni membujuk, selebihnya rakyat sebagai majikan akan menentukan siapa yang akan menjadi orang nomor satu. Kenyataannya, Raja lah yang mengatasi kemelut, setelah tidak satupun dari koalisi meraih suara mayoritas sederhana (simple majority), 112 kursi.
Kini, politik kesejahteraan dan keadilan adalah pekerjaan rumah yang lain, setelah pesta demokrasi digelar. Lagi-lagi, hakim dari semua ini adalah rakyat. Suara mereka adalah keramat!
No comments:
Post a Comment