Kebebasan menjadi beban manusia sebab ia lahir dari kehendak untuk mengungkapkan dirinya. Bila kasus pertama yang saya ungkap Cak Nun dan keduanya adalah Rasmus Paludan, ini sekadar potret dari sosok yang telah dibingkai.
Jika kritik Emha dan Rasmus diletakkan dalam konteks kebebasan berbicara, maka percakapan mesti lahir dari sini, yang melewati prasangka untuk mengurai makna bersama. Malangnya, kesetaraan sebagai prasyarat tidak hadir. Kita hanya membaca cetusan yang bersahutan tanpa ada jeda untuk merenunginya secara lebih utuh.
Untuk lebih jauh, kita bisa memeriksanya di sini: https://kabarmadura.id/kebebasan/. Hal menarik dari cetusan tersebut adalah tanggapan orang ramai di media sosial. Saya bisa melihat dari dekat bahwa khalayak terbelah. Tetapi, jika alasannya adalah sentimen politik, kubuan ini akan mencair bila petinggi menggeser posisi. Tetapi, ternyata pembelahannya di tengah masyarakat bukan itu, tetapi ideologi.
No comments:
Post a Comment