Dulu, ketika belajar di Akidah dan Filsafat IAIN Sunan Kalijaga, kami punya kelompok belajar.
Ismail berujar kala itu, jika kita ingin memahami Ibn Taimiyyah, baca karyanya secara langsung, bukan melalui pikiran Cak Nur. Dengan mengambil tempat di masjid kampus, kami berbahas banyak isu pemikiran.
Buku ini dibeli di Kinokuniya seharga RM 78.65. Kesukaan pada eksistensialisme berputik ketika saya menjadi moderator bedah buku The Age of Reason di Lembaga Indonesia Perancis, Sagan Yogyakarta. Bayangkan, kehadiran kucing dalam novel Sastre terkait dengan isu kebebasan, kata Romo Haryatmoko. Kucing dalam karya ini sering kali dilihat sebagai makhluk yang bebas dan tidak terikat oleh aturan-aturan moral atau sosial yang membelenggu manusia. Mereka bertindak berdasarkan insting dan keinginan mereka sendiri tanpa memikirkan konsekuensi atau penilaian orang lain. Landung Simatupang sempat membacakan dialog dalam kisah Matthieu dengan memukau.
Apa mungkin kita memahami Sartre dalam bahasa Inggris? Gadamer bilang, terjemahan itu mungkin. Tetapi, kita paham bahwa gagasan mereka berpijak pada pandangan dunia yang sama, tradisi akal budi (hadharat al-aql), sehingga kendala bahasa bisa dijembatani.
Namun demikian, kita berada pada alam pikiran yg berbeda, tradisi teks (hadharat al-nash). Prinsip-prinsip etis mesti dicari rujukannya dalam kitab suci. Belum lagi, struktur bahasa kita mengandaikan "weltanschauung" yang rumit.
Akhirnya, seruwet apapun sebuah ide, bila penggagasnya memindahkannya dalam bentuk novel, ia tak ubahnya seperti kisah yang lain, ada tokoh, alur, plot, dan percakapan. Benar, hidup ini soal kita mau memilih cerita seperti apa. Beruntung, khazanah dongeng kita berasal dari banyak dunia. Aneh, jika kita berada dalam tempurung.
No comments:
Post a Comment