Syawalan Keduapuluhenam

saya pernah mengulas buku berjudul Santri Kendilen bersama Pemuda Desa Alastengah. Karya KH Zainul Mu'ien tersebut membahas pengalamannya belajar di pondok pada 1970-an. Bukan sekadar kisah, ia juga renungan tentang keadaan masa itu yang di tengah keterbatasan, santri memiliki ghirah atau semangat untuk menelaah kitab, memasak beras, dan memenuhi kebutuhan seharian yang lain.
Ini akan menjadi masa lalu otentik pondok di awal-awal pendiriannya setelah kini kemandirian santri makin tergerus karena mereka tak lagi melakukan pekerjaan sehari-hari. Mereka harus melaksanakan kegiatan yang sangat padat sejak dini hari hingga hampir tengah malam.
Selain itu, uraian tentang fikih keseharian menjadi catatan kecil untuk tak lagi melihat disiplin ini berjarak dengan kehidupan subyektif dan lokal penulis. Hal lain adalah kejelian penulis mengulik perbedaan kata antara saleh itu sebagai kebajikan individual dan musleh adalah sosial (hlm. 43). Lalu, mengapa gambar sampul papak kekunci (keypad), bukan kendil? Nanti saya akan tanya pada penulis dan Nurja Press, si penerbit.

 

Comments

Popular Posts