Sebelum pukul tujuh pagi, sang kurir telah meletakkan majalah Tempo (Tempo Media) di depan pintu setelah tiga hari dipesan melalui lokapasar Tokopedia.
Rubrik pertama yang saya baca adalah resensi buku oleh Bagja Hidayat. Si penganggit mengulas karya Joseph E. Stiglitz dengan kritis. Sarjana Keynesian tersebut mengkritik ekonomi ala Hayek dan Friedman karena gagasannya melahirkan sistem ekonomi dan politik tidak adil.
Bagi Stiglitz, peran negara tetap diperlukan mengingat pasar bisa melahirkan persaingan yang tidak sehat. Jalan yang ditawarkan adalah kapitalisme progresif, sebagai penengah sosialisme yang merayakan peran negara dan kapitalisme yang menentangnya. Ia hendak menyeimbangkan peran negara dan pasar. Pijakan teorinya adalah tidak ada kebebasan yang sempurna.
Menariknya, kata Bagja, pemerintah Indonesia telah mempraktikan ide tersebut. BUMN diberi tanggung jawab untuk melayani warga. Sayangnya, badan usaha ini menjadi sapi perahan untuk membiayai aktivitas politik. Tatkala demokrasi menjadi syarat bagi wujudnya pandangan ini, pesta pemilu justru melahirkan oligarki, klientelisme dan patronase.
Lagi-lagi, filsafat memang tidak mengajarkan cara bikin roti, tetapi ketika memilih makanan, warga berpikir kritis sebagai cara untuk berdiri sejajar dengan kekuasaan. Jika makan siang gratis tidak bisa dipenuhi, maka ia bisa dibatalkan karena kita mafhum bahwa anggaran negara terbatas.
Justru, janji untuk memerangi korupsi dan menegakkan ketertiban segera dilaksanakan seraya mencegah premanisme untuk turut mengambil tempat dalam tata kelola pemerintahan.
No comments:
Post a Comment