Saya mengenal Jawa Pos sejak belajar di pondok Annuqayah. Kami membacanya melalui papan koran di depan asrama Latee atau masjid Lubangsa.
Tulisan pertama di koran terbesar Republik ini bertarikh 2004, di kolom di Balik Buku. Manakala, karangan opini berjudul "Agama, Musik, dan Politik" (2005) dianggit di bilik karel USM. Kumpulan pendapat dikumpulkan dalam buku "Kehendak Berkuasa dan Kritik Filsafat (2021).
Dengan mengajak Biyya dan Zumi berfoto di sini, keduanya akan menyusuri jejak hidupnya juga. Berterima kasih adalah wujud dari penghargaan pada banyak kebaikan orang-orang yang berada di gedung ini.
Kini, kami punya kelas literasi di pondok Nurul Jadid. Media cetak surat kabar tersebut masih ditempel di papan koran. Banyak tetangga masih berlangganan Radar Bromo versi cetak. Kertas masih membekas, sebab digital bikin mudah teralih perhatian.
Wednesday, August 07, 2024
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Ruang Baca
Saya meletakkan pesan Pak Musa Asy'arie di loteng, tempat kami menyimpan buku. Berjuang dari Pinggir adalah salah satu karya beliau yan...
-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Ke negeri Temasek, kami menikmati nasi padang. Kala itu, tidak ada poster produk Minang asli. Pertama saya mengudap menu negeri Pagaruyung ...
-
Ahmad Sahidah lahir di Sumenep pada 5 April 1973. Ia tumbuh besar di kampung yang masih belum ada aliran listrik dan suka bermain di bawah t...

No comments:
Post a Comment