Bacaan selawat Al-Khusary menjelang azan bikin tentram. Setelah ditelisik, dulu radio RRI Sumenep menyiarkan lantunan qari Mesir yg dipancarkan pelantang TOA masjid kampung di bulan puasa. Sekejap lagi, kami makan dgn lahap. Tak pelak, menjelang berbuka kami seronok mendengarnya. Kami tak bertengkar soal langgam.
Gambus, samman, hadrah dan ruddat adalah seni yg menjadi pilihan untuk merawat rasa. Cabikan gitar oleh Anom (Paman) Acik memecah keheningan malam seraya mengiringi nyanyian Arab. Dua orang menari mengikuti rentak Mereka tak bertikai soal arabisasi.
Kini, suara Al-Khusary masih terdengar lamat-lamat dari rumah. Ketika menikmati "Habbaytak" oleh Fairuz asal Libanon, banyak batas juga diterabas. Sentosa menyergap. Tapi, suasana batin seperti ini acapkali dicurigai sebagai dominasi puak. Sayangnya, apabila bertengger di ranting lain, ternyata kita berpijak pada pohon yang awalnya tumbuh di India, China, atau Eropa. Jadi, kondisi kejiwaan itu adalah pilihan. Aneh, jika jati diri warga dipatok pada satu kepastian.
No comments:
Post a Comment