Wednesday, August 06, 2025

Dunia Maya

Dalam keseharian, kita nyaris tak pernah lepas dari layar. Dari bangun tidur hingga kembali terlelap, dunia dalam gawai terasa lebih nyata daripada yang ada di sekitar. Media sosial menjadi panggung tempat berbagai narasi, opini, dan emosi berseliweran setiap detik. Namun, di balik pesona itu, kita justru kehilangan sesuatu yang paling mendasar, yakni kejernihan. Lihat, pertengkaran di media sosial terkait ijazah Jokowi justru memperkeruh keadaan. Banyak orang terbelah pada keberpihakan, bukan kebenaran.

Masalah utamanya bukan lagi pada banyaknya informasi, melainkan kesulitan membedakan antara pengetahuan dan kebisingan. Banyak dari kita tampak khusyuk menatap telepon atau komputer, padahal batin kita justru sedang terombang-ambing. Kita berpindah dari satu konten ke konten lain, seolah terus bergerak, tetapi tak benar-benar menuju ke mana-mana. Kita terjebak dalam kemacetan digital, tampak bergairah, tapi kehilangan arah. Kita berada di threadmil, bergerak, tetapi tetap berada di tempat yang sama.

Fenomena di atas pernah dirisaukan oleh Alvin Toffler dalam Future Shock (1970). Ia memperingatkan bahwa keberlimpahan informasi akan membuat manusia modern babak belur. Ketika volume informasi melebihi kapasitas kita untuk memprosesnya, hasilnya bukanlah pemahaman, melainkan kebingungan. Kini, hal itu makin parah karena algoritma media sosial justru menyodorkan konten yang paling menggoda emosi, bukan yang paling hakiki. Click bait adalah jebakan yang mematikan.

Marshall McLuhan juga menekankan bahwa medium turut membentuk isi pesan. Ujaran “The medium is the message” adalah pengingat. Ketika banyak hal kita alami lewat layar, maka cara kita berpikir pun berubah. Interaksi dipersingkat, empati dikompresi menjadi emoji, dan ruang renung dihapus oleh notifikasi secara terus menerus. Pengguna secara tidak sadar  telah menjadikan dirinya sekrup kecil dari mesin, karena ia hakikatnya adalah sebagai sebagian kecil dari teknologi informasi yang buta.

Lebih jauh, teori keterasingan digital yang dikemukakan oleh Sherry Turkle menegaskan bahwa meskipun kita terhubung dengan dunia melalui gawai, banyak individu yang justru mengalami alienasi, baik emosional dan sosial. Dalam bukunya Alone Together (2011), Turkle menyatakan bahwa meskipun kita sering berhubungan dengan orang lain melalui media sosial atau aplikasi komunikasi, interaksi tersebut cenderung artifisial dan basa basi.

Akibatnya, banyak orang merasa kesepian meski dikelilingi oleh ribuan teman virtual. Penggunaan gawai tanpa kontrol justru memperburuk perasaan terisolasi. Kontak fisik yang autentik dan pertemuan tatap muka digantikan oleh tanggapan yang tidak utuh dan nirempatik. Alienasi ini berkembang karena individu merasa terasing dari diri mereka sendiri, terperangkap dalam dunia maya yang menggantikan realitas sosial yang lebih jauh bermakna.

Lalu, bagaimana kita bisa menemukan kembali diri yang hilang di tengah belantara digital? Pertama, kita harus menumbuhkan kesadaran digital. Kita perlu hadir sepenuhnya dalam setiap interaksi dalam jaringan (daring). Kala membuka media sosial, tanyakan pada diri sendiri: “Untuk apa saya berada di sini? Apa yang ingin saya temukan?” Kesadaran semacam ini membuat kita lebih hati-hati dan tidak larut dalam konten-konten yang hanya menghabiskan waktu dan menguras energi.

Kedua, literasi media menjadi keniscayaan. Kita perlu membekali diri dan generasi muda dengan kemampuan berpikir kritis dalam menyikapi informasi. Krititisisme ini bukan hanya soal mengidentifikasi hoaks, tetapi juga kemampuan membedakan antara opini dan fakta. Lembaga pendidikan, institusi keagamaan, dan komunitas lokal mesti menjadi garda terdepan dalam membangun kepekaan intelektual ini.

Namun, mengingat tidak bisa sepenuhnya melepaskan diri dari ruang digital, kita bisa memanfaatkannya dengan penuh perhitungan. Menatap layar bukanlah kesalahan, selama kita tahu ke mana penglihatan itu membawa kita. Dunia digital tak perlu dihindari, tapi harus diawasi agar tetap menjadi alat, bukan tujuan hidup. Di tengah kebisingan yang berlangsung selama 24 jam, kejernihan tak datang sendiri. Ia perlu diciptakan dengan kemampuan menahan diri, meneguhkan kesadaran, dan keberanian berpikir mandiri.

 

No comments:

Makna Lukisan

Kami mempunyai kegiatan diskusi rutin. Kemarin, salah seorang teman menyampaikan tema "Art Therapy: Entering into Your Own Garden"...