Dalam
keseharian, kita nyaris tak pernah lepas dari layar. Dari bangun tidur hingga
kembali terlelap, dunia dalam gawai terasa lebih nyata daripada yang ada di
sekitar. Media sosial menjadi panggung tempat berbagai narasi, opini, dan emosi
berseliweran setiap detik. Namun, di balik pesona itu, kita justru kehilangan
sesuatu yang paling mendasar, yakni kejernihan. Lihat, pertengkaran di media sosial
terkait ijazah Jokowi justru memperkeruh keadaan. Banyak orang terbelah pada
keberpihakan, bukan kebenaran.
Masalah
utamanya bukan lagi pada banyaknya informasi, melainkan kesulitan membedakan antara
pengetahuan dan kebisingan. Banyak dari kita tampak khusyuk menatap telepon atau
komputer, padahal batin kita justru sedang terombang-ambing. Kita berpindah
dari satu konten ke konten lain, seolah terus bergerak, tetapi tak benar-benar
menuju ke mana-mana. Kita terjebak dalam kemacetan digital, tampak bergairah,
tapi kehilangan arah. Kita berada di threadmil, bergerak, tetapi tetap
berada di tempat yang sama.
Fenomena
di atas pernah dirisaukan oleh Alvin Toffler dalam Future Shock (1970).
Ia memperingatkan bahwa keberlimpahan informasi akan membuat manusia modern babak
belur. Ketika volume informasi melebihi kapasitas kita untuk memprosesnya,
hasilnya bukanlah pemahaman, melainkan kebingungan. Kini, hal itu makin parah
karena algoritma media sosial justru menyodorkan konten yang paling menggoda
emosi, bukan yang paling hakiki. Click bait adalah jebakan yang
mematikan.
Marshall
McLuhan juga menekankan bahwa medium turut membentuk isi pesan. Ujaran “The
medium is the message” adalah pengingat. Ketika banyak hal kita alami lewat layar,
maka cara kita berpikir pun berubah. Interaksi dipersingkat, empati dikompresi
menjadi emoji, dan ruang renung dihapus oleh notifikasi secara terus menerus. Pengguna
secara tidak sadar telah menjadikan
dirinya sekrup kecil dari mesin, karena ia hakikatnya adalah sebagai sebagian kecil
dari teknologi informasi yang buta.
Lebih
jauh, teori keterasingan digital yang dikemukakan oleh Sherry Turkle menegaskan
bahwa meskipun kita terhubung dengan dunia melalui gawai, banyak individu yang
justru mengalami alienasi, baik emosional dan sosial. Dalam bukunya Alone Together
(2011), Turkle menyatakan bahwa meskipun kita sering berhubungan dengan orang
lain melalui media sosial atau aplikasi komunikasi, interaksi tersebut
cenderung artifisial dan basa basi.
Akibatnya,
banyak orang merasa kesepian meski dikelilingi oleh ribuan teman virtual.
Penggunaan gawai tanpa kontrol justru memperburuk perasaan terisolasi. Kontak
fisik yang autentik dan pertemuan tatap muka digantikan oleh tanggapan yang tidak
utuh dan nirempatik. Alienasi ini berkembang karena individu merasa terasing
dari diri mereka sendiri, terperangkap dalam dunia maya yang menggantikan
realitas sosial yang lebih jauh bermakna.
Lalu,
bagaimana kita bisa menemukan kembali diri yang hilang di tengah belantara
digital? Pertama, kita harus menumbuhkan kesadaran digital. Kita perlu hadir
sepenuhnya dalam setiap interaksi dalam jaringan (daring). Kala membuka media
sosial, tanyakan pada diri sendiri: “Untuk apa saya berada di sini? Apa yang
ingin saya temukan?” Kesadaran semacam ini membuat kita lebih hati-hati dan tidak
larut dalam konten-konten yang hanya menghabiskan waktu dan menguras energi.
Kedua,
literasi media menjadi keniscayaan. Kita perlu membekali diri dan generasi muda
dengan kemampuan berpikir kritis dalam menyikapi informasi. Krititisisme ini
bukan hanya soal mengidentifikasi hoaks, tetapi juga kemampuan membedakan
antara opini dan fakta. Lembaga pendidikan, institusi keagamaan, dan komunitas
lokal mesti menjadi garda terdepan dalam membangun kepekaan intelektual ini.
Namun, mengingat
tidak bisa sepenuhnya melepaskan diri dari ruang digital, kita bisa memanfaatkannya
dengan penuh perhitungan. Menatap layar bukanlah kesalahan, selama kita tahu ke
mana penglihatan itu membawa kita. Dunia digital tak perlu dihindari, tapi
harus diawasi agar tetap menjadi alat, bukan tujuan hidup. Di tengah kebisingan
yang berlangsung selama 24 jam, kejernihan tak datang sendiri. Ia perlu
diciptakan dengan kemampuan menahan diri, meneguhkan kesadaran, dan keberanian
berpikir mandiri.
No comments:
Post a Comment