Thursday, October 16, 2025

Belajar di Pondok

Lagu Laila Sé Manis meneguhkan bahwa Madura itu sangat akrab dengan budaya Arab. Mengapa tidak berjenis lagu seperti Saronen, Kejhung, dll? Apa pun, ini soal serapan pada liyan. Betapa pun bergenre gambus dengan penggunaan Bahasa Madura, kita telah menggeser kode. Talkah itu lema yang tidak ada padanannya dalam bahasa lain.

Saya sendiri merasakan bahwa syiir, sebutan syair dalam bahasa kami, oleh Kiai Aminullah Murad itu sangat menggetarkan. Mengapa? Ia seturut dengan bahasa Ibu yang digunakan secara utuh, baik jiwa dan raga. Tidak hanya itu, penggambaran kematian secara nyata sangat dekat dengan tradisi. Hakikatnya, hidup itu menuju mati. Mengapa? Kata kiai, agar kita hati-hati.
Kematian, ungkap Heidegger, memaksa kita untuk memilih. Karena waktu terbatas, kita dipaksa untuk membuat pilihan yang bermakna. Kita tidak bisa terus-menerus menunda-nunda atau hidup berdasarkan asa orang lain. Namun, saya menundanya karena menimbang harapan orang tua. Lagi pula, pilihan itu adalah soal penghayatan terhadap sesuatu yang dapat dilakukan secara bersama.
Dulu, kala Rob Baedeker bermain ke kampung halaman, ia bermain voli dan makan seperti yang kami lakukan. Seniornya Thomas Hutchins yang juga sukarelawan dari Voluenteers in Asia memotong batang pohon dengan kapak untuk bahan kayu bakar pondok. Pendek kata, orang Amerika di tahun 90-an berprilaku sama dengan orang-orang pesantren. Kami pun tidak menyoal keyakinan dan ibadahnya.
Dari Rob, saya pertama kali menikmati Morning Has Broken Cat Stevens yang diputar melalui tape radio. Ia dijadikan media pembelajaran bahasa Inggris, di mana santri melatih kepekaan pendengaran sebutan kata asing. Kala itu Fauzi dan Mahir adalah pelajar yang jago bahasa Anglosaxon ini.
Di pondok Annuqayah saya juga aktif di Markaz al-Lughah al-'Arabiyyah bersama Haqqul Yaqin di bawah bimbingan Kiai Muhsin Amir. Di sini kami tidak hanya mengurus tata bahasa, tetapi tata organisasi. Kala itu saya bertindak sebagai bendahara. Alhamdulilah, saya belajar bahasa rumpun semitik dari Kiai Abdul Warits Ilyas. Fulus-fulus aina adalah alih bahasa dari ungkapan bahasa daerah pesse se e dhimma? Kami pun tertawa, riang.
Secara spiritual, kami terbiasa menunaikan salat jemaah yang diimami oleh Kiai Ahmad Basyir. Kami menyebutnya hadiran. Jadi, salat itu mengada. Pak Kiai selalu menekankan ketenangan, bukan kebisingan, tatkala hendak melaksanakan sembahyang. Itulah sebagai santri kami berusaha untuk menghentikan kegiatan apa saja ketika azan berkumandang. Bukankah ini panggilan Tuhan?
Tak hanya itu, Pak Kiai Basyir mengajarkan kami kebersihan. Beliau sering menyapu halaman dan jalan di depan kediaman. Andaikata putera Abdullah Sajjad tersebut meminta santri melakukannya, pasti mereka berebut. Tetapi, saya melihatnya bahwa beliau ingin memberikan contoh bahwa keasrian lingkungan kita adalah tanggung jawab bersama.
Di lain waktu, bila terdengar lagu Gambaran Cinta oleh Inka Christie, saya selalu mengingat warung gorengan, karena nyanyian ini diputar di sini. Selugu masa itu, saya paham bahwa penyanyi sedang berduka karena ditinggalkan oleh kekasihnya. Dari Pak Muqiet Arif, Pak Hafidz Syukri, dan Pak Asy'ari Khatib saya belajar memahami alegori, hiperbolik, dan lain-lain.
Simpulannya, saya belajar di pondok dan kini mengajar di lembaga yang sama. Saya melakukan hal yang sama tetapi kini dengan penghayaan yang lebih berwarna. Kala duduk merapal doa, definisi "prayer" itu tiba-tiba muncul dari ide Ludwig Wittgenstein, berdoa itu adalah berpikir tentang makna hidup. Namun, saya juga menimbang satorinya Zen, kata-kata itu raib karena pencerahan tak memerlukan tanda yang membatasi arti. Khalas.

No comments:

Belajar di Pondok

Lagu Laila S é Manis meneguhkan bahwa Madura itu sangat akrab dengan budaya Arab. Mengapa tidak berjenis lagu seperti Saronen, Kejhung, dll...